ArsipSikap dan Perang Urat Saraf Antar Para Pemimpin Gereja di Tanah Papua

Sikap dan Perang Urat Saraf Antar Para Pemimpin Gereja di Tanah Papua

Rabu 2014-12-17 18:11:00

*Oleh: Pares L. Wenda

 

“Menarik perhatian saya dan mengingat kembali apa yang sudah pernah saya tuliskan dalam tesis program S2 saya tentang sikap Gereja di Papua terutama Gereja-Gereja Protestan yang sudah berkembang dan beranakcucu sampai 42 Sinode. Tidak termasuk 4 keuskupan di Papua. Menurut data Kementerian Agama Provinsi Papua Tahun 2011”. Memang sikap mereka hari ini tidak jauh berbeda dengan sikap mereka sebelumnya.

 

Peristiwa yang terjadi di Paniai pada Senin, 8 Desember 2014 adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Dilihat dari konteks media Internasional dalam pemberitaan, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan peristiwa Paniai berdarah adalah massacre artinya kejadian pembunuhan massal. Mengapa dikatakan demikian? karena satu nyawa manusia berharga di mata Tuhan.

 

Seperti pendeta dorang (mereka) biasa berkotbah, “Yesus mengambil perumpamaan, walau ada 99 domba dan 1 yang hilang, Yesus pasti mencarinya sampai mendapatkan satu domba itu dan mengumpulkannya menjadi 100 domba”. Kalau pendeta-pendeta kotbahkan hal ini, biasa berapi-api dibalik pelukan mimbar di singgasana Gereja dan tidak ada orang yang berani memberikan interupsi, terkait kotbah itu, entah kotbahnya benar atau salah.

 

Namun sebelum peristiwa itu juga dua anggota Brimob ditembak oleh Orang Tak Dikenal (OTK), tetapi sebagai panglima perang Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Goliath Tabuni, pihaknya sudah mengatakan dia akan bertanggungjawab terhadap kasus penembakan tersebut.

 

Peristiwa penembakan ini merupakan dua hal yang berbeda, dimana peristiwa pertama adalah “Militer vs Militer”, yang satu membawa bendera Bintang Kejora dan yang lain membawa bendera Merah Putih. Sementara peristiwa kedua adalah “Militer vs Warga Sipil”. Warga sipil yang tidak tahu apa-apa dan semua ditembak mati. Yang ditembak mati juga adalah pelajar dan mahasiswa, sebagian besar warga adalah masyarakat sipil biasa dan PNS yang tidak tahu apa-apa. Dalam kaca mata Hak Asasi Manusia (HAM), dua peristiwa ini sangat berbeda.

 

Kembali kepada topik Pendeta. Wujud lain dari kotbah di mimbar adalah berpihak kepada mereka yang lemah, mereka yang menangis, mereka yang membutuhkan suara Gereja, suara pemimpin Gereja. Jadi ko (kamu) pendeta dari pegunungan, bukan karena ko pendeta pegunungan lalu bersuara untuk mereka yang korban di Paniai saja. Pendeta yang dari pesisir dan lembah-lembah, bukan karena ko orang di wilayah itu lalu ko bersuara ketika mereka dibunuh. Yesus datang untuk kita semua dan mengasihi kita semua umat manusia yang disiksa dan dibunuh oleh kekejaman manusia yang berdosa.

 

Lucky Dube dalam lagunya yang berjudul “Deferent calors but one people”, mengatakan dalam satu baitnya, Alkitab tidak menyebut kamu kulit berwarna putih atau berwarna hitam, tetapi Alkitab mengatakan mari kita sebut dan memanggil pria dan wanita dari berbagai golongan dan ras. Kira-kira demikian bunyi syair dari satu baitnya.

 

Ketika berbicara kemanusiaan, kita tidak berbicara saya sinode A dan ko sinode B. Saya didukung oleh pemerintah dan ko didukung oleh umat; saya dalam posisi sinode C adalah orang luar Papua dan biarlah sinode D yang berbicara karena umat yang dikorbankan adalah orang-orang yang bukan dari sinode saya. Fakta bahwa 42 sinode tersebut di dalamnya ada orang Papua dan non-Papua yang sama-sama manusia.

 

Ketika terjadi bencana kemanusiaan seperti yang terjadi di Paniai tersebut, 42 sinode mestinya satu suara melawan kekerasan negara atau kekerasan dari pihak lain. Tetapi apa yang terjadi? Ternyata hanya sebagian kecil dari 42 sinode yang berbicara suara kenabian dan berbicara soal penembakan di Paniai, ibarat lilin kecil di dalam kegelapan malam yang menakutkan.

 

Ternyata, pemahaman teologi pembebasan dalam memahami nilai kemanusiaan tidak dipahami oleh seluruh 42 Sinode di Tanah Papua. Sebagian besar dari Gereja-Gereja Protestan ini masih berpangku pada doktrin mereka dan menjauhkan kuasa Tuhan yang mereka layani, lalu menyembah kuasa kekuasaan lain yang menekan mereka dalam istilah kekerasan disebut kekuatan Punitive.

 

Inilah yang saya tuliskan dalam tesis saya. Saya menyebutnya pemimpin Gereja yang berpaham teologi strukturalis yang mempraktekan dua hal tersebut dan juga ambisi merebut kekuasaan politik Gereja.

 

Kondisi ini mengulangi peristiawa sejarah tahun 1969, dimana 4 keuskupan membuat surat penting dalam protes mereka terhadap hasil PEPERA tahun 1969, yang tidak pernah dipublikasikan karena salah satu pimpinan Gereja Protestan yang besar pada waktu itu, entah karena ditekan atau karena keputusan sinode juga atau keputusan pribadi menolak tandatangan surat tersebut.

 

Peristiwa 45 tahun lalu (1969-2014) kembali terulang. Dimana para pimpinan gereja yang memahami nilai kemanusiaan dalam pandangan teologi pembebasan menyatakan duka mendalam dan menolak kedatangan Jokowi ke Papua. Sementara itu, pada saat yang sama, pimpinan gereja yang lain yang mempunyai pemahaman teologi strukturalis dan mengabaikan rakyat Papua yang sedang duka dan tetap mempertahankan dan meminta Jokowi datang ke Papua.

 

Natal bukan sekali ini terjadi dalam kepemimpinan Jokowi, ada Natal tahun 2016 dan seterusnya. Ketika Jokowi turun dari jabatan Presiden, Natal tidak akan pernah berakhir, kecuali pemilik natal itu yang mengakhirinya. Sementara pembunuhan massal yang terjadi di Paniai adalah sekali dalam konteks kasus ini dan mereka yang terbunuh tidak akan pernah kita jumpai lagi di dunia ini, dan juga untuk ratapan dan tangisan tanah, mama-mama Papua dan rakyat Papua ini hendaknya dihargai, kalau bisa seluruh umat bergabung merenung natal dalam pertumpahan darah anak-anak manusia dari tanah Papua.

 

(Menyingkapi Kedatangan Jokowi ke Papua dan Penembakan Massal di Paniai)

 

*Pares L. Wenda adalah Sekretaris Baptis Human Rights (Baptis Voice) Papua.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Kepala Suku Abun Menyampaikan Maaf Atas Pernyataannya yang Menyinggung Intelektual Abun

0
“Kepala suku jangan membunuh karakter orang Abun yang akan maju bertarung di Pilkada 2024. Kepala suku harus minta maaf,” kata Lewi dalam acara Rapat Dengar Pendapat itu.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.