ArsipIni Pernyataan Sikap PIK: Jokowi Segera Membentuk KPP Terkait Penembakan di Paniai

Ini Pernyataan Sikap PIK: Jokowi Segera Membentuk KPP Terkait Penembakan di Paniai

Kamis 2014-12-18 12:43:15

JAKARTA, SUARAPAPUA.com — Gabungan aparat Kepolisian Resort (Polres) Paniai, bersama aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI), menembak mati 5 warga sipil dan 17 orang lainnya luka-luka di lapangan Karel Gobay, Paniai, Papua, sekitar pukul 10.00 Wit, Senin (8/12/2014) pagi.

Atas dasar kejadian aparat Militer Indonesia yang tidak manusiawi, PAPUA ITU KITA (PIK) hari ini, Rabu (17/12/2014) menggelar aksi damai di Bundaran HI, Jakarta, mendesak pemerintahan Joko Widodo untuk segera bertanggungjawab dengan pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) Hak Asasi Manusia (HAM) oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM.

 

Adapun surat pernyataan sikap menanggapi kejadian Paniai berdarah tersebut, yang salinannya dikirimkan kepada redaksi suarapapua.com;

 

Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia di Paniai, Papua (8 Desember 2014):

PEMERINTAHAN JOKO WIDODO HARUS BERTANGGUNG JAWAB: BENTUK KPP HAM

 

PAPUA ITU KITA mendesak pemerintahan Joko Widodo untuk segera bertanggungjawab menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Pania Papua pada 8 Desember 2014. Keseriusan Presiden Jokowi harus diikuti dengan pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) Hak Asasi Manusia (HAM) oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM.

 

Pada tanggal 8 Desember 2014, Aparat Keamanan RI yang terdiri dari Tim Khusus (Timsus) Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Batalyon 753 Arga Vira Tama telah mengeksekusi mati dengan tembakan yang membabi buta kepada warga sipil di Paniai, Papua. Akibatnya, 4 warga sipil yang masih tergolong usia anak meninggal dunia dan 14 warga lainnya mengalami luka-luka.

 

Kejadian ini berawal pada tanggal 7 Desember 2014 sekira pukul 20.20 waktu Papua, sebuah pengendara sepeda motor yang diketahui dikendarai oleh seorang anggota TNI melaju ke arah Madi tanpa menyalakan lampu. Saat melintasi pondok natal di Togokotu, kampung Ipakiye, anak-anak yang menjadi korban pada peristiwa ini menegur pengendara untuk berhati-hati karena kondisi jalan yang berbahaya. Namun respon dari anggota TNI pengenda motor tersebut justru tidak menerima dan kembali ke lokasi tersebut dengan memanggil anggota TNI lainnya dalam jumlah yang lebih banyak dengan menggunakan mobil jenis Toyota Fortuner.

 

Masih pada hari yang sama, sejumlah anggota TNI tersebut menyerang dan menembaki anak-anak yang berada di pondok natal. Seorang korban yang bernama Yulianus Yeimo ditangkap dan disiksa oleh anggota TNI dengan menggunakan senjata lars panjang dan korban mengalami luka tikam di bagian kepala. Tiga anak lainnya yang masih status pelajar itu lari kearah bukit Togodimi. Korban lainnya yang bernama Jeri Gobai tertembak di bagian paha sebelah kanan. Penyerangan anggota TNI ini juga merusak pondok natal yang dibangun oleh warga untuk memperingati hari raya Natal.

 

Warga yang berada di sekitar lokasi peristiwa di kampung Madi dan Ipakiye ketakutan dan tidak berani keluar rumah khawatir menjadi sasaran amuk dari anggota Timsus TNI.

 

Keesokan harinya, 8 Desember 2014, sejumlah warga yang sebagian merupakan kerabat dari korban mendatangi markas Koramil untuk menanyakan alasan penyerangan oleh anggota TNI terhadap anak-anak di Pondok Natal. Warga menutup sebagian ruas jalan lintas Nabire – Enarotali.

 

Wakapolres Paniai yang mendatangi kerumunan massa berusaha menenangkan, namun situasi semakin tidak dapat dikendalikan. Tembakan dari arah aparat keamanan Timsus TNI 753 dan Kepolisian menyasar kerumunan warga setelah proses negosiasi antara warga dan Wakapolres Paniai gagal.

 

Brutalitas aparat gabungan TNI dari tim khusus 753 AVT dan Kepolisan menyikapi protes keluarga korban menyebabkan 4 orang anak dengan status pelajar meninggal dunia akibat luka tembakan dan penganiayaan dengan senjata tajam serta senjata lars panjang, sedangkan 14 warga sipil lainnya masih kritis dirawat di RSUD.

 

Sebagai bagian yang sulit untuk dipisahkan dari peristiwa ini adalah perintah yang dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian Daerah Papua, Irjen Pol. Yotje Mende terkait perintah penangkapan dan penembakan baik hidup atau mati kepada pihak-pihak yang diduga sebagai pelaku kriminal di Ilaga, Puncak Jaya. 

 

PAPUA ITU KITA menilai peristiwa ini sebagai bentuk Pelanggaran HAM Berat – Kejahatan terhadap Kemanusiaan, karena telah terjadinya serangan yang meluas dan dilakukan secara sistematis yang ditujukan kepada penduduk sipil.

 

Unsur-unsur pelanggaran HAM Berat tersebut harus segera direspon oleh Komnas HAM RI dengan melakukan pembuktian legal. Langkah ini kami nilai tepat sebagai solusi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang sering terjadi di Papua, langkah ini harus diikuti dengan pembentukan KPP HAM.

 

Tugas dari KPP HAM adalah melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap dugaan terjadinya pelanggaran HAM di Paniai, tanggal 7-8 Desember 2014, dengan meminta keterangan pihak-pihak korban, memanggil dan memeriksa saksi-saksi, mengumpulkan bukti dan memeriksa berbagai tempat termasuk bangunan yang perlu bagi penyelidikan.

 

Di samping itu, KPP-HAM juga berwenang memeriksa dan meminta dokumen-dokumen instansi yang diperlukan bagi penyelidikan serta mengolah dan menganalisa fakta yang ditemukan untuk kepentingan penuntutan dan publikasi.

 

Untuk memberikan perlindungan bagi saksi dan korban, kami mendesak Komnas HAM untuk berkoordinasi dan melibatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) agar dapat memberikan jaminan perlindungan dan keselamatan bagi saksi-saksi dan korban yang saat ini terus mengalami intimidasi dan trauma.

 

Dua rekomendasi mendesak tersebut diatas harus mendapatkan dukungan dari Presiden Joko Widodo, sebagai kepala pemerintahan Joko Widodo harus memimpin penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua.

 

 

Jakarta, 17 Desember 2014

 

PAPUA ITU KITA

 

 

MIKAEL KUDIAI

Terkini

Populer Minggu Ini:

HRM Releases 2023 Annual Report On Human Rights and Conflict In...

0
HRM revealed that the human rights situation in West Papua strongly differs from that in other regions in Indonesia. The decades-old and unresolved armed conflict has intensified since December 2018, leading to a spike in extrajudicial killings, enforced disappearances, and torture by security forces, especially in the highlands.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.