Budaya Doktrin Indonesia kepada Orang Papua

0
2062

Oleh: Naa Nigou)*

Orang Papua diajari paksa oleh Indonesia tentang istilah kata “budaya” serta sejumlah semboyan asing lainnya. Kenapa saya katakan dipaksa? Beberapa contoh semboyan memaksa adalah menghafalkan: Ing ngarsa sung tulada (di depan memberi contoh) dan semboyan: Ing madya mangun karsa (di tengah-tengah membangkitkan semangat). Dua semboyan ini paling terkenal, dan dipaksa serta diajari oleh Indonesia di lembaga pendidikan swasta maupun negeri di Papua.

Sebagai orang Papua, saya dan teman-teman mengalaminya semenjak duduk dibangku sekolah dasar (SD) di Papua tahun 1980-an. Kami terpaksa berusaha mati-matian untuk menghafal tentang arti dan makna sesuai kurikulum pendidikan nasional di Indonesia. Memang sistem pendidikan yang tegas dan wajib disiplin pada jaman Soeharto, yang dikendalikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (MENDIKBUD) Jakarta.

Waktu itu diajari oleh guru serta tertulis dalam buku ajar nasional, bahwa kata “budaya” merupakan penggabungan dua kata dasar dalam Bahasa Indonesia yaitu Budi dan daya, serta berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu buddhayah. Kata buddhi atau budhi atau akal, diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Kami menduga Bahasa sansekerta adalah Bahasa dari Surga, sehingga kami terima bersih. Seperti kata Ing NgarsaIng Madya .. dan seterusnya, kami anggap bahasa malaikat yang turun ke bumi untuk mencerahkan akal dan pikiran rakyat Indonesia-mungkin? Kami semakin yakin beberapa istilah lain dalam bahasa sansekerta. Contoh lain adalah semboyan pendidikan nasional. Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan). Semboyan ini pun memang kalimat luhur dan mulia, pasti dari surga.  Begitulah keyakinan kanak-kanak masa kecil di Papua.

ads

Di sisi lain, saking sulitnya mengingat dan mengucapkan Bahasa malaikat, maka kami sempat agak kecewa. Menurut kami, masih lebih mungkin Bahasa Ibu (lokal Papua) sendiri. Atau bila sansekerta adalah bahasa asing, maka kami lebih meyakini Bahasa Belanda karena orangtua kami orang Papua adalah pintar berbahasa Belanda, meskipun tidak semua tapi masih sering mendengar percakapan Bahasa Belanda. Masih mending Bahasa Belanda, karena masih bisa dipraktekkan bersama para mantan pegawai pemerintah Belanda di Papua, yang belajar dan tahu sebelum aneksasi Papua oleh Indonesia tahun 1969.  Untuk itu, kami lebih suka mendengar istilah dan semboyan berbahasa Belanda daripada sansekerta yang asal-usul dan struktur bahasanya kami tak ketahui, sekalipun kalimat sederhana.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Dan juga, kami gampang belajar kalimat sederhana berbahasa Inggris, karena bahasa yang cukup terkenal dan hampir setiap malam bisa mendengar siaran radio Australia tentang pelajaran Bahasa Inggris. Tapi kalau Bahasa sansekerta? Kami pusing. Lebih pusing lagi karena tidak ada pelajaran tentang kosakata maupun kalimat sederhana Bahasa Sansekerta. Akibat kesulitan dan tantangan ini, akhirnya banyak teman-teman sempat putus sekolah sejak tingkat dasar (SD).

Kami yang menamatkan pendidikan SMA tahun 1999, cukup menghafal kalimat-kalimat asing tersebut. Namun bila sejenak mengingat apa itu Bahasa sansekerta? Bahasa malaikat, kami menyimpulkannya demikian.

Pada kesempatan lain bertanya pada diriku, bahwa: “budaya” artinya budi dan akal manusia. Apakah akal yang baik atau buruk? Suatu waktu ketika mengawali sebuah kuliah non sosial di Pulau Jawa, kami pernah mendapatkan satu materi tentang pengenalan lingkungan kampus dengan judul “Wiyata Mandala”. Di sana dijelaskan lagi bahwa kata “wiyata” berasal dari Bahasa Jawa. Ya ampun…!!! Jawa melulu dalam republic ini. Istilah umum di Indonesia diadopsi lagi dari Bahasa Jawa. Saya tidak tahu Bahasa Jawa. Sebaiknya menggunakan Bahasa Indonesia atau sanagt lebih baik lagi berbahasa Belanda, pikirku. Namun, waktu itu ikut saja karena jurusan dan mata kuliah yang kami akan tempuh tidak akan putar otak seputar pelajaran Bahasa Jawa atau Bahasa sansekerta!

Tahun 1998, Presiden Soeharto sudah diturunkan akibat demonstrasi mahasiswa Indonesia secara besar-besaran dan bersedia mengundurkan diri sebagai kepala negara. Pada kuliah perdana tahun 1999, hampir saya mengalami kesulitan dan tidak bisa mengikuti materi kuliah dengan baik di ruang belajar. Hari kedua, hari ketiga, hingga satu pekan berlalu. Semuanya, saya sulit mengikuti penjelasan materi kuliah berbahasa jawa, sekalipun itu adalah kuliah resmi di kampus negeri.

Juga saya mengalami kesulitan mendengar, berbicara dan kosakata antar mahasiswa dan mahasiswi yang notabene-berbahasa Jawa 100 persen. Mengapa? Bahasa sehari-hari, bahkan Bahasa formal wajib berbahasa Indonesia yang dibiasakan semenjak SD di Papua, tidak berlaku di sana.

Di Pulau Jawa, rata-rata sebagian besar menggunakan Bahasa Jawa. Mulai dari dalam ruang kuliah, sambutan apapun atau materi apapun hingga di ruang kantin adalah berbahasa Jawa. Kepala saya pusing berlipat ganda. Apakah ini lembaga pendidikan Indonesia atau lembaga pendidikan berbahasa Jawa? Sebaiknya, saya ambil kuliah saja di Universitas Cenderawasih.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Di Papua lebih terhormat menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pada jam sekolah atau di acara formal lain di pemerintahan maupun institusi tertentu. Kepala desa di Papua saja menggunakan Bahasa Indonesia, pikirku. Kalau di Jawa, mampus!

Pada jaman Internet Disket di dalam kampus tahun 1999, sempat mencari kosakata Bahasa Jawa. Tak sangka menjumpai pengertian tentang Budaya. Dengan hadirnya teknologi internet, kata budaya lebih trend lagi dengan istilah Culture dari Bahasa Inggris. Makna “Culture” dapat saya bedakan antara “budaya” yang selama ini merupakan bahasa malaikat (yang kukira) serta pemaknaan arti kata terbatas seperti aksi tarian, semacam pentas seni, adat dan istiadat tertentu. Kami lebih cepat mengenal Culture yang diadopsi ke dalam tulisan Bahasa Indonesia menjadi Kultur, ketimbang buddhayah yang diadopsi dari Bahasa malaikat – sansekerta-.

Dengan mengenali itu, culture yang tadinya mungkin dikenal di lingkup akademik dan pendidikan di jenjang uviversitas, kemudian dikenal oleh masyarakat Indonesia lebih luas. Juga dengan adanya perkembangan seperti kursus bahasa asing, kemudian adanya berita berbahasa asing dan seterusnya. Tentunya dalam kursus bahasa asing, tentang Bahasa malaikat itu terdapat di sana. Misalnya Cultura dalam Bahasa latin, dan seterusnya.

Maka apa yang terjadi setelah hampir 20an tahun jasa internet dikenal di kota-kota besar di Indonesia (1999-sekarang), terutama di Pulau Jawa sebagai kota yang berkembang dan maju? Sebelum tahun 2000, kami pikir pulau Jawa adalah pulau yang paling terdekat dengan surga, pulau suci dan orang-orangnya suci dan terberkati karena mengajarkan tentang bahasa malaikat yang mencerahkan pikiran rakyat dari kota A sampai seluruh pelosok yang diklaim oleh Indonesia.

Ternyata budaya adalah suatu cara, mungkin termasuk politik dan kekuasaan dari dunia, yang belum tentu benar dan bijak. Sebab, budaya yang mulai dikenal rakyat Indonesia dan diadopsi dari Bahasa Inggris (Culture) itu selalu berkembang dan sedang berkembang. Perkembangan budaya dialami berbeda di setiap pulau di Indonesia.

Budaya yang sama hanya dapat berkembang di kalangan itu (wadah/kelompoknya) sendiri, atau satu budaya hanya di kelompok orang tertentu dan diwariskan antar generasinya. Apa maksudnya? Maksudnya, budaya Amerika hanya dapat berkembang dan dapat diterapkan di Amerika sana bersama orang-orang yang berkeinginan bergabungnya. Budaya Inggris hanya dapat berkembang di Inggris, dan dapat diterapkan oleh orang Inggris bersama orang-orang luar Inggris yang ingin menggabungkan dirinya. Dan seterusnya.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Lalu, bagaimana dengan budaya Indonesia? Unsur-unsur budaya Jawa, hanya dapat berkembang di pulau Jawa dan orang-orang berkembang dan hidup di Jawa. Demikian juga Budaya Sumatera. Budaya dan unsur budaya yang tumbuh dan berkembang di Sumatera hanya dapat berkembang maju di daerah Sumatera.  Dan seterusnya.

Saya maupun orang Papua lain, bahkan Indonesia dari kepulauan lain pasti mengalami hal serupa, bila mengenyam pendidikan atau setelah menjadi pengawai apapun yang berkunjung ke Pulau Jawa. Budaya yang terdapat di Jawa maupun yang diterapkan kepada orang Papua adalah budaya pemaksaan dan doktrinisasi melalui sistim pendidikan nasional.

Kami mahasiswa luar Papua pasti mengalaminya. Tentang materi kuliah Pancasila satu SKS (satuan kredit per-semester) di Jurusan Eksakta. Mata kuliah Pancasila inipun diwajibkan, wajib ikut, tanpa terkecuali di tingkat perguruan tinggi apapun di Indonesia. Dalam kuliah tersebut, pernah dijelaskan bahwa kita adalah Indonesia, kita adalah Bhineka Tunggal Ika. Saya tanya balik: Bhineka Tunggal Ika itu bahasa apa? Malah dijawabnya dalam Bahasa Jawa kepada orang Papua di kampus negeri. Bayangkan, kata dan kalimat berbahasa sansekerta dijelaskan kepada orang Papua menggunakan Bahasa Jawa.

Sebagai warga negara Indonesia, Indonesia menggunakan istilah Bahasa sansekerta tetapi tidak pernah diajarkan kepada warganya tentang Bahasa yang dipergunakan dalam simbol kenegaraannya, atau istilah ketatanegaraan yang dipergunakannya. Aneh. Saya mengiyakan saja, bahwa memang kita adalah orang-orang yang dipaksa belajar tentang budaya asing. Jadi manakah kosakata sansekerta; mana yang memiliki arti berbeda-beda, tetap, satu dan seterusnya? Hal-hal itu tak pernah dijelaskan. Inilah yang disebut pendidikan doktrin kepada warganya.

Demikian juga kata “Panca”. Apa artinya “Panca”? Dalam kosakata Bahasa Indonesia, hampir kata Panca ini jarang ditemui, kecuali dalam kata Pancasila. Jadilah negara mengadopsi kata dan istilah (Bahasa malaikat), dan didoktrin kepada orang Papua serta seluruh rakyat Indonesia yang memiliki budaya dan unsur-unsurnya sendiri. Intinya, apapun bila menggunakan Bahasa Jawa atau Bahasa sansekerta, kami sebagai orang Papua lebih tidak mengerti sama sekali dan lebih memahami lagi asal-usulnya. Orang Papua juga memiliki Bahasa Ibu, seperti di Pulau Jawa memiliki Bahasa Ibu.

)* Penulis adalah orang Papua dan tinggal di Papua

Artikel sebelumnyaYayasan Pelita Kasih Bangun Gedung SMA
Artikel berikutnyaGubernur Papua: Jangan Ajar Kami, NKRI Kami Pertahankan ‘Setengah’ Mati