ArsipSetelah Paus dan Gubernur Baru Menghapus Mitos

Setelah Paus dan Gubernur Baru Menghapus Mitos

Rabu 2013-03-20 09:43:00

Umat Katolik sedunia dan masyarakat Papua mencatat sejarah baru pada tahun ini lewat Jorge Mario Bergoglio, dan Lukas Enembe.

Sosok pertama, dicatat sejarah sebagai Paus (pemimpin tertinggi umat dan Gereja Katolik) pertama dari Amerika Latin, negeri lahirnya ajaran teologi pembebasan: paham tentang agama dalam ruang lingkup lingkungan sosial, yang lahir sebagai respon terhadap situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat akibat penindasan, rasisme, dan kemiskinan.

Sosok kedua, Gubernur pertama yang berasal dari Pegunungan Tengah Papua.

Kardinal Bergoglio, mantan Uskup Agung Buenos Aires, Argentina,  tercatat sebagai Paus pertama non-Eropa (moderen), sejak Gregorius III yang meninggal pada 741.

 

Akan halnya, Paus yang biasanya berasal dari Eropa, Gubernur Papua yang sepanjang sejarah belum pernah berasal dari kawasan Pegunungan Tengah, untuk pertama kalinya datang dari Pegunungan Tengah.

Hanya berselang beberapa jam setelah asap putih mengepul dari cerobong asap Kapel Sistine, Vatikan-Roma: pertanda telah terpilihnya Paus baru, dan tak lama setelah Kardinal asal Prancis, Jean Louis Tauran, membacakan Habemus Papam (pengumuman terpilihnya Paus baru), telepon seluler saya menerima pesan pendek dari Anthonius Rahail, mantan anggota DPR RI dari daerah pemilihan Papua, sosok yang 13 tahun lalu gigih melobi jajaran kabinet pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri dan kalangan DPR RI agar RUU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua disahkan DPR RI menjadi undang-undang, sehingga Papua sah berstatus Otonomi Khusus.

Umumnya umat Katolik menyambut terpilihnya Kardinal Bergoglio sebagai Paus, Anthonius Rahail lewat pesan pendeknya juga mengungkapkan sukacitanya.

Latar belakang Kardinal Bergoglio, tertera dalam pesan pendek Rahail. Merespon pesan pendek Toni Rahail, saya menulis, “Iya om. Paus pertama dari Yesuit dan memilih nama Fransiskus. Sinyal kesederhanaan, kerendahan hati, keadilan sosial, dan konservatisme sudah dikirim Paus baru lewat pemilihan nama Fransiskus. Kita nantikan apa yang akan diperbuat selama memimpin Gereja Katolik. Saya spontan ingin membandingkannya dengan Gubernur baru yang untuk pertama kalinya tidak berasal dari pesisir Papua, melainkan dari Pegunungan Tengah Papua.”

Kardinal Bergoglio dikenal sebagai sosok yang rendah hati, konservatif dan punya komitmen kuat terhadap keadilan sosial. Gaya hidup sederhana menguatkan kerendahhatiannya. Dia tinggal di apartemen kecil dan tidak berkenan menempati kediaman resmi uskup.

Bergoglio juga diketahui menolak menggunakan supir pribadi dan limusin. Dia lebih memilih naik bus angkutan umum ketika bepergian. Pilihan Kardinal Bergoglio pada Fransiskus untuk nama kepausannya menyiratkan kerendahhatiannya sejalan dengan rekam jejaknya.

Seperti ditulis JaringNews online, Sergio Rubin, penulis keagamaan untuk surat kabar Buenos Aires, Clafin, mengatakan Bergoglio mengecam kapitalisme pasar moderen. Meski begitu, Kardinal Bergoglio menolak paham teologi pembebasan. Untuk itu, dia berjuang untuk mencegah para Yesuit bergabung dengan gerakan teologi pembebasan yang menarik banyak imam Katolik ke dalam kegiatan politik.

SMS saya merespon pesan pendek Toni Rahail, juga saya kirimkan kepada Neles Kabadabi Tebay, imam cum intelektual penggagas dan pejuang gagasan “Dialog Papua-Jakarta”.

Thema yang sewindu terakhir gigih diperjuangkan Neles cs, karena percaya dan yakin hanya dengan dialog yang setara dan bermartabat antara (masyarakat) Papua dan (elite pemerintahan di) Jakarta, barulah benang kusut kompleksitas persoalan Papua dapat diurai. Kegigihan yang membuat Neles dipilih Yayasan Keadilan dan Perdamaian Tji Haksoon, yang berbasis di Korea Selatan, sebagai penerima “The Tji Haksoon Justice and Peace Award 2013”.

Merespon SMS saya, Neles Tebay menulis, “Pertanyaan (yang muncul adalah): apakah dorang dua (di Vatikan dan dan di Papua) akan bawa perubahan? Kita harus wait and see (tunggu dan lihat).”

Neles benar, tunggu dan lihat. Sebab jelas tantangan yang terbentang di depan mata setelah terpilih menjadi Paus dan Gubernur tidaklah enteng.

Beberapa teolog, seperti ditulis harian terkemuka KOMPAS, berpendapat terpilihnya Kardinal Bergoglio menjadi Paus akan memberi udara segar bagi kehidupan Gereja Katolik di masa depan.

Sejak berakhirnya Konsili Vatikan II (1962-1965), Gereja Katolik menghadapi sejumlah persoalan besar: sekularisme, keterlibatan politik, ketidakadilan di Dunia Ketiga, mulai runtuhnya kaidah moral, masuknya pandangan baru mengenai seksualitas, krisis birokrasi di Vatikan, dan merosotnya minat menjadi imam di kalangan muda, adalah beberapa pekerjaan rumah yang dihadapi Paus Fransiskus.

Gubernur Papua (yang baru)? Sama. Dalam skala berbeda, tantangan yang bakal dihadapi pun tidak ringan. Sekadar menyebut beberapa diantaranya: persoalan Papua masih ibarat benang kusut belum terurai, padahal sejak 1 Januari 2002 Provinsi Papua telah resmi berstatus Provinsi Otonomi Khusus? Mengapa Otonomi Khusus bagi Papua yang dipandang sebagai solusi yang realistis untuk menyelesaikan persoalan Papua sudah berlangsung 11 tahun, namun Papua masih saja bergejolak?

Mengapa tingkat kemiskinan di Papua masih tetap tinggi, bahkan tertinggi di Indonesia?  Mengapa kesejahteraan masyarakat Papua, teristimewa penduduk asli Papua belum jua terdongkrak malahan ada yang masih dikungkung  kemiskinan absolut, padahal sejak 1 Januari 2002 sudah puluhan triliun rupiah digelontorkan ke Papua? Mengapa kekerasan yang berujung pertumpahan darah masih saja terjadi di Papua padahal semua pihak telah sepakat menjadikan Papua sebagai zona  damai? Mengapa Papua masih saja bagai menyimpan bara dalam sekam yang sewaktu-waktu siap menyala padahal sejumlah kebijakan baru sudah dilakukan pemerintah? Sebut saja, kebijakan percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat, affirmative action bagi penduduk asli, toh Papua masih saja bergejolak? Litani mengapa dan mengapa ini, harus dihadapi Gubernur baru. Jelas bukan perkara enteng.

Potensi masalah lain: mengenai pemekaran Provinsi Papua misalnya. Tidak lama setelah berstatus Gubernur Papua terpilih, berbicara di Hotel Saripan Pacific, Jakarta, Lukas Enembe dengan lugas menyatakan menolak gagasan pemekaran Provinsi Papua. Pemekaran Provinsi Papua dinilainya belum saatnya karena akan lebih menguntungkan bukan orang asli Papua.

Pandangan yang nyata-nyata bertolak belakang dengan pandangan sejumlah elite Papua lainnya. Sebut saja Ketua DPR Papua, John Ibo yang berpendapat Provinsi Papua mesti dimekarkan setidaknya menjadi tiga provinsi. Juga bertentangan dengan pandangan para penggagas Provinsi Tabi, Provinsi Teluk Cenderawasih, dan Provinsi Papua Selatan misalnya.

Konsistensi implementasi Otonomi Khusus, baik antar elite Papua dan masyarakat Papua sendiri, maupun konsistensi sikap Jakarta jelas sebuah tantangan tersendiri yang harus dihadapi Gubernur baru.

Bukan rahasia lagi, bahwa Otonomi Khusus yang dipandang sebagai solusi realistik menyelesaikan benang kusut persoalan Papua, lebih dicemooh dan dikritik ketimbang dipuji. Penyebabnya adalah karena inkonsistensi para pengambil kebijakan melaksanakan amanat Otonomi Khusus.

Belum kelar-kelarnya sejumlah Perdasus dan Perdasi sebagai payung hukum pelaksanaan pasal-pasal Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, jelas salah alamat bila telunjuk diarahkan ke Jakarta sebagai pihak yang tidak bersungguh-sungguh melaksanakan amanat Otonomi Khusus sehingga implementasi Otonomi Khusus Papua laksana mobil yang kempes bannya.

Sebaliknya, keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua, yang baru dikeluarkan dua tahun setelah UU Otsus Papua diberlakukan, jelas adalah dosa Jakarta dalam implementasi Otonomi Khusus Papua.

Mutual trust Jakarta-Jayapura (dan kini Manokwari), juga tantangan tersendiri yang bakal dihadapi Gubernur baru. Sekadar contoh: Pasal 4 ayat (1) UU Otonomi Khusus Papua menyatakan hanya bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan yang kendali kebijakan sepenuhnya berada dalam genggaman pemerintah pusat. Di luar enam bidang tersebut, kendali sepenuhnya berada di tangan Pemerintah Provinsi Papua. Faktanya, nyaris semua kendali pemerintahan masih digenggam pemerintah pusat. Lepas kepala pegang ekor.

Paus Fransiskus dan Lukas Enembe punya kesamaan: masing-masing sudah menghapus sebuah mitos. Perbedaannya? Ditilik dari sisi waktu, Kardinal Bergoglio terpilih tidak sampai dua hari sejak konklaf (pemilihan Paus baru) dilaksanakan, Selasa (12/3) waktu Roma. Tidak sampai 48 jam, asap putih sudah terlihat dari cerobong asap Kapel Sistine. Pemunculan perdana Paus Fransiskus di Balkon Basilika Santu Petrus, Vatikan-Roma, pun segera disambut sukacita ribuan umat yang menyemut di Lapangan Santu Petrus. Mereka sabar menanti pemunculan perdana Paus baru di bawah guyuran gerimis. Para pemimpin dunia, tak ketinggalan ‘Presiden Dunia’ Barack Obama, pun segera menyampaikan ucapan selamat kepada Paus Fransiskus. Singkat kata, dunia bersuka cita menyambut kehadiran Paus baru.

Gubernur Papua (terpilih)? Kalau waktu yang diperlukan Kardinal Bergoglio untuk sampai di tahta kepausan tak lebih dari dua hari sejak konklaf dimulai, atau tidak lebih dari dua pekan sejak Paus Emeritus Benediktus XVI mengundurkan diri 28 Februari 2013, maka Lukas Enembe menempuh jalan panjang nan berliku untuk sampai ke kursi Gubernur Papua. Sampai 25 Maret 2013, genap 20 bulan (hampir dua tahun) Provinsi Papua tanpa Gubernur definitif, sejak Barnabas Suebu mengakhiri tugasnya sebagai Gubernur Papua periode 2006-2011, pada 25 Juli 2011.

Inilah niscaya pemilihan gubernur paling lama, paling bertele-tele, paling melelahkan, dan paling menguras energi dan sumberdaya sepanjang sejarah pemerintahan di Indonesia.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa penyebabnya, akibat rendahnya ketaatan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan akibat law and order ditepikan.

Sampai-sampai, lembaga pengawal dan penjaga konstitusi (Mahkamah Konstitusi) pun terpaksa membuat sejarah: membuat keputusan yang melanggar konstitusi (simak keputusan MK Nomor: 3/SKLN-X/2012, halaman 176-177).

Kalau terpilihnya Paus Fransiskus segera disambut sukacita oleh dunia, maka terpilihnya Lukas Enembe sebagai gubernur tidak sepenuhnya disambut sukacita segenap masyarakat Papua.

Ada yang unhappy, setidaknya lima pasangan calon kompetitor Lukas Enembe-Klemen Tinal (Lukmen), yang ambil bagian dalam kompetisi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua periode 3013-2018.

Tatkala ditetapkan KPU Provinsi Papua sebagai peraih suara terbanyak, tak satupun saksi dari lima pasangan pesaing Lukmen membubuhkan tandatangan di berita acara penetapan hasil pleno rekapilasi perhitungan suara, 13 Februari 2013, di GOR Cenderawasih, Jayapura. Lima pasangan calon yang kalah menyempurnakan unhappy-nya dengan melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Jalan yang sungguh panjang dan berliku harus dilalui Lukas Enembe menuju kursi gubernur. Jalan yang tidak hanya telah menguras begitu banyak, waktu, tenaga, biaya, tapi juga menelan nyawa manusia.

Tapi gubernur terpilih tak perlu berkecil hati. Koleganya dalam artikel ini, Paus Frasiskus, telah menunjukkan jalan menuju sukses. Setidaknya titik awal menuju kesuksesan tugas. “Saudara-saudari, berikanlah kemurahan hati Anda. Berdoalah untuk saya,” ujar Paus Fransiskus saat pemunculan pertamanya di Balkon Basilika Santu Petrus kepada umatnya. Permintaan yang tentu saja (sudah) dikabulkan dengan tulus. Selamat bertugas.

*Mathias Rafra adalah mantan wartawan SKM Tifa Irian

Terkini

Populer Minggu Ini:

Negara Mengajukan Banding Atas Vonis Frank Banimarama dan Sitiveni Qiliho

0
Bahwa hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim yang terhormat terhadap kedua Termohon secara nyata ringan dan melanggar prinsip-prinsip penghukuman, hukum kasus dan tarif yang ditetapkan dalam kasus-kasus dan pelanggaran serupa lainnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.