ArsipMenggagas Wilayah Pertambangan Rakyat di Areal PT FI

Menggagas Wilayah Pertambangan Rakyat di Areal PT FI

Senin 2015-01-26 06:23:15

Oleh: John NR Gobai*

 

Membaca pemberitaan tentang rencana pembersihan pendulangan di areal PT Freeport Indonesia (PT FI) sungguh sangat menyedihkan. Bagaimana tidak, Masyarakat Adat Papua yang bekerja sebagai pendulang disebut Pendulang Liar dan akan dipulangkan ke kampung asalnya.

 

Ini ibarat orang pencari suaka yang dipulangkan ke Tanah Airnya. Berarti orang yang tidak punya KTP disebut Penduduk Liar, padahal mereka tinggal di tanah leluhurnya, lalu oleh negara yang baru masuk di Papua tahun 1969 harus mengatakan mereka liar.

 

Pembersihan pendulang ini juga tidak dapat dipisahkan dari operasi PT FI yang kabarnya akan menutup Tambang Terbuka dan berkonsentrasi pada tambang bawah tanah.

 

Jika membangun kota di dalam tanah PT FI bisa, lalu mengapa mengurus Pendulang yang katanya mengganggu, sulit Anda lakukan? Ingat, kota yang Anda bangun itu adalah milik mereka yang disebut liar.

 

Pemerintah Provinsi Papua dan Pemda Mimika harus menjadi Penguasa bukan Pengusaha yang mana PT FI yang harus menjadi Penguasa.

 

Dasar Hukum

 

UUD 1945 Pasal 28H: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

 

Pasal 33: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

 

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Baru (Minerba) telah memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat atau penduduk setempat untuk melakukan penambangan rakyat.

 

Hal itu diatur didalam pasal 22 UU Nomor 4 Tahun 2009, dan untuk Papua dengan adanya UU Nomor 21 Tahun 2001, yang turunannya diatur dalam Perdasi 14 Tahun 2008 tentang Pertambangan Rakyat, merupakan sebuah dasar hukum yang diberikan kepada pemerintah daerah dan rakyatnya untuk dapat melakukan penambangan dan pemerintah daerah bisa memperolah Pendapatan Asli Daerah (PAD).

 

Pengaturannya dibuat melalui sebuah peraturan daerah (Perda), sehingga dengan dasar hukum diatas, maka sesungguhnya Pemprov Papua dan Pemda Mimika dapat saja berkoordinasi dengan PT FI untuk menetapkan WPR di areal KK PT. Freeport Indonesia.

 

Belajar dari Kasus PT. Timah di Bangka Belitung

 

Dengan WPR ini, masyarakat Belitung Timur sudah dapat melakukan penambangan secara legal di wilayah pertambangan yang memang diperuntukkan untuk rakyat. Dan masyarakat tidak perlu lagi main kucing-kucingan dengan aparat hukum, atas penambangan yang mereka lakukan di wilayah yang sudah ditetapkan.

 

Berawal dari Kabupaten Belitung Timur, secara bersama dapat melakukan sebuah perubahan yang mendasar terhadap paradigma pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat dengan mengacu kepada UU Nomor 4 Tahun 2009.

 

Undang-undang ini membawa paradigma baru, yaitu masyarakat tetap melakukan penambangan yang tidak melanggar hukum, Negara tidak harus kehilangan pendapatannya dari kewajiban yang harus dibayar oleh pelaku usaha pertambangan.

 

Sebagai perusahaan pertambangan PT. Timah pun sudah memainkan perannya dalam menerapkan isi UU Nomor 4 tahun 2009 ini, dengan melibatkan jasa usaha pertambangan yang berasal dari masyarakat, untuk melakukan penambangan di atas WUP milik PT Timah.

 

Kegiatan ini sudah berjalan dengan efektif pada beberapa lokasi di atas WUP milik perusahaan BUMN ini. Pola kemitraan yang telah dilakukan membuat masyarakat tidak merasa kehilangan kedaulatan sumberdaya nya didaerah mereka sendiri.

 

Ditambah lagi masyarakat dapat melakukan kegiatan pertambangan di WUP milik PT Timah tanpa takut dikejar-kejar aparat hukum, sebab kewajiban yang timbul akibat dari kegiatan pertambangan, seperti jaminan reklamasi dan iuran dari kegiatan pertambangan tersebut akan dilakukan oleh PT Timah selaku pemilik WUP, dan secara hukum PT Timah yang akan bertanggungjawab atas kewajiban yang timbul dari kegiatan penambangan yang telah dilakukan oleh mitra usaha kerjanya itu.

 

Peranan Pemerintah

 

Dengan pengalaman diatas, maka Pemda Papua, Pemda Mimika serta PTFI harus dapat memaksimalkan perannya untuk melakukan sosialisasi Undang-undang Pertambangan, Mineral dan Batu Bara ini. Agar maksud dan tujuan dari Undang-undang ini dapat dipahami dan dimengerti oleh masyarakat.

 

Bahwa yang mengatur kegiatan usaha pertambangan yang mereka lakukan selama ini adalah undang-undang. Dan setiap pelanggaran dari isi undang-undang adalah perbuatan yang melanggar hukum, sehingga dapat dipidanakan.

 

Apabila hal ini sudah dapat dipahami dan dimengerti oleh masyarakat dengan benar, maka carut-marut pertambangan rakyat dapat teratasi. Dengan tidak melupakan jika usaha pertambangan rakyat tetap harus berorientasi kepada perekonomian masyarakat setempat, penjagaan keseimbangan lingkungan dan tata ruang wilayah pertambangan, serta yang terpenting secara makro dapat memberikan kontribusi kepada kepentingan pembangunan sosial ekonomi khususnya daerah dan pada gilirannya berpengaruh secara nasional.

 

Pemda Mimika mesti membuat Perda tentang pertambangan rakyat, dan PT FI haruslah melepaskan kawasan yang dikelola bagi masyarakat agar Pemda Mimika menetapkan itu sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan diberikan Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) kepada koperasi yang dibentuk oleh masyarakat, yang dikoordinir oleh LEMASA dan LEMASKO.

 

Soal pengamanan dilakukan oleh Satpol PP dan masyarakat, serta transportasi ditangani oleh sebuah sub kontraktor yang ditunjuk oleh PT FI dan hasil pendulangannya ditampung oleh koperasi masyarakat atau dapat saja ditampung oleh Koperasi Karyawan Freeport Indonesia (Kokarfi).

 

Kesimpulan

 

Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009, Pasal 22 huruf f, tidak menerangkan adanya alasan-alasan logis-rasional tentang batas waktu 15 tahun sebagai tenggang waktu yang cukup untuk menentukan suatu WPR.

 

Selain itu, dengan tidak adanya rujukan mengenai kriteria dan mekanisme yang sama bagi setiap pemerintah daerah untuk menentukan bahwa suatu lokasi pertambangan tersebut sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 tahun atau belum, justru menimbulkan ketidakpastian hukum.

 

Sedangkan terhadap pengujian Pasal 52 ayat (1) UU Minerba, Mahkamah berpandangan bahwa pengaturan tentang Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), Wilayah Pencadangan Negara (WPN), dan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) sudah jelas dan tegas. Di mana urutan prioritasnya adalah dengan memberikan prioritas untuk menetapkan WPR terlebih dahulu, kemudian WPN, dan terakhir WUP.

 

Peraturan perundang-undangan dibuat pemerintah adalah untuk melindungi dan melayani rakyat. UU Otsus ada untuk pemerintah provinsi Papua dan Pemkab di Papua melayani orang Papua, bukan investor.

 

Pertambangan harus menjadi berkat bagi orang Papua, bukan investor. Pertambangan di Papua haruslah dikerjakan mayoritas oleh orang Papua, agar mereka mandiri sejahtera untuk memasuki peradaban baru.

 

Keputusan MKRI telah jelas memberikan prioritas kepada WPR terkait pasal 52, UU Nomor 4 tahun 2009 dan standar paling lambat 15 tahun telah dikerjakan sebagai penambangan rakyat telah ditolak karena tidak mempunyai alasan yang jelas terkait pasal 22 UU Nomor 4 Tahun 2009.

 

Saran

 

Pemerintah Provinsi Papua, berdasarkan Perdasi 14 Tahun 2008 tentang Pertambangan Rakyat, mestinya dapat berkoordinasi dengan PT FI, agar PT FI melepaskan lahan tertentu kepada masyarakat serta dilakukan pemetaan dan pematokan oleh Dinas Pertambangan Papua agar dapat ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).

 

Pemda Mimika mesti membuat Perda tentang Pertambangan Rakyat di Mimika, mengeluarkan Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) dan memberikan pembinaan serta pengawasannya.

 

IPR dikeluarkan atas nama pemilik hak ulayat agar mereka mempunyai posisi tawar dengan pemodal dan mereka menjadi tuan di kampungnya atas kekayaannya.

 

*John NR Gobai, Deklarator Asosiasi Pertambangan Rakyat di Tanah Papua (ASPRATAPA) dan Ketua Dewan Adat Paniai

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.