ArsipTrauma pada Polisi

Trauma pada Polisi

Sabtu 2016-04-30 09:16:09

Pagi itu, bunyi sirene dari mobil polisi itu menghentikan langkah masyarakat untuk melanjutkan kegiatannya. Pasar Wouma menjadi tegang dengan hadirnya puluhan orang dengan seragam coklat. Kehadiran mereke bikin suasana pagi itu tegang.

Oleh: Avelina Hilapok

 

Pasar Wouma, salah satu pasar tradisional yang berada di Wamena, kabupaten Jayawijaya, Papua. Sebagian besar penjual di sana adalah masyarakat pribumi.

 

Pagi itu, tepatnya hari Selasa (26/4/2016), seperti biasanya masyarakat menjalankan aktivitasnya di pasar. Mulai dari berjualan maupun berbelanja kebutuhan. Namun, aktivitas itu sontak terhenti ketika mereka mendengar bunyi sirene polisi dan melihat truk Dalmas serta beberapa mobil polisi berhenti di pasar. Lalu turunlah puluhan petugas kepolisian. Masyarakat pun bertanya-tanya ada apa gerangan, sehingga polisi mengunjungi pasar sepagi ini. Karena ini bukan merupakan hal yang biasa dilakukan oleh polisi di Wamena.

 

Setelah melihat puluhan polisi yang datang mengunjungi pasar, masyarakat yang ada di pasar mulai was-was. Bahkan sebagian penjual kembali mengemas barang jualan yang telah diaturnya. Sementara sebagian orang yang hendak berbelanja berbalik arah dan tidak jadi ke pasar.

 

Kondisi pasar yang tadinya lancar dan semua berjalan apa adanya tiba-tiba menjadi tegang. Semua orang di pasar menduga-duga, kira-kira apa yang akan dilakukan puluhan polisi yang datangi pasar itu. Selang beberapa menit kemudian, masyarakat baru mengetahui bahwa kedatangan polisi hanya untuk melakukan razia senjata tajam (sajam).

 

Kegiatan ini seharusnya menjadi kegiatan rutin yang sekiranya sudah diketahui masyarakat, sehingga tak mengganggu aktivitas masyarakat. Namun ketidaktahuan masyarakat membuat razia ini menjadi suatu hal yang mengganggu kenyamanan masyarakat di pasar. Setelah mengetahui maksud kedatangan puluhan petugas kepolisian tersebut masyarakat pun melanjutkan aktivitasnya seperti biasa, namun masih dengan perasaan yang was-was.

 

Kejadian di pasar Wouma bukan merupakan satu-satunya kejadian di mana masyarakat merasa tak nyaman dengan kehadiran Polisi. Kejadian seperti ini pula bukan hanya terjadi di Wamena, namun di seluruh daerah di Papua terlebih khusus di daerah pedalaman. Hal ini terjadi karena masyarakat memiliki kesan yang kurang baik terhadap kepolisian. Dan masyarakat Papua di seluruh pelosok hampir semua memiliki masa lalu yang sama. Di mana, banyak masyarakat dibunuh, diperkosa, diungsikan paksa dan masih banyak hal yang dibuat terhadap Orang Asli Papua. Ingatan itu menjadi sebuah masa-masa trauma yang masih terbawa hingga kini.

 

Tentu aneh, bahwa masyarakat takut terhadap mereka yang disebut sebagai aparat keamanan dengan tugas melindungi masyarakat. Namun ini fakta di Papua. Seringkali trauma masyarakat saat melihat polisi disebabkan oleh kemungkinan adanya masalah yang sedang diurus polisi. Dalam konteks ini, masyarakat sedang trauma dengan adanya kerusuhan. Tetapi trauma terhadap adanya kerusuhan diperkuat oleh trauma terhadap polisi itu sendiri. Akibatnya, masyarakat pun enggan untuk bersosialisasi dengan polisi.

 

Kesan buruk masyarakat terhadap polisi tentunya tidak terjadi begitu saja. Pengalaman-pengalaman buruk yang telah terjadi sejak masyarakat mengenal polisi membuat masyarakat memiliki trauma mendalam dengan kehadiran polisi. Tindakan aparat kepolisian di Tanah Papua yang arogan, bahkan bertindak brutal terhadap masyarakat, membuat kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian menurun bahkan hilang.

 

Kita dapat melihat contoh beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua, di mana Polisi justru menjadi pelakunya. Demikian pula dengan saudara tuanya, TNI yang bertugas di Tanah Papua. Polisi seringkali bertindak semena-mena dan tidak menghargai masyarakat.

 

Beberapa waktu terakhir kita mengetahui bahwa ada lebih dari 1000 masyarakat Papua yang ditangkap saat sedang berdemo damai bahkan saat sedang berdiskusi. LBH Jakarta mencatat, dalam periode 5 sampai 13 April 2016, aparat telah menangkap 60-an rakyat Papua dan aktivis di Tanah Papua saat hendak menyuarakan aspirasainya dengan damai.

 

Masyarakat Papua selalu menyuarakan aspirasinya dengan damai, namun terkadang reaksi kepolisian terhadap masyarakat dinilai berlebihan, sehingga menimbulkan perselisihan maupun kekacauan antara kedua belah pihak. Menjaga keutuhan NKRI selalu menjadi alasan bagi kepolisian dalam melakukan perlawanan terhadap rakyat yang sedang melakukan aksi menuntut hak-haknya sebagai warga negara.

 

Jika setiap bentuk kegiatan masyarakat selalu dikriminalisasi oleh aparat negara seperti, maka wajar jika masyarakat Papua ingin merdeka karena rakyat merasa terintimidasi dan diperlakukan tak adil di atas tanahnya sendiri. Bahkan, aparat kepolisian seringkali bersembunyi dibalik perintah pemerintah untuk membenarkan tindakan yang mereka lakukan terhadap rakyat. Dan ketika pemerintah membenarkan tindakan polisi, apa yang bisa dilakukan masyarakat untuk melawan polisi?. Pada akhirnya, masyarakatlah yang disalahkan dengan tindakan yang dilakukan aparat kepolisian.

 

Kurangnya keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan konflik yang sering terjadi antara kepolisian dengan masyarakat menambah kekecewaan masyarakat. Bahkan dalam beberapa kasus, pemerintah enggan untuk mengusut tuntas konflik yang terjadi antara polisi dan masyarakat hingga bertahun-tahun lamanya dan dilupakan begitu saja.

 

Trauma yang tertanam dalam masyarakat membuat masyarakat enggan bersosialisasi dengan polisi. Hal ini berarti, aparat kepolisian sedang menempatkan masyarakat sebagai musuhnya. Masyarakat tidak lagi dilihat sebagai pihak yang patut dilindungi dan yang karenanya polisi ada. Polisi tidak lagi melihat masyarakat sebagai subjek penting dalam tugasnya, tetapi polisi melihat dirinya sebagai yang terpenting. Polisi akhirnya kelihatan menjalankan tugas bukan untuk melindungi masyarakat, tetapi demi tugasnya itu sendiri yang memberi identitas kepolisiannya. Dengan itu, kepercayaan masyarakat terhadap polisi pun semakin menghilang.

 

Aparat kepolisian seharusnya dapat memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan kepada masyarakat. Bukan menjadi penindas masyarakat. Polisi harus berupaya melakukan pendekatan dan memulai sosialisasi yang baik dengan masyarakat. Polisi tidak pernah boleh melakukan tindakan anarkis terhadap masyarakat apa pun alasannya. Perintah pemerintah untuk mengeksekusi masyarakat yang melanggar aturan bukan suatu acuan bagi polisi dalam melakukan tindakan kekerasan pada masyarakat agar patuh pada peraturan.

 

Polisi harus mengubah cara pendekatan kepada masyarakat. Polisi tidak bisa melakukan pendekatan dengan kekerasan. Jika tidak, masyarakat akan terus memandang polisi sebagai musuh. Dan masyarakat tidak akan memberikan respek terhadap aparat kepolisian.

 

Polisi harus bekerja sesuai dengan visi dan misi Kepolisian Republik Indonesia, dimana aparat kepolisia harus mampu melaksanakan tugasnya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Polisi harus menjamin keselamatan setiap warga masyarakat yang ada di Tanah Papua. Menegakkan hukum secara adil dan melakukan tugasnya dengan profesional. Aparat kepolisian juga tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap masyarakat Papua, sehingga masyarakat Papua bebas dari segala macam bentuk gangguan baik fisik maupun psikis.

 

Selain itu, polisi harus berupaya menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat Papua terhadap aparat kepolisian. Sudah banyak pengalaman masyarakat yang menderita akibat tindakan polisi yang selalu arogan dalam menghadapi masyarakat.

 

Kekerasan bukan satu-satunya cara dalam menghadapi rakyat. Masyarakat akan mengerti dan memahami serta mendukung tugas kepolisian ketika polisi melayani masyarakat sesuai dengan visi dan misinya, terlepas dari segala bentuk tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap masyarakat.


 

Penulis adalah anggota Jurnalis Warga Noken Jayawijaya. Tinggal di Wamena, Papua.

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.