Rabu 2015-11-11 05:06:19
JAKARTA, SUARAPAPUA.com — Pemerintah Indonesia tetap membatasi akses wartawan asing dan pemantau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di provinsi Papua dan Papua Barat, sehingga membuat keprihatinan soal niat pemerintah atas kebebasan pers.
Hal ini disampaikan Human Right Watch (HRW), dalam laporan terbaru berjudul “Sesuatu Sedang Disembunyikan?: Pembatasan Kebebasan Media dan Pemantau Pelanggaran Hukum Papua”, yang diterbitkan hari ini, di Jakarta.
Menurut HRW, pembatasan ini bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo pada 10 Mei 2015 yang menjamin media internasional memiliki akses ke seluruh Indonesia, termasuk Papua.
“Pembatasan akses ke Papua, yang telah berlangsung lama, membuat Papua jadi ‘pulau terlarang’ bagi media asing dan pemantau pelanggaran hak asasi manusia,” ujar Phelim Kine, wakil direktur Asia dari Human Right Watch.
“Pemblokiran akses media secara meluas dengan alasan ‘keamanan’ bikin media internasional tak tertarik meliput Papua, menimbulkan pertanyaan yang mengganggu tentang apa yang sedang disembunyikan pemerintah Indonesia di sana,” kata Kine.
Menurut HRW, masa panjang pembatasan ke Papua ini berakar dalam birokrasi Indonesia yang curiga pada motivasi orang asing dalam sebuah wilayah Indonesia, dimana terjadi korupsi besar-besaran, kerusakan lingkungan, ketidakpuasan masyarakat Papua terhadap Jakarta, serta keberadaan pemberontakan kecil gerakan pro-kemerdekaan Papua.
Dalam laporan ini, Human Right Watch mewawancarai 107 wartawan, editor, penerbit, dan lembaga swadaya masyarakat lokal dan internasional.
Beberapa koresponden asing menjelaskan, proses permohonan izin liputan ke Papua tidak jelas, dan tak bisa diprediksi, dimana mereka sering tak menerima jawaban lamaran mereka.
Kebanyakan mereka menunggu berbulan-bulan –dalam beberapa kasus bahkan bertahun-tahun— untuk mendapat persetujuan.
Pernyataan Jokowi pada 10 Mei mendapat penolakan kuat oleh beberapa pejabat tinggi pemerintah maupun keamanan. Pemerintah juga belum bikin aturan tertuis sebagai tindak lanjut pernyataan Jokowi, yang memberi ruang bagi instansi pemerintah, dari sipil sampai militer, untuk menolak melonggarkan akses bagi pengamat asing ke Papua.
Beberapa pejabat bahkan mengeluarkan pernyataan yang berseberangan dengan pernyataan presiden. Bahkan Kementerian Luar Negeri, yang menyatakan Clearing House sudah bubar, tetap minta wartawan asing melamar “surat jalan” dari Kepolisian Indonesia, serta melaporkan semua nama nara sumber dan jadwal mereka di Papua kepada pihak Kementerian Luar Negeri.
Wartawan asing punya pengalaman beragam ketika mereka memanfaatkan pelonggaran akses ke Papua. Kedutaan Indonesia di Bangkok memberikan visa wartawan hanya dalam 15 hari kepada Cyril Payen, wartawan televisi France24 dari Perancis.
Kedutaan juga menjamin dia tak perlu lapor pada kepolisian atau imigrasi selama di Papua. “Saya tidak tahu apakah saya beruntung atau tidak. Mereka sangat terbuka,” ujar Payen.
Namun, seorang wartawan asing yang terakreditasi di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, menunjukkan kepada Human Right Watch sebuah email dari Direktorat Informasi dan Media pada Juli 2015, dimana pejabat tersebut minta si wartawan mendapatkan “surat keterangan jalan” dari Badan Intelkam, Kepolisian Indonesia di Jakarta serta memberitahu Kementerian Luar Negeri “tujuan, waktu, dan tempat yang akan dikunjungi di Papua.”
Wartawan asing yang akhirnya mendapat izin meliput sering menghadapi pengintaian dan pelecehan setibanya di Papua. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa mereka harus ada “pengawas” resmi dari Badan Intelijen Negara, yang tentu saja membatasi gerak mereka dalam meliput masalah yang dianggap sensitif.
“Presiden Jokowi harus menjembatani celah antara retorika dan realitas dengan memberi jaminan keleluasaan akses bagi wartawan asing ke Papua secara tertulis.”
“Beliau harus menegaskan tidak ada tempat bagi pejabat pemerintah dan aparat keamanan yang menghalangi wartawan di Papua dan dimana pun di Indonesia,” kata Kine.
Wartawan Indonesia –terutama etnik Papua– juga menghadapi masalah serius untuk meliput dengan leluasa berbagai perkembangan di Papua.
Meliput dugaan korupsi dan perebutan lahan bisa jadi liputan berbahaya dimana pun di Indonesia, namun wartawan yang diwawancarai Human Rights Watch mengatakan, hal tersebut lebih berbahaya di Papua.
Ditambah lagi, wartawan di Papua sering mengalami gangguan, intimidasi dan, sewaktu-waktu, juga kekerasan dari aparat, anggota masyarakat, dan kekuatan pro-kemerdekaan, ketika meliput masalah peka maupun pelanggaran hak asasi manusia.
Wartawan di Papua mengatakan mereka sering menyensor diri sendiri dalam liputan yang dinilai peka agar terhindar masalah.
Suasana penuh ketakutan dan ketidakpercayaan ini dipersulit lagi oleh tindakan aparat keamanan yang sering memakai dan membayar wartawan untuk jadi informan, bahkan menugaskan agen rahasia menyamar sebagai wartawan di berbagai ruang redaksi.
Tujuannya, bikin minimal liputan negatif dan bikin maksimal pemberitaan positif soal Papua, dan ia menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan wartawan.
Selain wartawan, LSM internasional, pejabat Perserikatan Bangsa-bangsa, dan akademisi asing juga dibatasi masuk Papua. Sejak 2009, International Committee for the Red Cross, Cordaid (Belanda) dan Peace Brigades Internasional, dibatasi dan menutup perwakilan mereka di Papua karena tekanan pemerintah Indonesia.
Pada 2013, pemerintah Indonesia menghalangi kunjungan Frank La Rue, pelapor khusus PBB untuk kebebasan berekspresi. Sumber-sumber diplomatik di Geneva mengatakan pada La Rue bahwa pemerintah Indonesia membekukan permohonan izinnya karena memasukkan Papua dalam rencana perjalanannya ke Indonesia.
“[Pejabat Indonesia di Geneva] tanya wilayah mana yang akan saya kunjungi (dan) saya katakan Jakarta dan beberapa tempat yang lebih besar seperti Bali, namun bagi saya, juga penting untuk mengunjungi Aceh dan Papua,” kata La Rue pada Human Right Watch.
“Mereka menjawab, ’Bagus, kami akan kabari Anda kembali.” Artinya mereka menunda tanggalnya sampai waktu yang tidak tentu.
“Terlihat jelas dari riset kami bahwa menghentikan pembatasan, tentu saja, takkan seketika menyelesaikan masalah yang sudah berlarut-larut di Papua atau menghilangkan rasa curiga para pejabat Indonesia terhadap media dan pengamat lain,” ujar Kine.
“Namun keterbukaan dan kemudahan akses adalah langkah penting guna menghormati hak asasi manusia di Papua dengan membiarkan sinar menerangi pelanggaran hak asasi manusia, yang sudah terlalu lama dibiarkan tersembunyi dalam kegelapan,” kata Kine.
OKTOVIANUS POGAU