Jumat 2015-11-13 13:26:50
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Salah satu sumber kekerasan di Tanah Papua terjadi karena konflik di areal Sumber Daya Alam (SDA) yang kaya. Demi fulus, aparat keamanan terlihat lebih mengamankan investor ketimbang rakyat setempat selaku pemilik hak ulayat.
Ketua Dewan Adat Paniai, John N.R Gobai mengatakan, kenyataan hingga hari ini aparat keamanan melindungi pengusaha emas di kawasan Degeuwo Paniai dan perusahaan kelapa sawit di lokasi tanah adat milik Suku Yerisiam Gua, Kabupaten Nabire.
“Aparat keamanan mengidentikan dirinya seperti agen jasa pengamanan bagi pengusaha,” ujar John kepada suarapapua.com di kantor KontraS Papua, Padangbulan, Jayapura, Jumat (13/11/2015).
Melihat berbagai persoalan yang terjadi di beberapa daerah di Papua khususnya di areal kelapa sawit Nabire dan kekerasan di kawasan pendulangan emas Degeuwo, ia dengan tegas minta, aparat keamanan harus ditarik ke barak.
“Harus tarik kembali semua aparat keamanan baik TNI maupun Polri dari wilayah investasi di Nabire, Degeuwo Paniai maupun dari wilayah investasi lain di Tanah Papua,” tegasnya.
Selain itu, pemerintah provinsi Papua juga diminta cabut kembali ijin usaha yang diberikan kepada investor. “Pemerintah harus mencabut semua Ijin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit dan pertambangan di Tanah Papua,” ujar John.
Alasannya, sebut dia, pihak aparat dalam hal ini Brimob yang menjadi PAM sudah beberapa kali melakukan tindakan kekerasan terhadap pemilik ulayat.
Seperti di Nabire, Brimob menangkap dua warga sipil atas nama Yoram Piet Enawi (30) dan Haris Anaur (28).
“Padahal, mereka dua pemilik hak ulayat di wilayah yang kini menjadi lahan perkebunan kelapa sawit milik PT Nabire Baru. Penangkapan dua warga sipil itu terjadi pada Senin (10/11/2015),” bebernya.
John menjelaskan, penangkapan dilakukan karena masyarakat adat memasang patok di areal perkebunan sawit yang sudah dikelola perusahaan, namun belum dilakukan penanaman.
Tak hanya itu. Pada 3 Maret 2014, Titus Money (22) dituduh kurir TPN/OPM hingga dianiaya. “Titus mengalami kekerasan fisik oleh oknum anggota Brimob yang melakukan pengamanan di lokasi kelapa sawit,” urainya.
Di tempat sama, koordinator Bersama Untuk Kebenaran (BUK), Peneas Lokbere mengungkapkan beberapa kasus kekerasan dari aparat keamanan terhadap warga sipil di sepanjang Sungai Degeuwo .
“Tanggal 10 Juli 2009 kasus berawal dari sengketa masalah tanah antara keluarga Ungke dan Anoka menyangkut lokasi pendulangan emas di Bayabiru. Terjadi penembakan terhadap seorang remaja, Sepanya Anoka (16).”
“Kemudian, Matias Tenouye juga tertembak diatas jembatan gantung di sungai Degeuwo yang dilakukan oleh aparat gabungan Polres dan Brimob yang menjadi PAM di Bayabiru,” rinci staf KontraS Papua ini.
Untuk itu, pihaknya meminta pemerintah segera mencabut ijin usaha dari PT Madinah Quarata’ain. Sebab, perusahaan tersebut diduga sedang melakukan penambangan emas yang sangat merugikan masyarakat setempat.
Ditegaskan, fakta selama ini semakin hari banyak kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap orang Papua terus dilakukan oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab.
“Kami meminta agar aparat kemanan yang melakukan PAM di beberapa lokasi perusahaan agar segera ditarik, sehingga warga bisa hidup dengan baik dan tentram. Begitupun ijin-ijin terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Papua yang sering merugikan masyarakat lokal,” tegas Lokbere.
Editor: Mary
HARUN RUMBARAR