PUAN, Timika — Jaksa Penuntut Umum (JPU), dalam sidang keenam kasus enam orang anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Timika, Papua, sepertinya sama sekali tidak memahami hukum, dan hak asasi manusia dari para terdakwa.
Saat dilakukan penggeledahan rumah beberapa terdakwa, Polisi sama sekali tidak membawah surat penggeladahan dari pihak Pengadilan Negeri Timika, yang sebenarnya wajib dibawa atau disertakan, termasuk, tanpa surat penangkapan, surat pemanggilan, dan hak untuk di dampingi pengacara.
Pada sidang tanggal 15 Februari 2013 lalu, dalam eksepsinya, Penasehat hukum para terdakwa, Olga Hamadi, telah menolak seluruh dakwaan yang diberikan kepada enam anggota KNPB, dan mereka diminta untuk dibebaskan karena semua proses dinilai sangat tidak jelas.
Jika kita melihat pasal mengenai penggeledahan rumah, yaitu Pasal 77 KUHAP (Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana), Pasal 18 KUHAP mengenai surat penangkapan dan mengenai pemeriksaan di bawah tekanan, Pasal 54 – 55 KUHAP mengenai pemeriksaan bersama penasehat hukum, adalah pasal– pasal wajib yang dalam sebuah proses hukum, mulai dari penangkapan sampai putusan adalah aturan suci demi Penegakan Hak azasi Manusia.
Bila pasal – pasal yang dimaksud diatas di abaikan oleh JPU, maka jelas-jelas proses hukum penuh dengan “trik politik” dan para tersangka telah di jadikan obyek pengakuan dengan paksaan (Inquisitoir), dan pemaksaan kekuasaan kepada pihak pengadilan oleh JPU.
Dari argument yang berlandasakan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang telah di sediakan oleh Penyidik Polisi, dan memaksa tersangka mengakui semua kesaksian di BAP, dan menandatangi semua BAP yang telah di sediakan, maka JPU memaksakan aturan lama yang telah di tinggalkan.
Padahal, azas Inkisitor ini telah beralih kepada Azas “Accuasatoir” yaitu pihak tersangka adalah bagian dari pada pemeriksaan permulaan.
Dari sini terlihat praktek Penyidik Polisi yang tidak memberikan surat penangkapan atau penahanan, Pemeriksaan di bawah paksaan, tanpa surat penggeledahan, pemeriksaan tanpa Penasehat hukum, menunjukan Polisi dan JPU di Indonesia menggunakan aturan dari tahun 1838 yang di anut oleh HIR (Herziene Inlands Reglement) dan Ned Sv(Ned Strafvordering) yang telah di revisi tahun 1885.
Jadi, ketika menolak eksepsi penasehat hukum terdakwa, berarti JPU telah menghidupkan kembali HIR yang telah mati lama sejak 1885. Padahal, zaman ini, dunia telah dominan menggunakan azas “Gematigd Accucuasatoir” sejak Hak Azasi manusia di nyatakan sebagai elemen yang sangat Universal.
Misalnya, Mario Yatipai, ditanya sesaat sebelum kasus disidangkan, mengakui Polisi melakukan penggeledahan rumah tanpa ada surat penggeledahan rumah dari pihak pengadilan. Kemudian, pihak pengadilan sendiri sesuai pasal 77 KUHAP kemungkinan juga belum mengeluarkan surat penggeledahan rumah.
Dan dalam penggeledahan di tiga tempat berbeda ini, tanpa memberitahukan Lurah dan Ketua kerukunan keluarga atau RT di tempat mereka tinggal.
Sehingga, kasus ini sepertinya mau di jadikan kasus tertangkap tangan. Padahal, saat mereka melakukan aksi damai di jalan, tidak pernah di tangkap dan malah Polisi telah memberikan Ijin melakukan aksi.
Hal ini sama juga dengan ketua Umum KNPB Timika, Steven Itlay, menurutnya, Ia juga di tangkap tanpa surat penahanan, penggeledahan rumah, di periksa tanpa Penasehat Hukum, dan di paksa menandatangi BAP (Non Lawful Areest).
Dari pengakuan tersebut, terlihat kalau keduannya sama sekali tidak mengerti apa kesalahan mereka sehingga mereka di tangkap, karena tidak di beritahukan saat di geledah dan ditangkap. Belakangan melalui media, mereka baru tahu bahwa, di tahan karena mereka ingin buat BOM wayar untuk melawan Negara. Padahal tidak demikian kata keduannya.
Kemudian, sewaktu pemeriksaan di Polres Mile 32 Timika, pihak Penyidik Polisi sama sekali tidak memberikan mereka penasehat hukum, namun hanya untuk memenuhi aturan hukum, dimana sepertinya pihak Polisi ingin politisasi hukum.
Pihak penyidik menyediakan pengacara bernama Euis Perkesa SH, padahal ia yang bekerja di Kantor Advocad dan Pengacara Alberth Bolang SH,MH ini, seharusnya tidak boleh menjalankan kepengacaraannya di bawah wadah Kantor Advocad dan Pengacara tersebut, karena pimpinan mereka telah menjadi anggota DPRP Papua di Jayapura.
Sehingga, ia seharusnya tidak di tunjuk sebagai pengacara mereka, dan Kantor tersebut harus di tutup semenjak pimpinannya menjadi DPRP di Jayapura bila sesuai aturan.
Namun, faktanya, pengacara Euis Parkesa sama sekali tidak pernah mendampingi keenam terdakwa selama pemeriksaan di Polisi, namun hanya namanya saja yang dimasukan di dalam BAP agar dianggap telah memenuhi unsur kepatuhan hukum.
Kemudian, para aktifis KNPB juga di paksa agar mengakui semua tuduhan penyidik dengan cara penyidik memaksa mereka, sehingga ada dua orang aktifis yang masih trauma hingga hari ini.
Dari rentetan kejadian ini, dan bila dihubungkan dengan persidangan anggota KNPB yang ke IV di Pengadilan Negeri Timika, dan “pernyataan JPU yang menolak semua eksepsi para tersangka, maka telah menunjukan ada pemaksaan kasus yang tanpa dasar hukum , dan dasar kesalahan ke pengadilan.
Sehingga, jelas kasus ini telah di jadikan kasus politik, bukan kasus hukum, JPU telah melanggar Hak Asazi Manusia, melalui tidak di akuinya pasal-pasal hak dalam KUHAP yang di langgar oleh pihak Kepolisian.
Di lain sisi, Polisi dan jaksa sedang berusaha kriminalisasi kasus ini, yang awalnya di tuduh melakukan tindakan makar, yaitu melawan negara, belakangan mereka berusaha menjebaknya melalui kasus kriminal. (*)
*Penulis Aktivis HAM di Timika, Papua