EditorialWawancaraKronologis Lengkap Aksi 13 Mei 2013 di Jayapura

Kronologis Lengkap Aksi 13 Mei 2013 di Jayapura

Seperti diketahui sebelumnya, aksi peringatan 1 Mei 2013 yang oleh Rakyat Papua dikenang sebagai Hari Peringatan 50 Tahun Aneksasi Wilayah Papua Barat (New Guinea) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sempat diperingati secara berbeda di beberapa tempat.

Namun dalam aksi-aksi peringatan itu, pihak aparat keamanan Indonesia (TNI/Polisi) telah melakukan rangkaian tindakan represif dan brutal terhadap setiap aksi yang dilakukan di beberapa daerah seperti, Sorong, Fak-fak, Biak, Nabire dan Timika.

Pihak keamanan RI seolah berpegang teguh pada landasan klasik yang terus menjadi kontroversi hingga saat ini bahwa pada 1 Mei 1969 silam, Papua telah bergabung kembali ke dalam pangkuan Ibu pertiwi. Karena itu, otoritas wilayah NKRI mutlak harga mati dan tidak bisa diganggu gugat!

 

Pada malam menjelang peringatan hari Aneksasi 1 Mei 2013 di Sorong misalnya, sempat terjadi peristiwa tragis yang memakam korban. Dimana pihak keamanan Indonesia (gabungan Polisi/TNI) pada Jumat malam tangal 30 April 2013, telah melakukan penyerangan membabi buta terhadap warga Papua di sebuah kompleks di Aimas Sorong.

Dalam aksi penyerangan itu, sejumlah warga mengalami luka-luka, termasuk 2 orang Papua berusia muda tewas di tempat kejadian. Mereka adalah Abner Malagawa (20 thn) dan Thomas Blesia (28 thn) yang tewas akibat timah panas yang menerjang tubuh mereka.

Sedangkan seorang perempuan bernama Salomina Klaibin (37 thn) yang juga tertembus peluru, akhirnya meninggal dunia setelah sempat kritis saat menjalani operasi mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuhnya pada salah satu rumah sakit di Sorong.

Menanggapi tindakan represif aparat keamanan Indonesia di berbagai wilayah Papua pada peringatan 1 Mei 2013, terlebih peristiwa tragis di Aimas Sorong, sejumlah aktivis Papua di Jayapura yang terdiri dari para pemuda dan mahasiswa lalu melakukan pertemuan koordinasi secara berturut-turut di beberapa tempat di sekitar Abepura.

Pertemuan koorrdinasi kemudian lebih dititik beratkan pada upaya menanggapi peristiwa nerdarah yang terjadi di Aimas Sorong. Dari sekian pertemuan yang dihadiri para aktivis yang berasal dari sejumlah organ gerakan dan organisasi mahasiswa, dihasilkan kesepakatan agar perlu menyikapi tindakan represif aparat keamanan Indonesia atas rakyat Papua di Sorong dan beberapa daerah lain melalui aksi solidaritas peduli HAM.

Aksi solidaritas dimaksud rencananya dilakukan dalam bentuk pemberian pernyaatan pers bersama dengan mengundang wartawan kemudian nantinya akan dilanjutkan dengan aksi protes bersama (demonstrasi massa) ke kantor MRP, DPRP atau ke Kantor Gubernur Papua.

Setelah melewati berbagai tahapan koordinasi, guna memuluskan rencana aksi demo pada Senin 13 Mei 2013, tim solidaritas aksi lalu membuat surat pemberitahuan rencana aksi yang ditujukan kepada pihak Kepolisian Daerah (Polda) Papua dan Kepolisian Resort Kota Jayapura. Surat itu kemudian dimasukan pada Jumat 10 Mei.

Dalam surat yang dimasukan ke pihak kepolisian itu, di dalamnya tertera beberapa nama penanggung jawab aksi seperti; Yason Ngelia dan Septi Maidodga selaku perwakilan BEM-MPM Uncen, Bovit Bofra selaku ketua Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda-P), Victor Yeimo sebagai ketua Komite Nasional Papua Barat/KNPB) dan Marthen Manggaprouw dari perwakilan West Papua National Autority (WPNA).Ā  Kemudian, pada sore harinya dilanjutkan dengan pertemuan koordinasi lanjutan antara para aktivis yang tergabung dalam rencana aksi solidaritas.

Satu hari selepas surat pemberitahuan pelaksaan aksi dimasukan, pihak Polda Papua melalui staf bidang Intelijen dan keamanan (Intelkam) lalu menghubungi via phone dan meminta perwakilanĀ  penanggung jawab aksi untuk dapat bertemu direktur Intelkam Polda perihal aksi yang bakal digelar.

Bovit Bofra dan Yason Ngelia selaku perwakilan penanggung jawab aksi lalu memenuhi panggilan Markas Polda Papua yang berada di jantung Kota Jayapura, Sabtu 11 Mei, jam 09 pagi. Mereka bertemu direktur Bidang Intelkam Polda Papua Kombes (Pol) Yakobus Marzuki.

Dalam pertemuan kecil yang berlangsung cukup alot dan tegang di ruang direktur intelkam Polda, Kombes Yakobus Marzuki meminta mereka mengklarifikasi rencana aksi yang bakal digelar. Selain mempersoalkan keabsahan organ-organ yang tergabung dalam aksi solidaritas karena keberadaanya tidak terdaftar di Badan Kesbangpol.

Pihak Polda juga mempersoalkan surat pemberitahuan rencana aksi yang dianggap terlalu mempolitisasi keadaan karena berpotensi mengganggu ketenteraman masyarakat (kantibmas). Sebab dalam isi surat pemberitahuan rencana aksi yang ditujukan ke Polda Papua dan Polresta Jayapura ituĀ  disebutkan bahwa kasus penyerbuaan yang dilakukan pihak aparat gabungan TNI-Polisi di Aimas Sorong sebagai sebuah ā€œtragedi kemanusiaanā€ karena menyebabkan rakyat sipil Papua menjadi korban.

Istilah ā€œtragediā€™ dalam isi surat itu menurut direktur Intelkam Polda Kombes Yakobus Marzuki) sangat tidak mendasar a dan tidak bisa diterima. Sebaliknya, menurut dia, aksi yang dilakukan oleh aparat keamanan itu sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia.

Lagipula, menurut dia, kelompok yang menjadi sasaran penyergapan di Aimas Sorong itu terindaikasi kuat bakal membahayakan stabilitas keamanan Negara Indonesia lewat peringatan 1 Mei 2013. Setelah menyampaikan statemen demikian, direktur Intelkam Polda Papua kemudian mengeluarkan selembar surat penolakan pelaksanaan aksi yang berlangsung pada Senin 13 Mei 2013.

Cuma saja, dalam isi surat penolakan itu hanya disebutkan nama Victor Yeimo selaku ketua KNPB yang menjadi penanggung jawab aksi. Padahal sesuai surat pemberitahuan aksi sebelumnya, jelas tercamtum beberapa nama penanggung jawab aksi yang mewakili organisasi mereka masing-masing.

Selain itu, direktur Intelkam juga menegaskan sikap Gubernur Papua Lukas Enembe, yang mengatakan bahwa aksi-aksi demonstrasi hanya akan menghambat proses pembangunan di Papua. Menanggapi peryataan itu, Bovit dan Yason lalu mengklarifikasi isi surat penolakan dari Polda Papua itu dan maksud rencana aksi yang hendak dilakukan. Namun tetap terjadi tawar menawar dengan berbagai argumentasi selama kurang lebih 20 menit.

Karena tidak ada kesepakatan bersama, akhirnya Bovit Bofra dan Yason Ngelia dengan terpaksa menegaskan komitmen mereka bahwa sesuai kesepakatan, aksi tetap akan dilakukan pada Senin 13 Mei 2013.

Namun, direktur Intelkam juga menanggapi dengan menegaskan bahwa pihaknya (Polda Papua) tetap tidak mengijikan dan menghendaki aksi itu dilakukan. Bila aksi tetap dipaksakan, para penanggung jawab aksi beserta massa yang telibat siap menghadapi segala resiko yang terjadi, termasuk konsekuensi hukumnya.

Pelaksanaan Aksi

Selepas pertemuan yang tidak mencapai kata sepakat dengan direktur Intelkam Polda Papua Kombes (Pol) Yakobus Marzuki, para aktivis yang tergabung dalam aksi solidaritas kembali melanjutkan pertemuan koordinasi pemantapan aksi, meski pihak kepolisian tidak merestui pelaksanaan aksi.

Selanjutnya, sesuai koordinasi akhir pada hari minggu malam tanggal 12 Mei 2013, para penanggung jawab aksi telah bersepakat bahwa permulaan aksi untuk mengorganisir massa sebelum menuju kantor MRP akan dipusatkan di dua lokasi berbeda; di depan Gapura Kampus Universitas Cenderasih (Uncen) Abepura dan Gapura Kampus Uncen Waena.

Tiba pada hari Senin 13 Mei 2013, aksi di dua tempat berbeda tersebut dimulai saat massa berkumpul pada jam 06.30 waktu Jayapura (Papua). Pelaksanaan aksi didukung sejumlah atribut seperti; megaphone dan spanduk. Di depan Gapura Uncen Abepura, aksi dimulai dengan beberapa orang mahasiswa menutup pintu pagar masuk-keluar kampus sehingga melumpuhkan aktivitas perkuliahan.

Demikian halnya yang terjadi di areal jalan raya menuju Kampus Uncen Waena. Mahasiswa yang tergabung dalam aksi solidaritas juga menurunkan palang yang biasanya dipakai merintangi jalan raya menuju Kampus Uncen Waena.

Aksi di kedua tempat yang hampir dilakukan secara bersamaan itu lalu dilanjutkan dengan orasi-orasi dari para mahasiswa secara bergantian untuk mengumpulkan massa aksi. Massa yang terkonsentrasi di depan Gapura Kampus Uncen Waena dikoordinir Yason Ngelia, Bovit Bofra dan Marthen Manggaprouw.

Sedangkan aksi di depan Gapura Kampus Uncen Abepura dikoordinir Septi Maidodga dan Agus Kadepa yang tampil percaya diri mengenakan jas almamater Uncen berwarna kuning.

Sementara para mahasiswa sedang melakukan orasi secara bergantian di bawah Gapura Kampus Uncen Waena, datang Pembantu Rektor (PR) III Bidang Kemahasiswaan, Drs. Paulus Homer dan Pembantu Dekan (PD) III FISIP Uncen, Drs. Yan Piet Morin untuk bernegosiasi dengan Yason Ngelia selaku koordinator aksi.

Pada saat itu PR III meminta Yason harus membubarkan massa karena aksi yang dilakukan dirasa mengganggu aktivitas perkuliahan. Sempat terjadi tawar menawar, namun Yason beserta massa yang ada ngotot untuk melaksanakan aksi.

Tidak lama berselang, sekitar pukul 09.15, dua buah mobil baracuda dan sejumlah truck Dalmas Polresta Jayapura yang di dalamnya dipenuhi puluhan anggota brimob serta beberapa mobil polisi yang diiringgi bunyi sirene yang meraung-raung tiba-tiba muncul dari arah Abepura dan berhenti di pinggir badan jalan beberapa meter dari gapura. Dari dalam sebuah mobil keluar Kabag Operasi Polresta Jayapura, Komisaris Polisi (Kompol) Kiki Kurnia didampingi anak buahnya.

Melihat Kabag Ops keluar dari mobil, Yason dengan serta-merta berteriak kepada massa; ā€œmari teman-teman kita berikan sambutan kepada sang provokator yang datang,ā€ disertai tepukan tangan bermotif mengejek. Kompol Kiki Kurnia lalu mendekat dan menyapa PR III Uncen Paulus Homer, PD III Fisip Uncen Yan Piet Morin, kemudian berlanjut ke Yason dan teman-temannya.

Setelah itu, PR III Paulus Homer meminta Kiki Kurnia selalu pihak kepolian membantu bernegosiasi dengan mahasiswa agar membuka palang. Kiki selanjutnya meminta ijin dan memberi komando kepada anak buahnya untuk mendekat membuka palang. Melihat hal ini, Yason lalu mengarahkanĀ  massa untuk mengambil jarak, berlindung di balik jeruji pagar kampus. Bersamaan pula sempat terjadi perdebatan dengan PR III Paulus Homer karena telah mengijinkan polisi membuka palang.

Ketika dilakukan upaya negosiasi, massa KNPB yang berjumlah 30-an orang dengan dipandu mobil komando yang dikoordinir Victor Yeimo, berjalan dari arah asrama Putra Uncen sambil membawa spanduk lalu bergabung dengan 50-an mahasiswa yang tadinya sudah berkumpul di bawah gapura.

Victor Yeimo lalu menyampaikan orasinya dan jumlah massa pun semakin membludak hingga hampir 100-an orang. Melihat massa yang terus bertambah, Kiki Kurnia lantas memberi peringatan tegas kepada massa bahwa polisi akan menahan mobil komando (mobil pemandu aksi). Tapi Victor Yeimo yang sedang berorasi, berkata dengan tegas bahwa mobil komando bagian dari perangkat aksi sehingga polisi tidak berhak membawanya.

Selanjutnya sempat terjadi adu mulut antara Victor dengan Kabag Ops Kompol Kiki Kurnia sehingga massa juga makin larut dalam ketengangan dengan polisi. Melihat situasi ini, Kapolresta Jayapura AKBP Alfred Papare yang pada saat bersamaan tiba di lokasi lalu berupaya menenangkan massa dengan pernyataan-pernyataan bernada datar (diplomatis).

Tetapi pada saat bersamaan, Kiki Kurnia juga memerintahkan anak buahnya untuk mengambil alih mobil pemandu aksi dari massa lalu membawa mobil itu ke arah pohon ketapang yang tegak berdiri tak jauh dari gapura. Namun massa bersama beberapa penanggung jawab aksi yang marah mendesak agar mobil komando tidak ditahan. Kapolresta pun menanggapinya dengan memberi jaminan kalau mobil komando (pemandu aksi) tidak akan ditahan.

Setelah itu, Kapolresta AKBP Alfred Papare berupaya bernegosiasi kembali dengan penanggung jawab aksi agar sebaiknya aksi tidak dilakukan dengan massa yang banyak menuju MRP. Tetap cukup dengan mengutus 10 orang perwakilan dari penanggung jawab aksi untuk bertemu pimpinan MRP guna menyampaikan aspirasi.

Soalnya, kata Kapolresta, pihaknya melalui Polda Papua semalam (hari mingggu malam tanggal 12 Mei) telah berkoordinasi dengan pimpinan MRP terkait rencana aksi demo masyarakat ke lembaga kultural ini.

Lagi menurut Kapolresta, para anggota MRP telah memberi sinyal bahwa mereka hanya mau menerima 10 orang perwakilan massa. Sebab ada kekuatiran jika massa dalam jumlah besar berdemo ke kantor MRP, akan berakibat dirusaknya fasilitas di kantor ini.

Mendengar penjelasan Kapolresta, penanggung jawab aksi dan massa tetap ngotot untuk berjalan bersama-sama menuju kantor MRP tanpa harus menggutus perwakilan. Soal ini sempat terjadi tawar menawar antara Kapolresta Jayapura AKBP Alfred Papare dan Kabag Ops Kompol Kiki Kurnia, dengan penanggung jawab aksi.

Dalam situasi ini, orasi masih terus dilakukan secara bergantian disertai tawar menawar. Namun Kapolresta Alfred Papare menegaskan bahwa massa tidak diijinkan melakukan long mars ke kantor MRP. Mendengar penegasan Kapolresta, massa lalu mendesak agar Kapolrestas harus menyiapkan kendaraan yang dapat ditumpangi ke kantor MRP. Namun karena tidak ada kendaraan lain untuk ditumpangi, Kapolresta menawarkan dengan memerintahkan anak buahnya yang berada di dalam truck untuk turun karena truck akan mengangkut massa ke MRP.

Namun tawaran Kapolresta tidak diinginkan oleh Victor Yeimo yang saat itu masih mengendalikan pengeras suara. Mendengar penolakan itu, Kapolresta meminta massa bersabar sekitar 20 menit karena polisi sedang mengupayakan truck lain untuk ditumpangi massa ke MRP.

Polisi kemudian berhasil membawa 2 truck biasa ke arah gapura dan tidak lama kemudian Victor Yeimo lalu mengkoordinir massa untuk naik secara tertib ke truck yang telah disediakan. Saat itu massa yang menyatu di depan Gapura Uncen juga membawa foto-foto korban penembakan di Aimas Sorong dan beberapa spanduk yang bertuliskan: ā€œKami Menuntut Pangdam, Kapolda, Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat Bertanggung Jawab Atas Tragedi penembakan di Aimas Sorong; Mendesak Dibukanya Akses bagi Pelapor Khusus PBB ke Papua; Kami Butuh Dukungan dari Negara-negara Melanesia Pasifik atas Saudara-saudara di Papua; Rakyat Papua Mendukung Pembentukan Kantor Perwakilan Free West Papua Campaign di Oxford Inggris.ā€

Setelah truck yang hendak ditumpangi terisi penuh, massa yang tidak menumpang truck diarahkan untuk dapat menggunakan motor agar membentuk iring-iringan kendaraan. Namun polisi tidak mengijinkan massa yang menggunakan motor untuk beriring-iringan bersama truck.

Akhirnya massa yang menggunakan motor diarahkan melewati jalan Asrama Putri dan selanjutnya menunggu di depan jalan masuk perumahan dosen Uncen Otto Wospakrik. Sementara massa yang menggunakan truck bergerak perlahan. Namun saat iring-iringan truck penuh massa tiba di jembatan depan Gereja Advent yang berjarak 50 meter dari gapura tempat awal massa terkonsentrasi, sempta terjadi kisruh yang disebabkan oleh polisi.

Akibatnya, ada sebagian massa yang sudah berada diatas truck terpancing dan melompat keluar seraya berupaya berlindung dari serbuan anggota polisi dan brimob yang memang sengaja ingin membubarkan massa.

Marthen Manggaprouw yang adalah salah satu penanggung jawab aksi berupaya menenangkan masa yang kocar kacir tetapi gagal. Sejumlah massa lalu melempar para polisi dengan batu.

Aksi saling serang, baku pukul dan baku tarik pun terjadi. Dalam suasana kisruh, beberapa penanggung jawab aksi diantaranya; Victor Yeimo (30-an thn), Marthen Manggaprouw (30-an thn) dan dua orang mahasiswa bernama Yongki Ulimpa (20-an thn)Ā  dan Elly Kobak (20-an thn) ditangkap, dipukul, dan diseret polisi ke dalam mobil tahanan. Sementara massa yang lainĀ  lari menyelamatkan diri.

Markus Giban (20-an thn) seorang mahasiswa yang sedang mengendarai motor disekitar lokasi huru hara juga mengalami tabrakan dari truck Dalmas Polresta.

Tangannya patah dan dia juga sempat dipukul polisi. Beberapa menit kemudian, situasi kembali tenang. Namun jumlah personel polisi dan brimob bersenjata lengkap atau memegang rotan, hingga personil keamanan yang berpakaian preman makin bertambah di sekitar lokasi aksi.

Setelah melalui negosiasi dengan Kapolresta, massa lalu diarahkan kembali menaiki 2 truck dan mobil komando untuk menuju kantor MRP di Kotaraja. Setelah itu iringan-iringan kendaraan pun melaju menuju kantor MRP dengan dikawal ketat 2 mobil barracuda, 10 truck Dalmas yang didalamnya memuat polisi dan brimob serta beberapa kendaraan polisi yang lain.

Massa yang dikawal aparat keamanan dari Perumnas 3 tiba di MRP sekitar pukul 12.10 WP. Sementara mobil yang membawa keempat tahanan: Victor Yeimo, Marthen Manggaprouw, Yongki Ulimpa dan Elly Kobak terus bergerak menuju Markas Polresta Jayapura.

Sesampai di Mapolresta Jayapura, Victor Yeimo bersama kawan-kawan yang ditahan sempat memberitahukan keberadaan via sms bahwa mereka telah dipukul oleh para anggota polisi. Sedangkan massa yang berjumlah 40-an orang dari gabungan mahasiswa Uncen dan mahasiswa Umel Mandiri yang terkonsentrasi di gapura Uncen Abepura tidak bisa bergerak ke kantor MRP. Mereka dihadang puluhan personil polisi dan brimob yang dikoordinir Kapolsek Abepura AKP Decky Wow di depan pagar gapura Uncen abe.

Upaya negosiasi dengan Kapolsekta Decky Wow telah dilakukan Septi Maidodga selaku koordinator aksi agar polisi membiarkan mereka bergerak ke kantor MRP dengan cara melakukan long mars atau menumpang kendaraan. Namun permintaan itu ditolak dengan alasan kalau mereka melakukan long mars akan mengganggu lalu lintas kendaraan di sekitar Abepura dan Kotaraja.

Sebaliknya, Kapolsek Abepura, Decky Wow, menyarankan agar Septi Maidodga dan rekan-rekannya tetap bertahan saja di bawah gapura Uncen Abe sambil terus berorasi, setelah itu mereka dapat membubarkan diri dengan tertib. Mendengar penegasan Kapolsek Abepura, Septi bersama massa yang juga membawa sebuah spanduk yang berisi kecaman terhadap Pemerintah dan aparat keamanan tetap bertahan sambil terus berorasi secara bergantian.

Sementara massa yang berjumlah 70-an orang yang sudah memasuki halaman kantor MRP dikawal ketat oleh aparat polisi dan brimob yang berjejer melingkar mengelilingi halaman dalam. Sedangkan di halaman luar pinggir jalan raya, puluhan aparat juga berjejer sambil menenteng senjata dan ada yang memegang tongkat rotan.

Karena halaman kantor MRP dijaga ketat, sejumlah warga yang hendak bergabung dengan massa sempat dihalangi dan diusir. Di dalam halaman kantor lembaga kultural ini juga dilakukan orasi secara bergantian sambil meminta pihak pimpinan beserta anggota MRP keluar menemui massa. Namun selama kurang lebih 40 menit, tidak ada pimpinan dan anggota MRP yang keluar menemui massa.

Kemudian dari dalam ruangan seorang perwira polisi yang mengabarkan kepada massa bahwa pimpinan dan anggota MRP tidak bersedia menemui massa di luar. Mereka hanya ingin menemui beberapa perwakilan massa.

Namun massa menolak jika hanya perwakilan mereka yang menemui pimpinan dan anggota MRP dalam ruangan tertutup. Massa yang kecewa terpaksa menunggu sambil mendengarkan Buchtar Tabuni berorasi sambil mendesak anggota MRP keluar menemui massa.

Dalam orasinya Buchtar mengatakan, jika pimpinan dan anggota MRP belum bisa ditemui, mereka tetap akan kembali di lain waktu, walaupun sebenarnya rakyat Papua telah menganggap MRP sudah tiada.

Karena menunggu cukup lama, beberapa penanggung jawab aksi mulai berembuk dan memutuskan agar massa bisa dipulangkan. Namun saat massa aksi hendak keluar dari halaman MRP, aparat polisi menghalangi mereka karena anggota MRP telah bersedia menemusi massa.

Massa yang hendak pulang akhirnya berbalik ke halaman MRP. Tapi mereka berhadapan muka dengan para anggota MRP yang dipimpin ketuanya, Timotius Murib. Massa justru membelakangi para anggota MRP dengan pandangan ke arah jalan raya. Buchtar Tabuni saat menyampaikan orasi, sempat meluapkan rasa kekesalan karena para anggota MRP telah menahan diri dan tidak mau menemui massa dari awal. Dengan begitu, menurut Buchtar massa rakyat Papua tetap menganggap keberadaan MRP sudah tidak ada sehingga massa akan segera pulang.

Setelah Buchtar mengatakan demikian, para anggota MRP tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan tanggapan. Massa selanjutnya membubarkan diri secara tertib lalu berjalan keluar dari halaman MRP ke jalan raya untuk mencari kendaraan tumpangan ke arah Abepura dan Perumnas 3 Waena. Namun karena keberadaan massa di pinggir jalan dirasa menghambat arus lalu lintas, polisi lalu mengijinkan massa menumpang truck mereka yang berada di halaman MRP kembali ke Perumnas 3 Waena. Dalam iring-iringan perjalanan dari kantor MRP ke Waena, massa yang dianggkut 2 truck dan sebuah mobil pemandu aksi dikawal ketat kembali oleh aparat keamanan.

Setelah tiba di Perumnas 3, massa yang masih tersisa lalu terkonsentrasi kembali di bawah pohon ketapang depan gapura Uncen Waena. Mereka berembuk setelah itu melakukan foto bersama di depan beberapa spanduk yang juga dibawa saat aksi.

Beberapa wartawan juga dijinkan mengambil foto dan keterangan dari terkait aksi yang sudah dilakukan. Setelah itu, massa yang masih tersisa diarahkan untuk berdoa menutup rangkaian kegiatan aksi mereka. Setelah itu massa membubarkan diri dengan tertib pada pukul 2.30 WP.

Melihat massa yang sudah membubarkan diri, para personel polisi dan brimob yang telah mengawal mereka sejak pagi juga secara lambat laun meninggalkan lokasi Perumnas 3 dengan kendaraan-kendaraan mereka.

Selepas aksi ini, sekitar jam 5 sore WP, Victor Yeimo yang ditahan hari itu lalu dibawa untuk dipisahkan dengan 3 tahanan lainnya. Padahal beberapa saat setelah Victor Yeimo, Marthen Manggaprouw, Yongki Ulimpa dan Elly Kobak dibawa ke Mapolresta Jayapura, beberapa pengacara telah berupaya membebaskan mereka dalam waktu 1×24 jam. Namun upaya ini gagal.

Victor sendiri ditahan karena polisi beralasan dia belum menjalani sisa masa hukumannya ketika pernah dijatuhi hukuman beberapa waktu lalu. Dia mungkin bisa diproses hukum kembali, tergantung tipe tuduhan apa yang akan dikenakan kepadanya.

*Penulis aktivis, tinggal di Jayapura, Papua

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pencaker Palang Kantor Gubernur Papua Barat Daya

0
"Namun sayangnya, sejak aksi dari pagi hingga pukul 13:00 siang, Pencaker tidak bisa bertemu dengan Pj Gubernur, sehingga kamiĀ  Pencaker bersepakat untuk memalang Kantor Gubernur secara adat," tegasnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.