ArsipMengenang 16 Tahun Tragedi Biak Berdarah 6 Juli 1998

Mengenang 16 Tahun Tragedi Biak Berdarah 6 Juli 1998

Minggu 2014-07-06 12:08:15

PAPUA, Jayapura — Tragedi Biak berdarah merupakan ukiran penderitaan di hati orang Papua. Sebuah tindakan biadab yang diterima rakyat sipil, hanya karena pertahankan Sang Bintang Fajar berkibar di sebuah menara oleh sekitar 500-1.000 massa, yang berakhir dengan apa yang dikenal sebagai peristiwa Biak Berdarah 6 Juli 1998.

Demikian rilis yang dikeluarkan Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM), kepada suarapapua.com, saat menggelar peringatan Tragedi Biak Berdarah di kantor Elsham Papua, Padang Bulan, Kota Jayapura, Papua, Minggu (6/7/2014) sore tadi.

  

Dalam peringatan yang diprakarsai oleh Bersatu Untuk Keadilan (BUK), Elsaham Papua, KontraS Papua dan KPKC Sinode GKI di Tanah Papua itu dihadiri oleh puluhan warga, mahasiswa, korban Biak Berdarah, pegiat LSM dan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Papua dan Papua Barat. 

 

Rilis itu menjelaskan, bahwa aksi penaikan Bendera Bintang Kejora itu dinilai sebagai tindakan melanggar hukum, sehingga di tangani dengan kekerasan oleh aparat TNI dan Polri.

 

Ratusan demonstran sipil tak bersenjata yang bertahan di sekitar menara air itu, dikepung dan ditembaki pada 16 Juli 1998 (dini hari) warga sipil di Keluruhan Panas, Kelurahan Waupnor dan Keluruhan Saramom, Distrik/Kecammatan Biak Kota di giring oleh aparat ke pelabuhan laut setempat dan dianiaya.  

 

Terjadi penangkapan sewenan-wenang, pembunuhan kilat, penyiksaan, penghilangan paksa dan berbagai tindakan tidak manusiawi lainnya. 

 

Ada sebagian korban yang diangkut dengan truk-truk Brimob, juga sebuah mobil container ke rumah sakit umum daerah (RSUD) dan Rumah sakit Angkatan Laut (RSAL) Biak.  

 

Namun. mereka tidak mendapat pelayanan medis yang serius. Sekitar 6 orang korban meninggal yang diangkut ke RSAL Biak pada saat itu. Hingga kini jenasah mereka belum kembali ke tangan keluarga

 

Beberapa waktu setelah peristiwa penyisiran dan penangkapan itu, ditemukan puluhan mayat di perairan (pesisir pantai) Biak.  

 

Ironisnya, tanpa dilakukan penyelidikan, aparat menyatakan mayat-mayat tersebut adalah korban bencana Tsunami di Aitape, Papua New Guinea yang terjadi 17 Juli 1998, meski diantara mayat-mayat ada yang tubuhnya terbungkus pakaian Pramuka dan kostum Golkar.  

 

Dari peristiwa ini dicatat 230 korban sebagai berikut: meninggal 8 orang, 3 orang hilang, korban luka berat yang dievakuasi ke Makassar 4 orang, 33 orang di tahan sewenang~wenang dan 150 orang mengalami penyiksaan, serta 32 mayat misterius.

 

Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua, termasuk Peristiwa Biak Berdarah ini, Negara Indonesia tidak pernah mmenyelesaikan hingga tuntas, dan tidak ada pelaku yang diadili, padahal tragedi Biak ini tergolong sebagai pelanggaran HAM berat.  

 

Kasus ini telah melengkapi penderitaan rakyat Papua, menginjak harkat dan martabat manusia, melanggar hukum nasional dan Internasional. 

 

“Oleh karena itu, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, berbagai peraturan perundang-undangan dalam Negara Republik Indonesia termasuk di dalamnya UU Otsus Papua, bahwa penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia adalah tangung jawab negara, maka dengan kesadaran akan hal ini kami yang tergabung dalam SKP-HAM Papua mendesak kepada.”

 

Pertama, Pemerintah Republik Indonesia untuk betanggung jawab terhadap seluruh kasus Pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di Tanah Papua.

 

Kedua, Pemerintah Republik Indonesia agar mengusut dan mengadili pelanggaran HAM Ad-Hoc, dengan membuka kembali hasil kerja Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Biak Berdarah yang dikoordinir oleh Komnas HAM RI.

 

Ketiga, dalam Rangka Penyelesaian hukum dimaksud, Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan dan Jaminan terhadap para korban dan keluarganya, termasuk juga memberikan rehabilitasi dan restitusi kepada para korban.

 

Keempat, mendesak Gubernur Provinsi Papaua, Papua Barat, DPRP, DPRD Papua Barat, untu mendorong sebauah evaluasi resmi atas kebijakan keamanan dan penegakkan HAM di Tanah Papua, termasuk juga mendorong proses-proses hukum atas kasus-kasus pelangaran HAM di Tanah Papua yang belum terselesaikan hingga kini.

 

Kelima, Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bansa-bangsa untuk segera berkoordinasi dengan Presiden Republik Indonesia terpilih, untuk mengusut kejjahatan HAM yang dilakukan negara di Tanah Papua.

 

Beberapa korban selamat tragedi Biak Berdarah yang hadir juga memberikan beberapa testimoni terkait peristiwa  yang paling memilukan di tanah Papua ini.

 

LINCOLD ALVO

Terkini

Populer Minggu Ini:

Kapolda Papua Barat Didesak Pidanakan Oknum Penganiaya Wartawan di Kaimana

0
“Saya juga mendesak Pangdam XVIII Kasuari untuk memberikan atensi pada kasus saudara Muray dengan memerintahkan Subden POM XVIII/1-3 Kaimana untuk menyelidiki indikasi keterlibatan anggotanya dalam kasus penganiayaan berat terhadap wartawan bernama Lukas Muray di Kaimana ini.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.