ArsipDemokrasi Ala Jakarta: Upaya Negara Padamkan Cahaya Hidup Orang Papua

Demokrasi Ala Jakarta: Upaya Negara Padamkan Cahaya Hidup Orang Papua

Minggu 2013-06-30 15:04:45

Tulisan ini saya awali dengan pernyatan seorang anak muda Turki bernama Abdullah Cevdet tahun 1897; “Penguasa dan pemerintah kami tak ingin cahaya menerangi negeri ini. Mereka menginginkan rakyatnya tetap bodoh, seperti binatang dan dalam keadaan buruk. Tak ada cahaya kebangkitan yang menyinari hati pejuang kami. Yang diinginkan pemerintah adalah rakyat tetap seperti binatang, tunduk seperti domba, membudak dan melayani seperti anjing…”[1]

Pernyataan ini diungkapkan Abdullah saat Turki berada dibawah pemerintahan Khilafha Utsmani. Abdullah adalah seorang pemimpin mudah yang ikut mendirikan gerakan muda yang mereka namai Young Turk atau dalam bahasa setempat Turki Fatat. Organisasi kepemudaan Turki ini yang kemudian berhasil menggulingkan pemerintahan Utsmani yang dianggap sebagai pemerintahan yang menghambat demokratisasi di Turki.

 

Indonesia mengembar gemborkan diri sebagai sebuah negara demokrasi. Untuk melegasi itu ia meratifikasi sejumlah aturan internasional dan melahirkan sejumlah produk hukum lokal yang diimpikan dilaksanakan dengan baik.

Misalnya, UU Nomor : 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Namun dalam realitas demokrasi hanya menjadi wacana bahkan atas nama aturan demokrasi, demokrasi itu diinjak-injak.

Hukum dan kepentingan politik dikedepankan ketimbang penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.  Akhirnya, gerakan kaum muda telah melengserkan penguasa Orde Baru yang otoriter militeristik di tahun 1998 dan 1999, seperti dalam pengalaman di Turki diatas.

Dalam negara demokrasi kebebasan beragama pun dijamin penuh, namun dalam prakteknya mereka justru disingkirkan.

Lihat kasus penutupan gereja di Jawa barat dan penyiksaan dan pengusiran terhadap kaum Ahmadiyah di pulau Jawa. Dalam kasus ini kita bisa menilai bahwa penguasa Orde Baru lebih baik ketimbang pemerintahan setelah reformasi khususnya dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono.

Ironisnya, negara bersedia menerima penghargaan dari sebuah organisasi Yahudi di New York karena dinilai berhasil membangun dan menjaga kerukunan umat beragama, walaupun kenyataan dilapangan berbeda. Bukankah itu tindakan kemunafikan?

Di Papua, penegakkan demokrasi dalam konteks kemanusiaan dan kebebasan berekspresi terasa sepih. Kemanusiaan orang Papua terus terenggut oleh roh kematian (entah roh yang sesungguhnya atau roh penjelmaan dimana manusia dijadikan media).

Kematian akibat penyakit, kelaparan, penembakan, penyiksaan, black magic, kematian tanpa sebab, dll meningkat setiap saatnya. Selain rakyat jelata, seperti Abner Malagawak (22), Thomas Blesia (22), dan Ibu Salomina Klabin (37), ada juga tokoh-tokoh penting yang terbunuh, misalnya, Agua Alua, Mako Tabuni, Frans Wospakrik, Tony Infandi, Timotius Murib, Salmon Maurits Yumame, dll.

Mereka adalah penegak demokrasi yang terbunuh oleh mesin pembunuh negara yang seharusnya ikut membela dan menegakkan demokrasi.

Membunuh adalah bentuk lain dari pembungkaman kebebasan berekspresi. Dan wujud yang lainnya adalah melarang orang untuk demostrasi dan atas nama hukum mengeluarkan pernyataan di media dalam rangka pembenaran diri.

Anda bisa lihat komentar Kapolda Papua yang dirilis di media Bintangpapua (22/06/13) dengan judul “Polda Papua Tidak Pernah Membungkam Demokrasi di Papua”[2].  Komentar seperti ini merupakan upaya pembenaran diri negara melalui Kapolda Papua terhadap semua bentuk kejahatan dan kekerasan yang dilakukannya selama ini.

Negara mencoba mengelak dan mau mencuci tangan dari tindakannya. Disini Negara memposisikan dirinya sebagai dewa yang selalu benar dan tak boleh disentuh atau diprotes.

Apa yang disampaikan Kapolda mewakili negara itu adalah upaya negara memparalisis orang Papua. Orang Papua hendak dibuat tak berdaya terhadap realitas yang ada. Negara mengiring  orang Papua agar mau menerima apa saja yang menurut Jakarta baik dan layak.

Namun harus disadari bahwa gaya seperti ini justru menimbun kebencian dalam diri orang Papua. Ini barangkali disegaja oleh negara untuk membangkitkan emosi perlawanan rakyat, lalu kemudian rakyat itu dipukul mundur oleh kekuatan militer. Entalah!

Tapi jika itu terjadi maka spiral kekerasan ala Dom Helder Camara akan terus menjadi realitas yang tak dapat dihentikan di tanah Papua. Kekerasan akan semakin menjadi tanpa solusi, sebab masalah Papua dan Jakarta adalah masalah ideologi.

Menanggapi komentar Kapolda itu, Pdt. Benny Giay dalam jumpa persnya mengatakan bahwa kelakuan aparat keamanan di Papua itu sama dengan apa yang dilakukan oleh aparat keamanan penjajah Belanda terhadap gerakan nasionalis Jawa dan Sumatera tahun 1919-1930an[3].

“Perilakunya sama dengan watak aparat keamanan dewasa ini di Tanah Papua terhadap Nasionalis Papua, sehingga melalui media kami serukan dan menghimbau agar pihak TNI-Polri membuktikan dirinya  bahwa TNI-Polro tidaklah sama dengan tentara dan Polisi Belanda di Jawa atau Sumatera “tempo doeloe”, dengan mengedepankan dialog dan memberi ruang untuk orang Papua bisa mengemukakan pendapatnya, sebagai pemenuhan dari salah satu hak asasi manusia, asalkan tidak tidak menimbulkan tindakan-tindakan anarkhis.”

Saya sepakat dengan apa yang diutarakan Pdt. Benny Giay diatas, juga opini dari Petrus K.Farneubun yang bilang bahwa dalam konteks Papua, pemerintah Indonesia masih berpikir tradisional dengan pendekatan state securiity approach.

Dimana keamanan negara dan kepentingan nasional diutamakan dari pada melindungi dan memperlakukan warga negaranya dengan baik[4].

Perlindungan dan penghargaan terhadap nilai kemanusiaan orang Papua yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam menjalankan pemerintahan justru diabaikan. Mereka bahkan tersingkir oleh pembangunan bias pendatang (migrant biased policy) seperti yang pernah diungkapkan oleh Joko Affandi.

Kenyataan yang lain diungkapkan oleh pater Vincent Suparman, SCJ, komentarnya, “Selama 10 tahun melayani di pedalaman Papua, saya melihat masyarakat di sana, selain hidup menderita secara ekonomi, juga masih hidup di bawah kekerasan dan tekanan militer Indonesia. Masa depan Papua tidak pasti, orang Papua mau ibadah dilarang, tulis buku soal Papua dilarang, rekam lagu Papua dilarang dan mau demo juga dilarang. Semua kegiatan kegiatan itu dianggap makar dan diadili dengan hukuman yang tidak adil."[5]

Itulah wajah demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia dan khususnya di Papua. Kebijakan negara di Papua tidak bedah dengan apa yang diungkapkan oleh Abdullah Cevdet di awal tulisan ini. Bahwa pemerintah tidak ingin ada cahaya bersinar di tanah Papua.

Mereka berusaha mematikan cahaya yang bersinar dari dalam diri orang Papua, dengan memperlakukan orang Papua seperti binatang, tunduk seperti domba, membudak dan melayani seperti anjing.

Tapi orang Papua punya harapan karena masih ada cahaya kebangkitan yang menyinari hati. Sehingga baiklah kita menerima nasehat Pater Vincet, “Semua orang Papua harus sayangi masa depan orang Papua sendiri. "Jangan hanya terima kenyataan buruk terus, harus ada sikap perlawanan menentang segala bentuk penjajahan. Hidupkan kembali semangat  hidup dan kebangkitan era 1961/1962 yang telah dipadamkan itu.” Semoga!

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial di tanah Papua

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pasukan Keamanan Prancis di Nouméa Menjelang Dua Aksi yang Berlawanan

0
"Tidak ada wabah yang akan ditoleransi" dan jika hal ini tidak terjadi, maka "reaksi akan tegas dan mereka yang bertanggung jawab akan ditangkap", ia memperingatkan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.