ArsipJokowi Akan Diberi Daftar Kasus HAM Papua

Jokowi Akan Diberi Daftar Kasus HAM Papua

Kamis 2015-12-10 10:43:32

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Peringati hari HAM sedunia, 10 Desember 2015, Tim Peduli HAM Pegunungan Tengah Papua menyampaikan sejumlah catatan penting menyangkut situasi HAM di Pegunungan Papua yang hingga hari ini belum diungkap, termasuk pembiaran oleh pihak yang seharusnya menyelesaikan pelanggaran HAM tersebut.

Hal ini diungkapkan Ketua Peduli HAM Pegunungan Tengah, Theo Hesegem didampingi Pater John Jonga, Julianus Ivan Simamora, Cyrus Simalango, Dewan Adat Papua (DAP) Lapago, Engelbert Surabut, tokoh perempuan Maria Wetipo dan budayawan Niko Ricard Lokobal serta sejumlah aktivis kemanusiaan lainnya, Kamis (10/12/2015).

Menurut Theo, hal-hal ini akan disampaikan kepada masyarakat, tetapi juga kepada Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo. Terutama soal pelanggaran Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob), seperti kelangkaan BBM dan tingginya harga Sembilan Bahan Pokok (Sembako) yang mencekik masyarakat di wilayah di Pegunungan Tengah.

“Kesannya ada diskriminasi dibanding masyarakat Indonesia lain. Termasuk, buruknya kondisi dan pelayanan kesehatan serta pendidikan yang masih buruk,” kata Theo kepada wartawan di Rumah Bina Katolik Wamena, Kamis siang.

Ia mengungkapkan fakta selama ini tak sedikit petugas kesehatan dan guru yang tak kerasan di tempat tugas. Selain itu, Puskesmas dan sekolah tanpa fasilitas yang memadai.

“Akibat dari itu, masyarakat kita masih dalam kondisi jauh tertinggal,” ujarnya.

Persoalan lain, lanjut Theo, program Pemerintah Pusat, seperti Raskin dan perumahan untuk rakyat di Papua tak transparan dan akuntabel. Program-program itu tak jelas siapa penanggungjawabnya dan bagaimana sistem dan prosedur yang seharusnya.

“Hampir semuanya tidak tepat sasaran, tidak tepat biaya, tidak tepat jumlah, tidak tepat waktu, tidak tepat kualitas dan tidak sesuai budaya,” ujarnya.

Lebih jauh soal dana desa yang sejatinya membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat, kata Theo, realisasinya tak banyak memberi manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat kampung.

“Karena ternyata habis dibagi rata di antara masyarakat bahkan sebagian dana diselewengkan aparat kampung untuk kepentingan pribadi,” tudingnya.

Tak hanya itu, lanjut Theo, peluang usaha kecil dan menengah bagi masyarakat asli Papua tidak didukung dan difasilitasi pemerintah.

“OAP dibiarkan bersaing dengan pedagang non-Papua yang memiliki modal, pengalaman dan jaringan yang kuat. Termasuk, fasilitas yang disediakan untuk pedagang asli Papua pun dibuat tanpa perencanaan yang baik, sehingga mubazir,” ungkapnya.

Theo juga menyoroti maraknya usulan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) yang terus bergulir tanpa ada arahan dari pemerintah daerah. Hal ini menurutnya, berpotensi memicu konflik horizontal di antara para pendukung dan penolak.

Mengenai hak sipil dan politik, kata dia, seperti adanya beberapa kasus kekerasan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum dan masih banyak kasus kekerasan aparat negara yang menyebabkan kematian.

“Seperti belum adanya penyelesaian kasus dari tahun 2008 hingga saat ini dan para pelakunya dibiarkan tetap bebas,” ujar Theo.

Berbagai kasus penangkapan terhadap OAP dilakukan dengan stigmatisasi separatisme atau kriminalisasi masyarakat adat tanpa ada pemeriksaan terlebih dahulu, yang ternyata setelah diperiksa tidak ditemukan kesalahan, sehingga kemudian dilepas kembali.

“Masyarakat tidak bisa bebas mewujudkan demokrasi dan menyampaikan pendapatnya karena dihalang-halangi, diancam dan ditangkap.”

“Jurnalis lokal yang meliput tentang kekerasan diintimidasi oleh aparat agar memberitakan sesuai keinginan aparat. Sementara jurnalis asing tetap dipersulit untuk meliput di Papua,” ungkap Theo.

Selain itu, masih adanya penahanan dan penangkapan oleh aparat yang seringkali abaikan prosedur hukum serta disertai ancaman, penyiksaan bahkan penembakan. Beberapa persoalan hukum yang terjadi di antara masyarakat tidak segera ditegakkan, sehingga membiarkan masyarakat terus bertikai termasuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Seperti, masih berjalannya kasus kekerasan di Karubaga, Kabupaten Tolikara, 17 Juli 2015, sekarang dilanjutkan dengan proses hukum terhadap orang yang diduga sebagai pelaku penyerangan dan pembakaran kios.

Namun, ironisnya, pelaku penembakan dari pihak aparat kepada masyarakat yang menyebabkan satu orang meninggal dunia dan sebelas orang luka-luka justru dibiarkan.

“Kasus-kasus yang terjadi di Enarotali (8 Desember 2014), Yahukimo (15 Maret 2015), Timika (28 Agustus dan 28 September 2015), dan wilayah lain di Papua hingga kini didiamkan, walau banyak pihak sudah seringkali mempertanyakan dan mendesak penyelesaian yang adil.”

 

“Pembiaran kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara ini memberi kesan seolah-olah kekerasan ini direstui atau bahkan dilakukan oleh negara,” pungkasnya.

Editor: Mary

ELISA SEKENYAP

Terkini

Populer Minggu Ini:

Kepala Suku Abun Menyampaikan Maaf Atas Pernyataannya yang Menyinggung Intelektual Abun

0
“Kepala suku jangan membunuh karakter orang Abun yang akan maju bertarung di Pilkada 2024. Kepala suku harus minta maaf,” kata Lewi dalam acara Rapat Dengar Pendapat itu.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.