Minggu 2014-05-18 16:20:30
Buku Imagined Communities–Reflections on the Origin and Spread of Nationalism karya Benedict Anderson banyak dipuji, tetapi juga sekaligus dicaci. Indonesia di mata Anderson tak lebih dari suatu bangsa yang terus mencari jati diri karena kewargaannya berbasis aneka komunitas yang kebetulan memiliki kesamaan nasib sejarah. Sejarah menunjukkan hingga kini Indonesia masih terus bergumul dalam proses berkembang.
Sosiolog Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, mencatat, paling kurang sejak tahun 1999, derap bangsa Indonesia sebagai bangsa menjadi tertatih-tatih kalau bukan terpuruk-oleh berbagai manifestasi intoleransi sosial-politik dan budaya yang sangat serius.
Â
Radikalisasi agama dan adat telah merebak sedemikian rupa sehingga membuat kita tertegun dan bertanya: masih adakah harapan kita hidup bersama sebagai warga negara dalam suatu bangsa yang bernama Indonesia? Masih mungkinkah “proyek keindonesiaan†ini kita teruskan?
Mungkin Tamrin Tomagola terlalu pesimistis. Setidaknya tanggal 20 Mei lalu tepatnya Hari Kebangkitan Nasional, empat pemuda/mahasiswa Indonesia anggota Universitas Katolik Parahyangan Bandung menapakkan kaki mereka di puncak Gunung Everest, gunung tertinggi di dunia. Sebuah kado bagi Indonesia. Sang Merah Putih dikibarkan di tengah pupusnya nasionalisme dan rasa kebersatuan kita sebagai bangsa.
Pesimisme Tamrin Tomagola mungkin juga beralasan sebab eforia reformasi yang dimotori para mahasiswa sejak Mei 1998 kini nyatanya kandas terbajak (reformasi kebablasan). Korupasi, Kolusi, dan Nepotisme yang memaksa Soeharto turun kini justru makin massif terjadi, termasuk oleh partai yang mengusung slogan bahwa dirinya yang paling antikorupsi.
Selama belasan tahun pula negara membiarkan kasus-kasus, seperti kerusuhan Mei 1998, tragedi Trisakti, dan Semanggi I dan II terbengkalai. Ujuk rasa damai yang sudah berlangsung hampir 360 kali setiap hari Kamis di depan Istana Negara oleh para kerabat mereka yang tewas atau hilang secara paksa tetap saja dianggap angin lalu.
Aksi damai ini mencoba mengikuti jejak aksi serupa di Plaza de Mayo, Buenos Aires, Argentina, yang menghasilkan Konvensi PBB untuk Anti perhilangan paksa yang sayangnya sampai kini belum di ratifikasi Indonesia.
Menengok ke Belakang
Memang ada kemiripan antara Indonesia dan Argentina. Kedua negara ini pernah sama-sama di cengkeram oleh rezim militer. Adalah Ben Anderson (dalam Cornell Papers) yang mengungkapakan bahwa kudeta tahun 1965 di Indonesia sebenarnya dilakukan oleh militer ( yang didukung oleh Amerika Serikat), bukan komunis.
Ini dapat dipahami di dalam konstelasi perang dingin bahwa momok komunisme menjadi pembenaran (justification) bagi Amerika Serikat mendukung rezim militer di Indonesia dan diktator militer di negara-negara Amerika Latin, seperti Argentina.
Dalam film Imagining Argentina, terungkap bahwa selama periode 1976-1983, menurut catatan Amnesty International, di Argentina sedikitnya ada 30.000 warganya hilang secara paksa. Sementara di Indonesia “hanya†tercatat 1.200 orang hilang.
Dalam semangat mengenang momen Kebangkitan Nasional sejak lebih dari seabad lalu, adalah sah dan bahkan wajib bagi kita untuk menengok sejenak ke belakang melihat perjalanan kita sebagai bangsa selama 12 tahun terakhir sejak masa reformasi bergulir.
Menurut Tamrin Tomagola, masalah kita sebagai bangsa yang paling mendasar saat ini adalah kompatibilitas antar berbagai identitas primer yang disandang, apakah secara tulus atau secara manipulatif dalam berbagai ruang/adat seyogyanya di bawa serta melewati batas ruang/ranah komunal ke ruang publik warga negara atau tidak?
 Celakanya, kita tidak tahu lagi mana batas yang komunal dan mana batas yang publik. Seharusnya setiap individu di Indonesia melepaskan Identitas primer masing-masing, seperti suku, ras, agama, serta masuk sebagai rakyat dan warga negara Indonesia dalam bingkai konstitusi 1945 dan Pancasila.
Permasalahan inti kedua adalah mungkinkah dalam ranah komunitas dan komunal dibenikan dan dirawat-tumbuhkan suatu energi civic competence yang pada gilirannya dapat dibawa untuk merekat dan menyemarakan civic pluralism dalam perjumpaan ranah publik sebagai sesama warga negara yang setara? Civic competence dapat diibaratkan seperti setiap batu bata yang disusun menjadi dinding tinggi bangsa ini.
Jika ini dimiliki oleh setiap warga negara yang mampu bertemu dan berdialog secara beradab di ruang publik, diyakini akan memperkokoh dinding dan pilar negara-bangsa bernama Indonesia. Semoga.
Penulis adalah mantan Ketua BEM Uncen periode 2012-2013, Ketua LKBH PERMAHI Papua 2011-2013, Presiden FMMP, Aktivis PMKRI Cabang Jayapura, Alumni Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Cenderawasih Tahun 2012, dan Sekarang ikut Traning di Nemangkawi, Timika – Papua