ArsipPro Kontra Pembangunan Bandara Werur di Tambrauw (1)

Pro Kontra Pembangunan Bandara Werur di Tambrauw (1)

Minggu 2013-02-17 08:54:45

PAPUAN, FEATURE — Tambrauw, satu dari sekian negeri elok di Tanah Papua yang kaya akan sumber daya alam. Nama kabupaten ini diambil dari nama “Gunung Tambrauw” yang puncaknya diselimuti awam putih berlapis yang menembus angkasa biru

Rangkaian pegunungan Tambrauw mirip punggung kura-kura yang menyembul di bagian tengah wilayah Kepala Burung (Vogelkop) New Guinea Papua. Kemolekan wilayahnya tak hanya berhiaskan hutan topis, tapi juga oleh ribuan hektar area padang rumput hijau nan luas, mirip kawasan berekologi Savana di Afrika.

Wilayah Kabupaten Tambrauw memang sangat mempesona. Menyimpang berjilid-jilid misteri alam yang belum tersingkap oleh kepandaian eksplorasi manusia. Kabupaten ini terletak di Provinsi Irian Jaya Barat (kini Papua Barat yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 56 Tahun Tahun 2008.

Terbentuk dari hasil pengggabungan beberapa wilayah kabupaten induk Sorong dan Manokwari. Jumlah penduduk di kabupaten ini sekitar 29.119 jiwa dengan kepadatan penduduk 5.62 jiwa/km (data BPS 2007).

Semula, untuk memenuhi syarat administrasi pembentukannya, diawali pemekaran sejumlah distrik dan kampung baru. Adalah Werur sebagai kampung paling tertua di Distrik Sausapor yang turut dimekarkan menjadi dua kampung baru: Wertam dan Werwaf.

Sausapor sendiri juga merupakatan distrik tertua dengan jumlah penduduk sekitar 13.595 jiwa. Sejak dimekarkan hingga 2012, Kabupaten Tambrauw praktis memiliki sedikitnya 10 distrik dan 62 kampung/kelurahan, dengan luas keseluruhan wilayah sekitar 5.179,65 km2.

Sebagai kabupaten baru, terbatasnya jalur transportasi membuat sebagian wilayah Tambrauw masih sulit diakses. Karenanya Pemda berinisiatif memperluas jalur perhubungan darat, laut dan udara. Inisiatif itu dimaksudkan guna mendorong geliat pembangunan di kabupaten yang baru terbentuk ini. Salah satu upaya yang hendak ditempuh melalui pembangunan bandara di Kampung Werur Distrik Sausapor.

Kampung ini dipilih sebagai lokasi bandara karena di Werur sudah ada bekas landasan pacu peninggalan tentara Sekutu. Landasan itu dibangun saat Perang Dunia (PD) II berkecamuk di tahun 1940-an dan sempat meluas ke wilayah kepala burung (vogelkop) New Guinea. Panjang landasan peninggalan ini mencapai 3 kilometer lebih.

Jejak sejarah itulah yang membuat Werur dikenal sebagai kampung tertua di Distrik Sausapor, bahkan di wilayah Tambrauw pada umumnya. Walaupun sebenarnya Kampung Werur sudah lama terbentuk sebelum Perang Dunia (PD) II. Hanya saja mengenai kapan terbentuknya, tidak ada yang tahu pasti.

Menurut Pemkab Tambrauw, rencana pembangunan bandara Werur akan menggunakan lahan sepanjang 3000 meter atau 3 Km2 mengikuti panjang landasan pacu bekas peninggalan tentara sekutu.

Bila proyek ini terwujud, sebagian besar masyarakat yang masih mendiami Kampung Werur bakal direlokasi ke tempat lain. Rencana tersebut kemudian ditentang keras oleh sebagian besar masyarakat yang telah lama menghuni kampung tua itu.

Menanggapi keberatan masyarakat perihal rencana pembangunan bandara, pada tengahan 2011 Pemda melalui Dinas Perhubungan bersama Asisten I dan II Kabupaten Tambrauw lalu mengambil inisiatif melakukan pendekatan dengan masyarakat di 3 (tiga) kampung.

Namun saat pertemuan sedang berlangsung, warga pemilik ulayat di tiga kampung menyatakan sikap tegas menolak rencana pembangunan bandara di kampung mereka. Masyarakat beralasan: “Werur merupakan kampung tertua yang memiliki rangkaian jejak sejarah yang patut dilindungi dan dilestarikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tambrauw.”

Pertemuan itu akhirnya tidak mencapai kata sepakat. Perwakilan Pemda Kabupaten Tambrauw yang ditunjuk melakukan sosialisasi dan negosiasi dengan masyarakat lantas kecewa.

Pada pertemuan sebelumnya, masyarakat dengan perwakilan Pemda juga tidakcapai kata sepakat. Belakangan di bulan Agustus 2012, Pemda dengan tanpa pengetahuan masyarakat kembali memaksakan dilaksanakannya proyek pembangunan bandara dengan menempatkan eksavator, bulldoser dan mesin-mesin lainnya di Kampung Werur.

Penempatan mesin-mesin penggusur itu lantas membuat masyarakat kaget dan panik. Sebab belum ada persetujuan bersama antara Pemda dan masyarakat pemilik hak ulayat.

Bahkan belum ada kesepakatan mengenai jaminan hidup yang akan ditanggung Pemda sebagai kompensasi atas wilayah mereka yang akan dijadikan area bandara. Kebijakan Pemda Kabupaten Tambrauw itu jelas membuat masyarakat sangat kecewa dan berang. Masyarakat juga merasa tidak dihargai karena negosiasi awal yang dilakukan Pemda hanya melibatkan orang-orang tertentu.

Sudah begitu, pada tahap awal sosialisasi, Pemda tidak memaparkan secara detail master plan pembangunan bandara maupun kejelasan kompensansi tanah, termasuk analisa dampak lingkungan (AMDAL) yang bakal terjadi. Yang ditakutkan, bila proyek tersebut dipaksakan, masyarakat setempat akan kehilangan tanah dan sumber kehidupan berupa kebun dan tanaman, termasuk status Werur sebagai kampung bersejarah.

Menanggapi polemik ini, sejumlah mahasiswa dan pemuda asal Kampung Werur lalu berinisiatif  membentuk tim kecil yang diberi nama “Tim Peduli Suku Biak-Karon (Bikar)”. Tim ini selanjutnya diberi mandat oleh  empat ketua marga yang ada di Kampung Werur: Mayor/Padwa, Mambrasar, Yappen dan Paraibabo/Sarwa serta beberapa tokoh masyarakat.

Pemberian mandat itu dilakukan secara resmi melalui suatu pertemuan di Gedung Balai Kampung Werur bersama warga masyarakat tiga kampung.

Berbekal mandat yang diberikan, tim yang dikoordinir Alfian Mambrasar dan Matias Mayor ini lalu mengorganisir masyarakat tiga kampung dalam suatu pertemuan guna mendapatkan kesepakatan bersama.

Hasil kesepakatan pertemuan selanjutnya dibawa oleh tim ketika bertemu Bupati Tambrauw, Gabriel Asem. Saat berkesempatan bertatap muka dengan Bupati Tambrauw pada 10 September 2012, Tim Peduli Suku Bikar sempat menyampaikan aspirasi penolakan masyarakat Werur terhadap rencana pembangunan bandara.

Menanggapi aspirasi ini, Bupati Gabriel Asem memutuskan keesokan harinya tanggal 11 September 2012, dirinya bersama sejumblah pejabat Kabupaten Tambrauw harus bertatap muka dan melakukan dialog langsung dengan masyarakat tiga kampung.

Keesokan harinya pertemuan pun digelar di Balai Pertemuan Kampung Werur. Dalam pertemuan itu bupati menyampaikan penjelasan mengenai tujuan pembangunan bandara Werur yang intinya sebagai berikut :

“Tujuan membangun bandara udara adalah untuk membuka akses transportasi sehingga para pemodal  dari luar Papua (Jakarta) maupun luar negeri dapat dengan mudah datang berinvestasi di Kabupaten Tambrauw. Dengan begitu wilayah Kabupaten Tambrauw bisa berkembang dengan cepat. Pembangunan bandara juga akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Disini masyarakat bisa bekerja sebagai sekuriti dan buru bagasi hingga masyarakat bisa menjual barang-barang hasil mereka di sekitar bandara sehingga ada peningkatan ekonomi keluarga”.

Pro Kontra

Setelah mendengar penjelasan bupati, ada beberapa perwakilan masyarakat yang kemudian merespon. Salah satu perwakilan pemuda (Yohanis Mambrasar) menyampaikan tanggapan bahwa rencana pembangunan bandara bukanlah kebutuhan mendesak masyarakat saat ini. Namun yang menjadi kebutuhkan mendesak adalah perlunya penyediaan infrastruktur jalah, jembatan dan kapal perintis transportasi laut antar wilayah.

“Kami masyarakat Tambrauw khususnya yang berada di kampung-kampung di pesisir pantai mayoritas adalah masyarakat petani. Jalan dibutuhkan untuk menghubungkan kampung-kampung ke distrik dan kabupaten. Karena saat ini masyarakat di kampung-kampung masih terisolir dari jangkauan pembangunan.”

“Kami masyarakat membutuhkan jembatan dan kapal perintis untuk mengangkut hasil tanaman kami agar bisa dipasarkan di Sorong dan Manokwari guna memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga kami. Namun saat ini kami kesulitan karena hanya ada satu kapal yang beroperasi dan tidak ada jembatan di setiap kampung untuk digunakan masyarakat.

Seharusnya hal ini yang yang menjadi prioritas dari pemerintah dalam membangun kabupaten ini. Bandara akan dibangun di kemudian hari jika kita masyarakat sudah mampu secara ekonomi dan SDM sehingga nantinya kami masyarakat yang menikmati bandara tersebut. Kalau pembangunan bandara dipaksakan, nantinya masyarakat yang menjadi korban, masyarakat akan tersingkir”.

Tatap muka dan dialog dengan Bupati Tambrauw Gabriel Asem tidak berjalan mulus lantaran sempat terjadi keributan sehingga dihentikan beberapa saat untuk kembali dilanjutkan. Namun masih terjadi perbedaan pendapat antara masyarakat dan Pemda.

Masyarakat tiga kampung tetap tidak menyetujui pembangunan bandara di wilayah mereka. Bila Pemda masih bersikukuh membangun bandara di Kampung Werur, masyarakat menghendaki agar pembangunan bandara sebaiknya dilakukan di lokasi yang jauh dari pumukiman mereka.

Menanggapi sikap masyarakat yang tetap pada pendirian untuk tidak memberikan tanah mereka, Kepala Kampung Werwaf, Moses Paraibabo, dengan serta merta menyerahkan wilayah Kampung Werwaf sepanjang 800 meter dengan lebar 50 meter untuk dijadikan lahan bandara. Ironisnya, penyerahan itu dilakukan atas inisiatif sendiri tanpa berkoordinasi dengan warga kampungnya (bersambung..)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Freeport Setor Rp3,35 Triliun Bagian Daerah atas Keuntungan Bersih 2023

0
“Keberhasilan kami sebagai perusahaan adalah ketika masyarakat di lingkungan sekitar area operasional meningkat taraf hidup dan kesejahteraannya. Kami terus bertumbuh dan berkembang bersama Papua hingga selesainya operasi penambangan pada 2041,” kata Tony.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.