ArsipApakah Papua Akan Lebih Baik di 2012?

Apakah Papua Akan Lebih Baik di 2012?

Jumat 2012-02-17 11:46:30

Sudah setengah abad Papua (baca: Papua dan Papua Barat) bergabung dengan Indonesia, sejak diselenggarakannya penentuan pendapat rakyat (PEPERA), atau musyawarah di tahun 1969.

Dalam PEPERA kala itu, ada dua opsi yang diajukan; apakah orang Papua memilih merdeka dan berdaulat sebagai sebuah Negara, atau bergabung dengan Indonesia.

 

Sebagian besar wakil Papua memilih bergabung dengan Indonesia –walau belakangan prosesnya diketahui penuh rekayasa dan manipulative. Dan sampai saat ini PEPERA masih terus diperdebatkan keabsahaannya.

Wakil Papua yang memilih bergabung dengan Indonesia memunyai harapan, bahwa suatu saat Papua akan maju dan berkembang di dalam Indonesia.

Mereka juga optimis, Indonesia akan membangun manusia Papua dengan kasih, kejujuran dan keadilan, dan serta menghargai harkat dan martabat orang asli Papua.

Pertanyaannya, apakah Indonesia telah membangun manusia dan tanah Papua seperti harapan dan cita-cita mereka?

Sejak bergabung dengan Indonesia, operasi militer dari tahun ke tahun terus dilakukan. Tujuannya agar orang-orang Papua dapat menjadi bagian Indonesia.

Setiap demonstrasi damai yang dilakukan warga Papua, selalu dihadapi oleh militer dengan bedil dan moncong senjata.

Era reformasi yang ditandai dengan pemberiaan UU Otonomi Khusus, nasib penduduk asli Papua tak kunjung membaik, dan malahan lebih memprihatinkan lagi.

Baru-baru ini, BPS menyebutkan, jumlah penduduk miskin di Papua sebesar 761.620 jiwa (36,80%), sedangkan di Papua Barat pada periode yang sama sebesar 256.250 jiwa (34,88%).

Total penduduk miskin di kedua provinsi pada bulan Desember 2011 sebesar 1.017.870 jiwa; Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga masih yang paling rendah; pendidikan dan kesehatan di juga dianggap yang paling buruk.

Angka kematian bayi dan ibu melahirkan juga meningkat tiap tahunnya. Pengidap penyakit HIV/AIDS terbanyak ada di Papua; penyakit TBC dan Malaria juga telah merenggut nyawa ribuan penduduk asli Papua.

Yang lebih miris, kuantitas penduduk asli tiap tahunnya semakin menurun. Lihat perhitungan ini, pada tahun 1969 jumlah penduduk Papua New Guinea (PNG) sebesar 600 ribu jiwa, jumlah penduduk asli Papua 800 ribu jiwa.

Dan sensus tahun 2011 memperlihatkan jumlah penduduk PNG sebesar 6.7 Juta jiwa, sedangkan penduduk asli Papua hanya berkisar 1.8 juta jiwa.

Logikanya, apakah tidak aneh jika dalam kurun waktu 50 tahun penduduk asli Papua hanya bertambah 1 juta jiwa, padahal PNG bertambah sekitar 6 juta jiwa.

Beberapa lembaga hak asasi manusia (HAM) juga merilis data-data pelanggaran HAM, menurut mereka tiap tahunnya tensinya justru semakin meningkat.

Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International menyebut ada sekitar 50 orang Papua yang dijadikan sebagai tahanan politik karena menyuarakan aspirasi politik secara damai tanpa kekerasan.

Apakah dibenarkan, dalam Negara merdeka ada tahanan politik, apalagi di dalam Negara yang menganut paham demokrasi?

Pemerintah boleh saja katakan Otsus berhasil, dan pemekaran daerah adalah solusi yang baik. Namun, kalau ditelusuri, konflik dan sengketa, termasuk perang antar suku justru berada di wilayah-wilayah pemekaran.

Konflik yang terjadi baru-baru ini di Kabupaten Tolikara, Papua, yang berbuntut pada meninggalnya empat orang warga sipil, dan puluhan lainnya luka-luka; dan yang terjadi di Puncak, Papua, dan menewaskan  50-an orang warga sipil adalah dua contoh yang paling baru.

Jadi, pemekaran daerah baru dalam era Otsus tentu tak membawah manfaat, karena hanya meninggalkan konflik antar orang Papua sendiri yang tentu dapat memakan korban nyawa.

Dari paparan diatas, bisa disimpulkan, bahwa Pemerintah telah gagal membangun Papua, karena sampai saat ini tak ada pencapaiaan positif yang dilakukan untuk memajukan orang Papua.

Papua 2012?

Seperti apa Papua di tahun 2012? Apakah akan lebih baik, atau biasa-biasa saja, atau justru semakin memburuk?

Frans Magnis Suseno, Guru Besar di STF Driyakara dalam sebuah tulisan di salah satu surat kabar nasional pernah mengatakan Tahun 2011, tak lain dari tahun-tahun sebelumnya, merupakan tahun buruk bagi Papua.

Ia berharap aparat militer non-organik ditarik, dan menggelar sebuah dialog terbuka antara Pemerintah Indonesia dengan orang-orang Papua yang tidak termanipulasi.

Tawaran Magnis tentu harus disambut baik, pemerintah Indonesia harus segera membuka diri untuk berdialog dengan wakil-wakil orang Papua secara adil, jujur, dan mertabat tanpa syarat.

Tujuannya agar memutuskan mata rantai konflik, dan pembangunan Papua dapat dijalankan kembali untuk kebaikan bersama.

Antara Pesimis dan Optimis

Saya pesimis pemerintah akan meresponnya. Kenapa? Diakhir tahun 2011 lalu –hingga saat ini– kontak senjata antara TNI/Polri dan OPM masih terus berlangsuk di Paniai, Papua, dan telah menewaskan 14 orang anggota OPM. (The Jakarta Globe, 15 December 2011)

Di Timika, Papua, terjadi lagi pembunuhan secara sadis denganmembakar mobil di Mil 51 dan 54. Dua orang pekerja Thomas Banisege dan Nasyun Nabot tewas.

Dan, baru saja satu anggota Brimob tewas, dan beberapa warga sipil kembali dihujani peluru. Pelakunya, oleh Polisi disebut orang tak dikenal.

Di Puncak Jaya, Papua, operasi militer untuk menangkap Goliat Tabuni yang diduga pimpinan OPM masih terus dilakukan. Warga sekitar tentu menjadi korban dari pertikaiaan ini.

Memang, pada akhir tahun kemarin, dan pada awal Februari lalu telah berlangsung pertemuaan antar pimpinan Gereja Papua dengan Presiden SBY terkait situasi Papua, dan untuk mencari jalan tengah penyelesaiaannya.

Pertanyaannya, apakah situasi Papua telah membaik pasca pertemuaan pimpinan geraja Papua dengan SBY? Ataukah pasukan non-organik telah di tarik usai pertemuan tersebut? Atau justru penembakan di Freeport telah dihentikan?

Atau, justru UP4B yang oleh presiden SBY  (pada pertemuaan pertama dengan pimpinan Gereja) diminta untuk dihentikan sementara telah dilakukan atau telah ditaati?

Jawabannya, tidak ada yang dilaksanakan, atau tidak ada yang berubah pasca pertemuaan pimpinan gereja dengan SBY.

Operasi militer masih terus dilakukan, dan malahan UP4B semakin bergerilya di Papua, dan bahkan telah “mengandeng” Pangdam Cenderawasih XVII untuk segera menyukseskannya.

Tapi, saya juga sedikit optimis, pemerintah Indonesia pasti akan buka diri, berbicara dari hati ke hati, dan menggelar dialog dengan wakil-wakil Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.

Namun, SBY dan pemerintah Indonesia juga perlu ingat, tuntutan yang lebih tinggi (radikal) untuk segera dilaksanakan referendum  di seluruh tanah Papua masih terus disuarakan oleh seantoro warga Papua Barat. Semoga.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.