ArsipHUT TNI ke-69, KontraS: TNI Masih Langgar HAM dan Menyalahgunakan Kewenangan

HUT TNI ke-69, KontraS: TNI Masih Langgar HAM dan Menyalahgunakan Kewenangan

Senin 2014-10-06 17:08:15

Pada tanggal 5 Oktober 2014, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengucapkan Selamat Hari TNI (Tentara Nasional Indonesia) ke 69.

Bertepatan dengan momentum ulang tahun ini KontraS memberikan sejumlah rekomendasi dan catatan kritis dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). HAM dalam UU TNI Nomor 34 tahun 2003 dijadikan salah satu prinsip dalam Jati diri TNI dalam mengembangkan profesionalisme (pasal 2 huruf d) dan HAM menjadi rujukan kepentingan negara yang harus dilindungi oleh TNI (bagian Menimbang huruf d).

 

Oleh karenanya melalui kerangka HAM ini kami menekankan pada aspek sorotan, Pertama, Pelanggaran HAM dalam lingkup Hak Sipil dan Politik serta Hak Ekonomi dan Sosial, berupa: Penembakan, Penganiayaan, Penyiksaan, Penculikan/Penghilangan paksa, Kejahatan Sexual, Pembubaran pertemuan, Pemerasan, Perampasan lahan, Terlibat dalam bisnis ilegal, dan Okupasi. Kedua, Kedisiplinan dan profesionalisme masih menjadi persoalan prajurit TNI, salah satu persoalan mencolok adalah bentrokan antara TNI dan Polri.

 

Pada bagian akhir kami juga memberikan rekomendasi untuk pemerintahan kedepan untuk meneruskan reformasi TNI yang berperspektif HAM.

 

Dalam menyusun catatan kritis ini, KontraS menyajikan data dan fakta yang dikumpulkan dan dikonstruksi dengan menggunakan beberapa pendekatan: pertama, Advokasi pendampingan hukum terhadap korban dan atau keluarga korban kasus-kasus pelanggaran HAM dimana pelakunya dari pihak (anggota) TNI.

 

Termasuk pada bagian ini kami menggunakan dan berterima kasih atas komunikasi, surat otoritatif pihak TNI dan jawaban pihak TNI atas berbagai kasus yang kami protes dan tanyakan; kedua, Investigasi atau pemantauan di tempat kejadian perkara; ketiga, Pemantauan media Nasional dan daerah.

 

Berikut adalah informasi dalam bentuk berbagai grafik yang berhasil kami kumpulkan sepanjang tahun 2013 – 2014, terkait pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan oleh TNI: ari pengaduan langsung yang diterima KontraS sepanjang 2013 – 2014, KontraS menemukan masih banyaknya tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota TNI seperti, kasus pembunuhan, penghilangan paksa, penganiayaan hingga rekayasa kasus dan kriminalisasi yang ditangani oleh KontraS dalam periode 2014.

 

Berikut adalah catatan dan dan beberapa contoh kasus yang kami advokasi;

 

– Penghilangan Orang Secara Paksa

 

Kasus Penghilangan orang secara paksa di Sumatera Utara. Pada tanggal 28 November 2013, Dedek Khairuddin dijemput secara paksa dari rumahnya di Perlis, Sumatera Utara oleh seorang anggota Intel Korem 011/Liliwangsa bernama Mardiansyah dan 7 orang anggota Marinir dengan maksud untuk meminta menunjukkan keberadaan Fendi Tato, temannya yang buron setelah melakukan pembacokan terhadap anggota Marinir bernama Jul.

 

Setelah penjemputan paksa tersebut, Dedek belum diketahui keberadaannya hingga kini. Meski persidangan atas kasus Dedek Khairuddin sudah disidangkan sebanyak 3 (tiga) kali di Pengadilan Militer Medan namun persidangan belum mampu menemukan dimana keberadaan Dedek. Persidangan juga tertutup dari pantauan publik dan adanya upaya dari istri-istri pelaku untuk mengajak keluarga korban berdamai.

 

Pembunuhan

 

Kasus lainnya adalah kasus Pembunuhan. Sepanjang tahun 2014, terdapat 2 kasus pembunuhan yang dilakukan anggota TNI, dengan korban sebanyak 5 (lima) orang. Peristiwa pertama terjadi di Binjai, Sumatera Utara dimana satu keluarga (Misnan dan keluarga) dibunuh oleh 2 orang TNI yang bertugas di Arhanudse 11 Binjai, Sumatera Utara serta 2 orang sipil lainnya pada tanggal 9 Oktober 2013. Kedua orang sipil sudah diproses secara hukum namun kedua anggota TNI hanya dituduh melakukan penadahan.

 

Sementara itu, peristiwa lainnya, menimpa Tengku Yusri, seorang juru parkir di kawasan Monumen Nasional (Monas), Gambir Jakarta menjadi korban penyiraman bensin dan pembakaran oleh Pratu Heri Ardiansyah (Anggota Puspom TNI AD) pada tanggal 24 Juni 2014 hingga meninggal dunia.

 

Diduga, peristiwa dipicu setelah korban menolak memberikan “uang jatah/setoran” sebesar Rp.150.000,- yang dimintakan oleh pelaku sehingga membuat pelaku marah dan kemudian merobek uang yang diberikan korban serta melempar puntung rokok dan bensin ke arah korban hingga terjadilah peristiwa pembakaran.

 

Tindakan Kejam

 

Berikutnya kasus penganiayaan terhadap Iqbal, seorang pengamen di wilayah Monumen Nasional (Monas) mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh dua orang anggota TNI Arhanud bersama dua orang masyarakat sipil lainnya pada 21 Juli 2014.

 

Akibat penganiayaan tersebut, korban mengalami luka di tiga titik pada kepala bagian belakang serta mata bagian kiri bengkak dan memerah. Selanjutnya tindak kekerasan pada tanggal 25 Mei 2014 yang dilakukan oleh anggota TNI bernama Serka Joko, yang diduga merupakan anggota Kopassus Group 2 Kandang menjangan, Batalyon 21, Kompi B, Bagian Perbekalan, Solo Jawa Tengah terhadap Sdr. Nandung Budi Prasetya yang mengakibatkan luka parah.

 

Kedua kasus ini hingga kini belum mendapat kejelasan meskipun baik kontraS maupun korban telah melakukan pelaoran kepada Polisi Militer.

 

Papua

 

Papua menjadi daerah yang paling banyak terjadi pelanggaran HAM oleh Anggota-anggota TNI. Dalam setahun terakhir, pada 2013, peristiwa penembakan kembali terjadi di Papua saat anggota TNI melepaskan tembakan yang ditujukan terhadap masyarakat yang tengah melakukan aksi di Polsek Tiom pada tanggal 1 Juli 2013 di Kabupaten Lani Jaya, Papua.

 

Namun penembakan tersebut mengenai seorang anak berusia 11 tahun bernama Arlince Tabuni hingga meninggal dunia. Kasus tersebut kini masih dalam proses penyelidikan di POM Jayapura, Papua.

 

Kami menyesal karena aduan KontraS ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia atas kasus ini ditolak tanpa alasan yang jelas.

 

TNI versus Polri

 

Salah satu situasi yang serius perlu perhatian adalah persoalan kedisiplinan terkait dengan Bentrokan TNI dan Polri.

 

KontraS mencatat sepanjang 2013-2014, setidaknya terjadi 14 kali bentrokan antara TNI dan POLRI. Bentrokan ini berujung Salah satunya yang terjadi pada tanggal 21 September 2014, terjadi aksi penyalahgunaan kekuatan – senjata api disertai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota Yonif 134/TS terhadap anggota Brimob di Markas Komando (Mako) Brimob Kepulauan Riau.

 

Peristiwa ini dipicu setelah sebelumnya terjadi peristiwa penggerebekan terhadap gudang BBM (Bahan Bakar Minyak) oleh anggota Brimob Polda Kepulauan Riau hingga mengakibatkan 4 [empat] orang anggota Prajurit TNI AD Yonif 134/TS mengalami luka tembak. Patut diduga berulangnya tindakan bentrok antara TNI dan Polri ini dilatar belakangi oleh kepentingan ekonomi [perebutan sumber tambahan] dan ego institusi masing-masing, esprit de corps.

 

Pelanggaran Hak Ekonomi dan Sosial

 

Kami juga mencatat ada sejumlah Pelanggaran HAM terkait Hak Ekonomi dan Sosial masyarakat: yaitu keterlibatan dalam pengamanan sengketa lahan atau menjadi bagian dari sengketa lahan dengan masyarakat. Sepanjang 2013 – 2014 kami mencatat ada :

 

1) Kasus Sengketa Lahan

 

Kasus sengketa lahan antara warga Suku Anak Dalam (SAD) dengan PT. Asiatic Persada, Kasus sengketa lahan Rumpin, Kasus sengketa lahan PTPN XIV dengan warga di Wajo, Kasus Sengketa lahan tapal batas Warga Takalar melawan TNI AU, Kasus sengketa lahan antara TNI AU melawan warga Rumpin di Bogor, Konflik Lahan Bandara Palembang antara warga melawan TNI AU, Sengketa lahan TNI melawan Warga Semarang.

 

2) Kasus penggusuran Kolong Tol di Jakarta Utara

 

3) Kasus Kriminalisasi Intitusi TNI oleh Koptu Rochman Djuanedi, Kriminalisasi dan Sengketa Lahan Pangonan Desa Bogor.

 

Kami menyayangkan dari kasus-kasus diatas pihak TNI atau setidak-setidaknya anggota dan kesatuan atau unit yang terlibat berlindung dengan dasar kepentingan pihak pengusaha atau penguasa (baca: Pemda) yang keputusannya tidak akuntabel.

 

Pihak TNI dengan kekuatan dan kelengkapan alat serta kewenangan dalam melakukan pengamanan, kemudian menindak rakyat secara represif dalam bentuk intimidasi, kekerasan yang mengakibatkan luka-luka hingga kematian.

 

Kriminalisasi dan Upaya Hukum Diskriminatif

 

kami mencatat bahwa ada upaya hukum diskriminatif. Jika TNI terlibat dalam berbagai pelanggaran, kekerasan atau sengketa, sebagaimana disebutkan diatas, upaya penyelesaiannya selalu berjalan sepihak hanya pada pihak non TNI.

 

Hal ini termasuk jika ada upaya hukum dari prajurit didalam institusi TNI, seperti kasus hukum Koptu Rochman Djuanedi yang memperoleh hukuman 5 bulan penjara dari Mahmilti (Mahkamah Militer Tinggi) II-10 Semarang. Kasus kriminalisasi lainnya, yaitu Kasus sengketa lahan di Semarang antara warga prajurit veteran melawan TNI, Kasus berikutnya adalah Pembubaran Kongres forum Petani Merdeka, adanya tindakan penangkapan yang dilakukan terhadap 13 (tigabelas) orang petani saat beraktivitas mengolah ladang pertanian dan kebun di Desa Dongi-Dongi dan Kamamora, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. Kami

tidak mendapati adanya upaya hukum yang adil dan terbuka atas anggota-anggota TNI.

 

Politik TNI

 

Momentum Pemilihan Umum tingkat nasional, terutama pemilihan Presiden, menjadi celah yang menunjukan keterlibatan TNI. Pertama, ditingkat bawah didapati adanya mobilisasi Babinsa untuk pemetaan kecenderungan pilihan. Kedua, sementara, ditingkat elit keluar berbagai pernyataan bahwa TNI netral. Dua hal ini menunjukan adanya kontrol yang lemah dari pimpinan terhadap Babinsa yang berpolitik. Meskipun hal tersebut hanya berlangsung sesaat, namun hingga saat ini tidak jelas upaya hukum atas intrik politik tersebut yang jelas-jelas mencederai netralitas TNI. Hal ini menambha kecurigaan kita bahwa politisasi tersebut memang direstui pimpinan TNI.

 

Kesimpulannya, secara singkat, bisa dikatakan bahwa, pertama, TNI masih kebal hukum, sangat melindungi kepentingan institusi dan mengulangi kesalahn-kesalahan berupa masih melakukan pelanggaran HAM. ini bukti bahwa reformasi TNI tidak efektif dijalankan.

 

Rekomendasi:

 

Memperhatikan dan mempertimbangkan situasi diatas, masih maraknya pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan oleh TNI, serta ragam pelanggaran disiplin yang masih terjadi dan berulang, kami merekomendasikan kepada Joko Widodo sebagai calon Panglima tertinggi TNI untuk meneruskan reformasi TNI yang memberikan penguatan pada tiga aspek, yaitu Hukum dan akuntabilitas, kepemimpinan (leadership) dan organisasi.

 

Terlebih-lebih kami menaruh keprihatian pada kualitas politik did DPR RI yang baru, dimana kontrol terhadap TNI berpoternsi masuk pada ranah politisasi kepentingan partai politik. Pada bidang hukum dan akuntabilitas, kami meminta agar dilanjutkan penataan aspek hukum/legislasi berupa segera didorong pengesahan Rancangan UU Peradilan Militer, yang terhenti pembahasannya sejak 2005 di DPR. Pengesahan UU Disiplin Militer pada September 2014 patut diapresiasi namun tidak cukup untuk membangun tata kelola hukum pidana yang terkait dan urgen bagi TNI dan anggota-anggotanya.

 

Pemerintahan Joko Widodo juga perlu meng-aktif-kan kembali peradilan HAM dan meminta agar Komnas HAM dan Kejaksaan Agung bekerja sesuai standar HAM dan lebih profesional terhadap kasus-kasus yang diduga melibatkan anggota TNI.

 

Salah satu hutangnya adalah masih terhentinya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang seharusnya bisa meringankan beban sejarah TNI (dulu: ABRI).

 

Pada aspek Leadership dan Organisasi, kami meminta agar pimpinan TNI patut membuka diri (transparansi) dan berani melakukan penataan kedalam untuk menjamin arah TNI yang profesional. TNI yang profesional dipahami oleh konsep demokrasi adalah TNI yang tunduk pada kontrol otoritas sipil, memahami dan taat hukum dan HAM, tidak korup, tidak berbisnis dan dicukupi kesejahteraannya oleh negara – bukan oleh pengusaha.

 

 

Demikian

 

KontraS

 

 

5 Oktober 2014

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.