ArsipMasyarakat Adat Papua Tidak Dilibatkan Bicara Renegosiasi Kontrak Karya Freeport

Masyarakat Adat Papua Tidak Dilibatkan Bicara Renegosiasi Kontrak Karya Freeport

Jumat 2014-08-01 23:03:50

PAPUAN, Jayapura — Masyarakat adat Papua merasa tidak dilibatkan dalam pembicaraan renegosiasi kontrak karya PT. Freeport Indonesia yang sedang berlangsung di Jakarta, antar pemerintah Indonesia dan Freeport Indonesia.

Hal ini disampaikan oleh Sekertaris Dewan Adat Papua (DAP), Jhon NR Gobay, dalam siaran pers yang dikirim kepada suarapapua.com, Sabtu (2/8/2014) pagi.

 

“Kami lembaga adat tidak pernah diminta masukannya, kalaupun ada hanya masyarakat Amugme dan Kamoro saja, itu juga belum jelas sampai saat ini,” kata Gobay.

 

Lanjut Gobay, masyarakat adat perlu diminta masukannya oleh Freeport dan pemerintah pusat sebab perusahan multinasional ini berada di tanah adat masyarakat Papua.

 

Menurutnya, keberadaan Freeport telah menimbulkan banyak masalah, karena itu komunikasi dengan berbagai stakeholder di tanah Papua, terutama masyarakat adat sangat diperlukan.

 

“Freeport juga sejauh ini telah mengklaim sebagian wilayah pegunungan dalam KK II (CoW B), yang jelas-jelas bukan hanya milik dua suku saja,” katanya.

 

Disampaikan, ada beberapa suku yang mempunya lokasi itu, seperti suku Moni dan Mee, sebab Freeport juga sudah mengirim tim eksplorasi ke sejumlah tempat seperti Kabupaten Intan Jaya, dan Kabupaten paniai.

 

“Masyarakat adat suku Moni dan Paniai mutlak harus dilibatkan, namun jika suku Amungmu dan Kamoro saja tidak dilibatkan, maka ini telah jelas-jelas melanggar UU No. 04 tahun 2009 dan UU Otonomi Khusus Papua,” katanya.

 

Ketua Dewan Adat Paniai ini juga menuturkan, selama ini Freeport Indonesia telah lalai dan banyak melanggar etika bisnis global yang seharusnya ditaati.

 

Ditambahkan oleh Thobias Kobogau, tokoh pemuda di Timika, selama ini pemuda, maupun masyarakat adat lokal tidak pernah dilibatkan oleh pemerintah dan Freeport dalam menyepakati berbagai hal.

 

“Tanah adat, tanah leluhur kami yang dipakai Freeport, karena itu tidak ada alasan lagi untuk tidak melibatkan masyarakat adat. Ini yang selalau kami protes dari waktu ke waktu,” kata Kobogau.

 

Menurut Kobogau, selama ini Freeport juga menghadapi aksi-aksi protes dari masyarakat adat dengan mengerahkan kekuataan aparat bersenjata yang berlebihan.

 

“TNI dan Polri dipakai Freeport untuk mengamankan aset-aset Freeport. Masyarakat adat yang selalu menjadi korban karena korban kebrutalan aparat kepolisian dan tentara,” katanya.

 

Kobogau justru berharap, pembicaraan renegosiasi kontrak karya yang sedang berlangsung di Jakarta dapat segera dihentikan, sebelum mendapatkan masukan dan saran dari masyaarakat adat Papua.

 

“Yang kena dampak buruk dari kehadiran Freeport adalah masyarakat adat, bukan orang-orang Jakarta sana yang sedang duduk manis tawar-menawar dengan Freeport. Karena itu harus melalui persetujuan kami,” tegas Kobogau.

 

Dikatakan, masyarakat adat sedang menunggu respon Freeport Indonesia terkait tuntutan mereka yang sudah disampaikan dalam berbagai kesempatan dan waktu.

 

OKTOVIANUS POGAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kouta OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.