Artikel13 April 2016: Dua Tindakan Perlawanan Bermartabat Tanpa Kekerasan

13 April 2016: Dua Tindakan Perlawanan Bermartabat Tanpa Kekerasan

Perintah Presiden pada tahun 1963 telah mengharamkan semua jenis aktivitas politik, dan tekanan berat telah dilakukan atas kebebasan berorganisasi dan bersuara di Irian Barat (nama waktu itu), padahal Indonesia belum secara resmi mengusai Papua sesuai hasil “Kecurangan Pepera”.

Macx Binur (Foto: Dok.Pribadi)
Macx Binur (Foto: Dok.Pribadi)

Oleh: Macx Binur*)

 

Di Irian Jaya terdapat satu keadaan dimana kebebasan politik rakyat telah disekat oleh Penguasa militer. Hal ini telah menyebabkan pelanggaran serius terhadap HAM oleh tentara Indonesia dan sedikit ada juga oleh pejuang-pejuang kemerdekaan.” Yusra Habib Abdul Ghani, “Mengapa Sumatra Menggugat”; Acheh-Sumatera National Liberation Front, 2000

Pejuangan dan perlawanan demi membuka ruang kebebasan berekspresi (demokrasi) di Papua telah berlangsung sejak tahun 1963 hingga saat ini. Sehingga tidak heran bagi orang Papua, kegiatan sekecil apapun yang dilaksanakan orang Papua selalu dipantau, diawasi, hingga bila perlu dibubarkan secara paksa.

Belajar dari berbagai aksi-aksi pro kemerdekaan dan demokrasi yang terus berlangsung di Papua, menurut saya tanggal 13 April merupakan catatan Sejarah Baru bagi gerakan perlawanan pro kemerdekaan dan demokrasi di Papua.

Mengapa demikian? Karena pada tanggal 13 April ini ada dua peristiwa penting yang berhasil mengangkat HARKAT dan MARTABAT Orang Asli Papua.

Pertama, mari kita lihat gerakan perlawanan yang dilakukan oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

Sejak KNPB terbentuk sebagai organisasi politik-demokrasi di Papua, mereka telah berhasil dalam melakukan konsolidasi generasi muda Papua (mulai dari tingkat SD-PT), masyarakat asli Papua, mulai dari kampung-kota.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

KNPB berkembang sangat pesat dibanding dengan organ-organ lainnya yang ada di Papua. KNPB tak saja telah menjadi menjadi organisasi paling populer di tanah Papua, tapi juga menjadi organisasi paling dibenci oleh Aparat keamanan (TNI-Polri), Pemerintah daerah.

Bahkan kebencian yang diprogandakan oleh aparat keamanan kemudian merasuk semua masyarakat —baik masyarakat adat Papua dan non Papua— yang ada di seluruh Tanah Papua, dan mungkin juga di Indonesia pada umumnya.

Stigma negatif terhadap KNPB adalah (pelaku) kekerasan, pembunuh, pemerkosa, penghasut, pengacau, perusak, kriminal, dan berbagai stigma negatif lainnya.

Namun stigma-stigma negatif ini tidak membelenggu semangat nasionalisme KNPB untuk terus menyuarakan ketidakadilan, kekerasan, referendum, merdeka, di Tanah Papua.

Akibatnya adalah banyak air mata selalu dan selalu mengiringi perjalanan organisasi ini dari hari, minggu, bulan dan tahun, karena ada saja yang ditembak mati, disiksa sewenang-wenang, dipukul dengan popor senjata, martil, kayu, ditendang dengan laras senjata, dihina, dicaci maki, ditangkap sewenang-wenang, dihadang, dan sebagainya.

Namun semua itu tidak mematahkan semangat perlawanan, membangun kekuatan rakyat untuk melawan ketidakadilan di atas Tanah Papua.

Mengapa? Karena hanya satu hasrat yang membuatnya kokoh: tiada lain hanyalah kebebasan. Mungkin ini kata yang tepat untuk untuk mewakili kerja-kerja KNPB dalam membangun organisasinya, dan terus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat asli Papua tentang sejarah kekerasan di Tanah Papua.

Aksi serentak yang dilaksanakan pada tanggal 13 April 2016, adalah aksi perlawanan tanpa kekerasan pertama yang menurut saya sangat menyentuh hati.

Baca Juga:  23 Tahun Otsus, Orang Asli Papua Termarginalkan

Mengapa? Karena aksi yang berlangsung di seluruh Tanah Papua itu berlangsung secara bermartabat.

Hasilnya, aksi yang bermartabat ini telah mematahkan semua stigma negatif yang selama ini dialamatkan kepada KNPB. Dan justru sebaliknya, yang menunjukkan kekerasan adalah aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian.

Bahkan propaganda negatif terhadap KNPB yang disampaikan oleh berbagai pihak, baik secara lisan, maupun tulisan dengan spanduk di jalan-jalan, selebaran, dan lain sebagainya, telah dipatahkan melalui aksi damai dan bermartabat yang diorganisir oleh KNPB.

Fakta tanggal 13 April 2016 menunjukan bahwa yang menciptakan kekerasan adalah aparat keamanan (polisi). Lihat saja kasus Yahukimo, Merauke, dan lebih tragis lagi kekerasan yang tidak bisa ditutupi ketika polisi melakukan pengerusakan mobil yang digunakan pada saat aksi di Jayapura (Waena) oleh oknum Aparat Kepolisian.

Fakta ini, walaupun kecil, namun sudah memberikan pesan yang sangat kuat kepada semua orang bahwa: KNPB bukan organisasi kriminal, separatis, pembunuh, suka merusak, dan lain sebagainya yang selama ini dialamatkan kepada organisasi ini.

Kedua, Peluncuran Noken Raksasa sebagai Noken Kehidupan.

Pada tanggal 13 April ini pula terjadi peristiwa menarik yang luput dari pemberitaan dan perhatian semua orang di Papua, maupun di Indonesia dan dunia.

Di tanggal ini, bertempat di halaman kantor Gubernur Provinsi Papua, telah diluncurkan NOKEN RAKSASA pertama dan terbesar di dunia. Noken itu berukuran 10×7,1 meter, dianyam oleh 21 Mama Asli Papua.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Peluncuran Noken Raksasa ini dilaksanakan oleh Bank Pembangunan Papua dalam rangka ulang tahunnya ke 50 tahun.

“Kami catat sebagai rekor dunia, karena tidak ada satu tempat pun di dunia yang membuat Noken sebesar ini. Replika Noken raksasa berukuran 10×7,1 meter adalah tanda pembawa aspirasi masyarakat Papua maju ke depan.” Demikian seperti dikatakan Pangdari, Perwakiran MURI, saat memberikan penghargaan. (majalahkribo.com)

Saya pikir, walau ini adalah dua peristiwa yang berbeda, namun mempunyai makna dan nilai yang sangat dalam bagi perlawanan damai di Tanah Papua.

Mama-mama Papua yang melahirkan anak-anak Papua yang hebat telah menunjukan identitas dirinya secara hebat dalam aksi 13 April yang berjalan damai dan bermartabat. Sedangkan Mama-mama Papua yang hebat juga mampu menyelesaikan Noken raksasa selama 1 bulan dan mendapat pengakuan resmi negara sebagai Noken raksasa dunia.

Dua bentuk perlawanan damai bermartabat telah ditunjukan oleh orang Papua. Sehingga tidak salah semboyan Aliansi Masyarakat Ada Indonesia (AMAN) yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya, juga dijadikan acuan pemikiran perlawanan damai di Papua. Karena sesungguhnya, masyarakat adat di Papua juga memiliki tujuan yang hakiki yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya, di atas Tanah Papua. (*)

 

Penulis adalah pengasuh di perkumpulan Belantara Papua-Sorong, Papua Barat.

 

Terkini

Populer Minggu Ini:

Upaya Pertamina Patra Niaga Regional Papua Maluku Jaga Pasokan BBM Saat...

0
“Terkait lonjakan kebutuhan bahan bakar, kami sudah prediksi akan terjadi, sehingga upaya yang kami lakukan adalah dengan memastikan ketahanan stok BBM harus dalam kondisi yang mencukupi untuk melayani kebutuhan masyarakat di masa RAFI ini,” kata Sunardi.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.