BeritaPolhukamTibet Mengakui Integrasi ke Cina Daratan, Lalu Papua?

Tibet Mengakui Integrasi ke Cina Daratan, Lalu Papua?

Pendeta Judas Meage (Foto: Elisa Sekenyap/Suara Papua)
Pendeta Judas Meage (Foto: Elisa Sekenyap/Suara Papua)

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Pendeta Judas Meage, Ketua Klasis GKI Balim Yalimo mengatakan, tanggal 1 Mei 1963 adalah hari, bulan dan tahun pertama terjadinya pelanggaran HAM bagi orang Papua di Tanah Papua. Artinya, waktu itulah dimulainya pencaplokan atau aneksasi Papua ke dalam Indonesia terjadi.

Sehingga, jika pada tanggal 1 Mei dikatakan sebagai hari integrasi Papua ke NKRI, ia mengatakan, tanggal 1 Mei merupakan hari pencaplokan Tanah Papua oleh Indonesia.

“Sayang sekali, karena orang Papua belum merasakan bahwa itu adalah hari integrasi, tetapi orang Papua merasa tanggal 1 Mei 1963 adalah hari pertama kecelakaan bagi orang Papua,” ujar Pdt. Meage kepada suarapapua.com baru-baru ini di Wamena, Papua.

Jika orang mengatakan tanggal 1 Mei adalah hari integrasi, ia malah bertanya, dari mana integrasi secara baik dimasukan ke dalam Indonesia.

“Kalau bicara sejarah, sejarah yang benar. Jangan semau gue (saya) untuk mengalihkan perhatian orang dengan alasan politik. Tidak bisa!” tegasnya.

Baca Juga:  Sidang Dugaan Korupsi Gereja Kingmi Mile 32 Timika Berlanjut, Nasib EO?

Lanjut Meage, “Saya mau bandingkan, masalah di Tibet yang mengakui integrasi ke Cina Daratan, sedangkan orang Papua kapan mengakui pernah integrasi ke Indonesia? Tetapi orang Papua sebenarnya dicaplok, jadi jika bicara sejarah, harus sejarah yang benar. Sejarah tidak bisa dibelokkan, karena fatal bagi generasi kedepan.”

Sekarang kondisi riil di Papua, menurut dia, anehnya lagi, perayaan dari dua sisi yang berbeda ini biasanya dirayakan tanggal 1 Mei, namun dialihkan pada tanggal 2 Mei, padahal 2 Mei adalah Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas.

“Jadi kita tidak usah yang aneh-aneh, karena orang Papua belum pernah mengakui itu,” tegas Pdt. Meage.

Menurutnya, termasuk Persetujuan New York atau New York Agreement yang penuh dengan kepentingan, tanpa orang Papua, hanya keterlibatan PBB, Amerika, Indonesia dan Belanda.

“Inikan sudah terbukti, sehigga orang Papua tidak pernah mengakui integrasi itu. Termasuk Pepera yang tidak fair pelaksanaannya, karena hanya diwakili orang yang sudah diatur sedemikian rupa,” katanya.

Baca Juga:  Sikap Mahasiswa Papua Terhadap Kasus Penyiksaan dan Berbagai Kasus Kekerasaan Aparat Keamanan

Karena itu, tegas Meage, bagian yang biasa dibelokkan ini harus diluruskan dengan sejarah yang benar pula. Menurutnya, apa yang dikatakannya bukan sesuai pikirannya, melainkan sejarah yang nyata dan pernah terjadi bahwa sejarah itu telah diputarbalikan, sehingga apa yang dikatakan ini adalah bagian dari menyampaikan sejarah riil.

Ia menyatakan, dengan pemutarbalikan sejarah itu tidak bisa memanfaatkan dengan kondisi daerah yang ada. Seperti kondisi terakhir di Wamena, karena demikian ada pawai pasukan gabungan yang menakuti-nakuti masyarakat dengan mengeluarkan himbauan jam malam. Padahal tidak hal yang luar biasa terjadi di daerah ini.

Meage juga menyesalkan tindakan represif yang dilakukan TNI/Polri selama ini di Tanah Papua. Memang, menurutnya, negara ini ada niat baik untuk menyelesaikan masalah HAM Papua, tetapi ada pelanggaran baru bertubi-tubi yang terus terjadi lagi.

Baca Juga:  Atasi Konflik Papua, JDP Desak Pemerintah Buka Ruang Dialog

“Kalau mau menyelesaikan pelanggaran HAM berarti stop dengan tindakan represif, supaya orang Papua semakin hari bisa dipercaya. Dan dunia sedang mengikuti apa yang terjadi di Papua, tetapi cara ini terus juga dilakukan,” ujar Meage.

Sementara itu, Theo Hesegem, ketua Jaringan Advokasi HAM Pegunungan Tengah Papua mengatakan, mata dunia sedang mengarahkan ke Tanah Papua atas kasus pelanggaran HAM, sehingga tidak boleh lagi terjadi kasus pelanggaran HAM di tanah ini.

“Pemerintah melalui aparat yang ada harus kembalikan kepercayaan rakyat Papua dengan segera dan tidak boleh lagi melakukan hal-hal yang bisa berakibat fatal kedepan. Kita harus rubah apa yang selama ini dilakukan. Sudah begini jangan lagi kasus HAM lakukan di tanah ini sudah,” tegas Hesegem.

Editor: Arnold Belau

ELISA SEKENYAP

Terkini

Populer Minggu Ini:

HRM Rilis Laporan Tahunan 2023 Tentang HAM dan Konflik di Tanah...

0
Selain kasus pengungsian, diuraikan dalam laporannya sejumlah pelanggaran hak sipil dan politik antara lain impunitas, pembunuhan dan penyiksaan, kebebasan berekspresi, kesehatan, pendidikan, serta konflik bersenjata.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.