ArtikelPapua dan Paranoia Negara

Papua dan Paranoia Negara

Alfred Tuname. (Foto: Dok Pribadi)

Aristoteles dalam Nicomachean Ethics pernah menegaskan bahwa kepentingan bersama merupakan prinsip dasar etika politik sebuah negara. Oleh karena itu, persoalan dalam kehidupan bernegara harus diselesaikan secara bijak demi kebaikan dan kepentingan bersama.

Oleh: Alfred Tuname

Tanah Papua selalu menjadi wacana penting ketika membicarakan persoalan hak asasi manusia (HAM) di negeri ini. Bahwa begitu banyak persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua luput dari perhatian bersama. Kekerasan dan pembunuhan sering terjadi terhadap masyarakat Papua. Perilaku tidak adil tersebut begitu nyata di depan mata publik. Semua itu selalu melibatkan aparat kepolisian dan TNI. Perilaku kekerasan militeristik tersebut mengancam proses demokratisasi politik masyarakat sipil Papua.

Proses demokratisasi politik dimengerti sebagai partisipasi aktif masyarakat sipil Papua untuk memperjuangkan hak-haknya. Di sini, hak-hak sosial-budaya, ekonomi, politik dan lingkungan masyarakat Papua harus mendapat jaminan negara (Pemerintah Pusat dan Daerah). Ketika negara lengah memperhatikan hak-hak esensial tersebut, masyarakat Papua memiliki hak memintanya dari negara. Namun, perjuangan masyarakat Papua akan hak-hak tersebut disambut dengan kekerasaan aparat keamanan. Pendekatan negara yang bersifat militeristik tersebut justru membuat masyarakat Papua tidak merasa aman, bahkan hak-hak mereka dikebiri dengan laras senjata militer. Di sini, negara tampak sebagai monster Leviathan dan tidak bijak melihat persoalan Papua.

Paranoia  

Bijak merupakan perangkat nilai yang mengutamakan kebaikan. Bijak selalu mengandaikan kejelian dalam melihat totalitas persoalan. Negara yang bijak adalah negara yang melihat persoalan sebagai persoalan bersama yang perlu diselesaikan secara bersama. Sebab, negara lahir dari “kontrak bersama” untuk kehidupan yang lebih baik. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics pernah menegaskan bahwa kepentingan bersama merupakan prinsip dasar etika politik sebuah negara. Oleh karena itu, persoalan dalam kehidupan bernegara harus diselesaikan secara bijak demi kebaikan dan kepentingan bersama.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Pada konteks persoalan di Tanah Papua, political will pemerintah pusat seringkali tidak sejalan dengan implementasi kebijakan. Inkonsistensi itu menyebakan masyarakat Papua hanya menjadi obyek dalam kebijakan tersebut. Tesis Richard Chauvel dalam papernya “Decolonizing without  the colonized: the Liberation of Irian Jaya” (1997) menjadi benar, bahwa “a major theme in Irianese [Papuan-ness] thinking was that their fate  was being decided by others without them being consulted…” Karenanya, berbagai tindakan kekerasan bahkan pembunuhan sering menimpa masyarakat Papua. Berbagai jenis kebijakan untuk Papua damai dan sejahtera hanya berhenti pada ruang dialog. Seharusnya, masyarakat Papua menjadi subyek kebijakan sebab mereka-lah yang memahami persoalan Papua. Artinya, masyarakat Papua harus dilibatkan dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan sekaligus mendengarkan setiap aspirasi sosial-budaya, lingkungan, ekonomi dan politik.

Tetapi, proses penyelesaian persoalan Papua selalu terhambat oleh perbedaan kepentingan antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua itu sendiri. Kepentingan pemerintah pusat adalah keamanan dan akses sumber daya ekonomi yang bersumber dari Papua. Ironisnya, sumber daya ekonomi itu tidak dinikmati oleh masyarkat Papua itu sendiri. Aktor-aktor ekonomi yang bermodal besar baik berskala nasional maupun asing menikmati profit dari operasi bisnisnya di Papua. Distribusi keadilan ekonomi yang timpang tersebut menjadi penyebab pergolakan dan konflik di Tanah Papua.

Baca Juga:  Menghidupkan Kembali Peran Majelis Rakyat Papua

Karena kepentingan ekonomi para pemodal besar, negara menutup mata atas persoalan distribusi keadilan. Pemerintah pusat hanya berfokus pada persoalan pergolakan dan konflik (vertikal dan horisontal) yang merupakan resultante dari ketimpangan distribusi keadilan ekonomi. Memang ada pendekatan kesejahteraan untuk menyelesaikan disparitas ekonomi masyarakat Papua, tetapi pendekatan itu diimplementasi setengah hati dan dimaknai sebagai proyek. Pendekatan kesejahteraan itu ternyata bukan untuk masyarakat Papua (the real people), justru malah mengenyangkan para pejabat korup, pihak universitas negeri dari pulau Jawa yang tidak berintegritas, dan LSM-LSM yang tidak berwibawa sekaligus bonanza bagi kontraktor-kontraktor kotor. Prolifik rasionalitas instrumental (tujuan jadi alat, alat jadi tujuan) itu menjalar dan mengakar dalam pendekatan kesejahteraan itu.

Pengentalan pendekatan militeristik justru semakin pekat dalam proses penyelesaian persoalan di Tanah Papua. Operasi militer dan operasi intelijen dilakukan secara massal, sehingga membuat masyarakat tidak aman. Warga negara diperlakukan sebagai musuh negara dengan tindakan kekerasan aparat militer. Aktivitas politik demokratis dimata-matai dan dicurigai sebagai perbuatan melawan negara. Aksi demonstrasi damai warga negara yang menuntut keadilan malah disambut dengan perlakuan kasar dan kekerasan aparat kepolisian. Bahkan untuk aktivitas penelitian ilmiah di Papua, penelitinya dicurigai, ciduk dan diinterogasi oleh aparat militer.

Baca Juga:  Kegagalan DPRD Pegunungan Bintang Dalam Menghasilkan Peraturan Daerah

Road map penyelesaian Papua menguatkan peran aparat militer dan kepolisian. Kuatnya peran aparat militer dan kepolisan di Papua menjadi simptom paranoia negara. Paranoia negara itu sendiri menandakan kegagalan negara (failed state) dalam menyelesaikan persoalan bersama. Negara pun kian loyo (weak state) karena keperkasaannya telah dikendalikan oleh kepentingan elite-elite politik dan ekonomi yang kotor dan korup di Jakarta dan luar negeri. Di sini, negara tidak muncul sebagai “kekuatan yang jinak” kepada warga negaranya sendiri.

Oleh karena itu, negara harus tampil dengan kekuatan yang jinak, bukan dengan kekuatan militeristik. Pendekatan humanis dan demokratis harus galakan dan dimaksimal dalam menyelesaikan persoalan di Tanah Papua. Masyarakat Papua menginginkan sanak famili dan saudara-saudarinya tidak lagi menjadi korban kekerasaan aparat militer dan kepolisian. Mitos subversif dan gerakan Papua merdeka perlu dienyahkan, sebab itu hanyalah rekayasa politik elite militer di Jakarta yang mengambil keuntungan pribadi. Masyarakat sipil Papua hanya menggunakan tools politik dengan alas demokrasi untuk memperjuangkan hak-hak warga negara. Dengan itu, cita-cita kebaikan bersama dan keadilan dapat dirasakan oleh masyarakat di Tanah Papua. Tesisnya, Papua sejahtera, Indonesia hebat!

 

Penulis adalah Manajer Produksi Radio Manggarai 94.70 FM dan redaktur Sosial-Budaya media www.floressastra.com.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Desak Pelaku Diadili, PMKRI Sorong Minta Panglima TNI Copot Pangdam Cenderawasih

0
“Beberapa waktu lalu terjadi kasus penangkapan, kekerasaan dan penyiksaan terhadap dua pelajar di kabupaten Yahukimo. Kemudian terjadi lagi hal sama yang dilakukan oleh oknum anggota TNI di kabupaten Puncak. Kekerasan dan penyiksaan terhadap OAP sangat tidak manusiawi. Orang Papua seolah-olah dijadikan seperti binatang di atas Tanah Papua,” ujarnya saat ditemui suarapapua.com di Sorong, Papua Barat Daya, Rabu (27/3/2024).

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.