Melawan Kesenyapan: Kekerasan dan Tubuh Sosial

0
2233

Oleh: I Ngurah Suryawan

Genealogi (asal-usul) penyiksaan dan kekerasan di Papua diuraikan dengan sangat tajam oleh Hernawan (2014) dalam Politics of Torture and Re-imagining Peacebuilding in Papua, Indonesia. Hernawan menggambarkan secara rinci periode kekerasan yang terjadi di Tanah Papua mulai dari Zaman Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, dan juga setelah Otonomi Khusus (Otsus) berjalan di Tanah Papua. Di dalamnya juga terdapat rincian aktor-aktor yang terlibat agresif sebagai pelaku kekerasan, seperti TNI dan Polri, pemerintah daerah, masyarakat lokal. Analisisnya adalah beberapa bagian yang merinci tentang siapa-siapa saja yang paling terkena dampak dari kekerasan tersebut, termasuk di dalamnya adalah korban dari laki-laki dan perempuan yang mengalami tragedi kekerasan tersebut. Satu hal lagi yang membuat studi ini menjadi menarik karena bagaimana siasat masyarakat merespon atau menyikapi tragedi kekerasan yang mereka alamai.

Oleh sebab itulah kekerasan bukan hanya persoalan (kekerasan) fisik, tetapi menyangkut ingatan manusia dalam merespon dan menafsirkan tragedi kekerasan yang menimpanya. Dan dengan demikian, tragedi kekerasan tidaklah bisa “didisiplinkan” atau diatur oleh kemauan kekuasaan. Ingatan akan kekerasan akan terus menyebar dan hidup dalam keseharian masyarakatnya. Dalam konteks Papua, tragedi-tragedi kekerasan inilah yang hidup menyejarah bersama kehidupan rakyat Papua di kampung-kampung baik di pesisir, rawa-rawa, pegunungan maupun di lembah-lembah. Mereka menjadi bagian dari ingatan subyektif di tengah masyarakat yang kemudian tumbuh menjadi ingatan kolektif dan sosial.

Nah, salah satu konteks sosial ingatan kekerasan adalah pewarisan dan reproduksi (pengulangan/penciptaan) kembali ingatan kekerasan tersebut di tengah masyarakat. Pewarisan ingatan itulah yang berlangsung di tengah masyarakat dan menciptakan “pertarungan narasi”. Setiap ingatan sosial mengkontruksi narasi mereka masing-masing dengan berbagai kepentingan dan latar belakang yang berbeda-beda. Setelah mengkontruksinya, narasi akan ditebarkan di tengah masyarakat dengan strategi agar diyakini dan menyebar sebagai sebuah “kebenaran”. Oleh sebab itulah, masing-masing narasi akan mengutamakan “kebenarannya” masing-masing yang harus diterima di tengah masyarakat.

Dalam konteks Papua, salah satu “pertarungan narasi” yang terjadi adalah persoalan ingatan kekerasan yang mempertemukan “stabilitas keamanan” dan “pengungkapan ekspresi politik”. Di tengah kebekuan kedua kutub memperjuangkan pandangannya itulah rentetan tragedi kekerasan berlangsung terus-menerus tanpa henti. Yang menjadi korbannya adalah rakyat Papua, yang posisinya selalu saja terhimpit. Rakyat Papua memperjuangkan haknya untuk “berdaulat” sebagai manusia dan memperjuangkan aspirasinya. Sejarah kekerasan dan ingatan sosial penderitaan membuat mereka menjadi warga negara kelas dua yang selalu saja mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam bidang pembangunan dan penanganan-penanganan kasus-kasus kebebasan berekspresi.

ads
Baca Juga:  Menghidupkan Kembali Peran Majelis Rakyat Papua

 

Against Silence

Jika kekerasan sudah menyebar di tengah masyarakat dan negara menyebar teror dengan mengulang-ulang kembali kekerasan, maka yang terjadi adalah masyarakat yang hidup di tengah kesenyapan karena ketakutan dan teror. Situasi itulah yang membuat masyarakat tidak sepenuhnya bisa menyuarakan isi hati dan aspirasinya karena jerat kekerasan dan ketakutan yang sudah mewabah di tengah masyarakat. Yang kemudian terjadi adalah masyarakat yang berada dibawah kontrol kekuasaan, apatis dan apolitis. Mereka sudah tidak mempunyai lagi kedaulatan sebagai manusia karena telah dirampas oleh rezim teror dan kekerasan.

Situasi teror dan kekerasan tersebut jamak ditemukan di tengah masyarakat Indonesia saat rezim otoritarian Orde Baru berkuasa. Tidak terkecuali di Papua. Oleh sebab itulah kekerasan bukan hanya persoalan fisik, tapi ia lebih menyeluruh menyerap ke narasi dan tubuh-tubuh sosial manusia yang menjadi survivor (pejuang) dari tragedy kekerasan tersebut. Mengenang, mengingat, dan menyelami narasi-narasi survivor dalam hidupnya adalah sebuah usaha solidaritas untuk memutus rantai kekerasan. Mengutip Elie Wiesel dalam Against Silence (1985), Mutiara Andalas mengungkapkan bahwa kekerasan kian menjadi bagian dunia karena dunia tak bergerak saat salah satu anggotanya menjadi target kekerasan. Kekerasan tidak sekadar menyerang tubuh korban, tetapi juga tubuh sosial.

Bangsa yang barbar dalam mengumbar nafsu kekerasannya lahir karena ketidakpedulian sosial terhadap korban. Kekerasan kian menjadi bagian dunia karena dunia tak bergerak saat salah satu anggotanya menjadi target kekerasan. Kekerasan tidak sekadar menyerang tubuh korban, tetapi juga tubuh sosial. Ketika kekerasan dibiarkan berlangsung dan para pelaku kekerasan dibebaskan untuk menyerang para korbannya, berarti kita telah pasrah dan menggadaikan nasib kita sendiri untuk menjadi korban kekerasan selanjutnya (Andalas, 2005).

Kekerasan begitu membadan dalam kehidupan sosial kita. Semua “kekerasan simbolik” itu kita ekspresikan dalam berbagai kehidupan termasuk salah satunya mendiskriminasikan para keluarga yang kita stigma tersangkut separatis atau OPM. Kita kadang sama sekali tidak mempedulikan hikayat mereka. Mereka yang menjadi korban rata-rata menghembuskan nafas terakhirnya tanpa nama dan dianggap mati karena kesalahan mereka sendiri. Mengenang dan mengungkapkan kisah mereka adalah juga sebagai usaha mengenang dan “memberikan nama” serta penghargaan kepada korban dan survivor. Menyitir Hannah Arendt (dalam Andalas, 2005), tragedi kemanusiaan terjadi karena pelaku kejahatan berhasil menciptakan atomisasi sosial dalam masyarakat. Masyarakat dipecah belah, diseparasikan, dan diperlawankan satu sama lain. Mengingat korban berarti menolak tunduk pada kejahatan. Kita menciptakan jejaring solidaritas global untuk melawan kekerasan.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Keterpecahan yang terjadi dalam masyarakat dikarenakan kita menafikkan para korban, menganggapnya “sampah masyarakat” yang tidak berarti. Padahal dibalik semuanya, para korban dan survivor terdapat begitu banyak pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan yang bisa kita pelajari. Menggali ingatan dan kisah korban dan survivor berarti kita telah menyatakan perang terhadap kejahatan dan lingkaran kekerasan yang masuk secara massif di tengah kehidupan kita. Kita melawan keterpecahan dalam masyarakat dengan menjalin solidaritas mengenang dan mengingat para korban dan survivor kekerasan.

Dalam konteks yang lebih makro, ada baiknya kita menyimak apa yang diungkapakn oleh Bambang Purwanto, sejarawan Universitas Gadjah Mada. Ia pernah mengemukakan ide yang bernas dan tajam dalam konteks historiografi Indonesia dan perdebatannya hingga kini. Dengan mengambil titik pijak pada historiografi sebelum dan saat Orde Baru, ia mengandaikan bahwa penulisan sejarah di Indonesia selalu membangunan ingatan massa dengan saling membenturkan dua elemen ideologi yang berbeda untuk merangkai “kuasa sejarahnya” masing-masing.

Historiografi nasionalisme sebelum Orde Baru membenturkan antara kolonialisme dan imperialisme dengan semangat nasionalisme, sedangkan historiografi Orde Baru membangun kuasa historiografinya dengan melihat siapa yang menjadi “pahlawan” dan “pengkhianat” ideologi Pancasila. Penulisan sejarah dibangun secara hitam putih untuk menunjukkan siapa pendukung dan penentang serta pelaku subversif dalam sejarah. Orde Baru menempatkan militer dan elite kekuasaan pendukungnya sebagai “pahlawan” dan sentral penulisan sejarah serta menempatkan komunisme dan islam ekstrimis sebagai kambing hitam.

Dalam merancang propaganda historiografi tersebut, peranan para elite politik, intelektual, militer, dan elite rakyat serta jejaring kekuasaan menjadi penentu bagaimana format historiografi yang “baik dan benar” untuk ditulis dan dipropagandakan pada rakyat. Elite menjadi salah satu titik sentral dalam historiografi Indonesia, baik sebagai “pahlawan” yang dipuja-puja maupun sebagai “pengkhinat” yang melekat dalam perjalanan panjang pentas sejarah di Indonesia. Bahkan, jika dilihat dalam konteks sejarah kebudayaan dan mentalitas, posisi elite dalam historiografi Indonsia selalu sebagai “mentalitas dan budaya pengkhianat” (Purwanto, 2008: xxvii). Sejarah penjajahan yang terjadi hingga kini di Indonesia dengan jelas menunjukkan langgengnya mental “penjajah dan pengkhianat” yang melekat pada elite kekuasaan di negeri ini.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Historiografi elite pernah menjadi jamur di musin hujan saat rezim otoritarian Orde Baru berkuasa. Para elite politik, militer, birokrasi, berlomba-lomba membuat sejarahnya sendiri-sendiri. Yang mereka lakukan adalah mempertontonkan kepada rakyat bagaimana heroiknya mereka menjadi pahlawan nasionalisme dengan cerita-cerita peran sertanya dalam kesuksesan pembangunan, berjabat tangan dengan presiden dan mendapatkan beranekaragam penghargaan. Sayangnya, historiografi elite ini berjalan diatas kisah pedih penjajahan, kekerasan, dan pelenyapan sesama manusia Indonesia. Nasionalisme bagi para elite kekuasaan adalah soal perang melawan penjajah kolonial bukan pada pertanggunggugatan mereka (baca: elite kekuasaan) di negeri ini terhadap sejarah pelanggaran HAM yang mereka otaki dan dalangi. Maka tidaklah heran jika elite kekuasaan masih manis mengumandangkan kidung nasionalisme meskipun tangannya berlumuran darah.

Berangkat dengan keyakinan bahwa sejarah adalah medium untuk “mebebaskan manusia”, sepatutnya sejarah yang dikontruksi oleh para elit harus terus-menerus dipertanyakan. Pengalaman kekerasan dan kesenyapan karena rezim teror telah membuat kekerasan menyebar di tengah menjadi ketakutan. Karena rezim terror tersebut menyebar sehingga masyarakat menjadi senyap dan tidak ada keberanian untuk menuturkan pengalaman hidupnya mengalami kekerasan. Di tengah kebungkaman dan kesenyapan itulah, narasi para penyintas (survivor) tersimpan dalam keseharian perjuangan kehidupan mereka. Kekerasan dan penderitaan telah membadan di kehidupan mereka sehingga menjadi tugas penting dari sejarah dan antropologi untuk memberikan makna atas perjuangan mereka.

*Penulis adalah Staf Pendidik di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.

 

Artikel sebelumnyaMacetnya Studi Kebudayaan Papua?
Artikel berikutnya450 Anggota TNI Dikirim ke Perbatasan RI-PNG