BeritaWarinussy: Penangkapan Akademisi Uncen Melanggar HAM

Warinussy: Penangkapan Akademisi Uncen Melanggar HAM

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Direktur Eksekuti LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy mengatakan, tindakan aparat polisi dari Polsek Cakung, Jakarta Timur yang telah menangkap dan menahan Marinus Yaung, akademisi Uncen adalah merupakan bentuk tindaan negara yang senantiasa terus melakukan pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua.

 “Saya lihat ini sebagai suatu tindakan politisasi dengan mengatasnamakan hukum secara amburadul bahkan jelas-jelas melawan hukum, karena sama sekali tidak didasarkan pada prosedur dan mekanisme yang telah diatur di dalam pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) dan pasal 17 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),” ungkap Warinussy kepada suarapapua.com dari Manokwari, Papua Barat.

Ia menjelaskan, Di dalam pasal 16 ayat (1) disebutkan : …Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan..” dan ayat (2) disebutkan : …”Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan..”. Pada penjelasan pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “atas perintah penyidik” termasuk juga penyidik pembantu sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 11. Perintah yang dimaksud berupa suatu surat perintah yang dibuat secara tersendiri, dikeluarkan sebelum penangkapan dilakukan.

“Inilah yang saya pandang dilanggar jelas-jelas oleh aparat polisi dari Polsek Cakung tersebut yang seperti dituturkan oleh Pak Yaung bahwa dia sama sekali tidak ditunjukkan surat perintah apapun. Ini jelas-jelas melanggar hukum dan atau perintah KUHAP dan dapat dituntut secara hukum ke pengadilan. Disamping itu, menurut isi pasal 17 KUHAP bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup,” jelasnya.

Baca Juga:  Pencaker Palang Kantor Gubernur Papua Barat Daya

 Lebih lanjut Warinussy menjelaskan, dalam penjelasan pasal 17 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai bunyi pasal 1 butir 14 KUHAP.  Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

“Pertanyaan saya adalah, apakah dengan informasi “sepihak” bahwa nama Marinus Yaung masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) atau Wanted dari Polda Papua sudah merupakan sebuah bukti permulaan yang cukup? Sehingga menjadi dasar bagi Kapolsek Cakung untuk memerintahkan aparatnya menangkap Yaung?” tanya Warinussy.

Dikatakan Yan, di kasus penangkapan atas diri akademisi Uncen tersebut sama sekali tidak memenuhi prosedur administrasi hukum yang diharuskan dipenuhi oleh kepolisian sebagai salah satu unsur penegak hukum dalam konteks KUHAP tersebut.  Sehingga jelas-jelas merupakan sebuah tindakan yang konyol dan sangat memalukan serta melawan hukum bahkan melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berlaku nasional dan universal.

Sebab, kata dia, di dalam pasal 28D ayat (1) yang menyebutkan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal yang sama pula telah diatur secara jelas di dalam Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik serta Deklarasi Universal tentang HAM.

Baca Juga:  Akomodir Aspirasi OAP Melalui John NR Gobai, Jokowi Revisi PP 96/2021

Berdasarkan hal tersebut maka tindakan Kapolsek Cakung dan jajarannya adalah merupakan sebuah bentuk tindakan pelanggaran hukum sekaligus pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia yang sudah diakui negara Indonesia.

Menurutnya, oleh karenanya Yaung memiliki hak untuk melakukan tuntutan balik secara hukum dan berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia bahkan Kapolri dapat segera mengambil tindakan sebagai bentuk koreksi internal dengan menindak Kapolsek Cakung dan jajarannya yang diduga keras telah melakukan tindakan melawan hukum dan hak asasi manusia tersebut.

“Khususnya terhadap saudara Marinus Yaung sebagai salah satu akademisi, cendekiawan dan pemikir Orang Asli Papua (OAP) yang senantiasa memberikan masukan dan kritikan yang keras tapi konstruktif dalam mendorong penyelesaian politik dan hukum atas berbagai bentuk tindakan negara yang diduga keras senantiasa melanggar hak-hak OAP sebagai warga negara di Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun terakhir ini,” tulisanya dalam surat elektronik yang diterima media ini.

Sementar itu, Akademisi dan pengamat politik internasional dari Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Marinus Yaung akhirnya dibebaskan polisi dari Polsek Cakung Jakarta Timur setelah ditahan selama empat jam dan tidak ditemukan kesalahan maupun kasus pada dirinya. (Baca: Marinus Yaung, Akademisi Uncen Ditahan di Polsek Cakung Jakarta)

Baca Juga:  Sidang Dugaan Korupsi Gereja Kingmi Mile 32 Timika Berlanjut, Nasib EO?

“Saya sudah dibebaskan. Kata Polisi ini cuma masalah kesalahpahaman jadi tidak perlu dilanjutkan atau dipolitisasi. Bagi saya warga jakarta harus sadar bahwa orang Papua tidak pernah mencari musuh tapi kami sedang berjuang mencari keadilan dan kebenaran yang sudah dirampas oleh negara ini sejak integrasi awal tahun 1960-an,” ungkapnya kepada suaraPapua.com dari Jakarta usai dibebaskan polisi dari Polsek Cakung Jakarta Timus sekitar pukul 03.55 WIB dini hari tadi, Kamis (12/5/2016).

Yaung menjelaskan, DPO Polda Papua yang dituduh di awal penangkapan sama sekali tidak terbukti sehingga aparat kepolisian mengatakan ini hanya salah paham. Tetapi, kata dia, penangkapan atas dirinya itu merupakan sikap aroigansi kekuasaan. (Baca: Akademisi Uncen Dilepaskan Setelah Ditahan Empat Jam di Polsek Cakung Jakarta)

“Tuduhan DPO tidak terbukti jadi mereka bilang ini kesalahpahaman dan sudah bebaskan saya. Saya pribadi tidak menaruh dendam kepada pihak kepolisian Polsek Cakung. Tapi apa yang dilakukan polisi kepada saya ini bukan adalah bagian dari penegakkan hukum. Ini arogansi kekuasaan yang berkolaborasi dengan rasa benci orang Jakarta terhadap orang Papua. Jadi sepertinya polisi dan masyarakat Jakarta ingin mengusir kami keluar dari negara ini,” ujarnya.

ARNOLD BELAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

Kapolda Papua Barat Didesak Pidanakan Oknum Penganiaya Wartawan di Kaimana

0
“Saya juga mendesak Pangdam XVIII Kasuari untuk memberikan atensi pada kasus saudara Muray dengan memerintahkan Subden POM XVIII/1-3 Kaimana untuk menyelidiki indikasi keterlibatan anggotanya dalam kasus penganiayaan berat terhadap wartawan bernama Lukas Muray di Kaimana ini.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.