Ketika Aktifis Menjadi Sebuah Profesi

0
3143

Oleh: Benyamin Lagowan

Adalah suatu panggilan yang dilandasi semangat luhur, tanpa pamrih dan kepahlawanan tanpa jasa yang sesungguhnya, jika jiwa dan paham aktifis-me seorang ‘aktifis’ dikobarkan untuk kepentingan rakyat dan sebuah bangsa. Kata ‘aktifis’ berasal dari kata dasar aktif secara harafiah berarti tidak pasif atau mampu bergerak (mobile). Sedangkan kata ‘aktifis’ sendiri berarti orang yang selalu bergerak aktif (berjuang) dalam suatu bidang tertentu. Jika mengacu pada realitas sehari-hari, penggunaan istilah ‘aktifis’ mengarah pada berbagai kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok dengan aktif, entah berbentuk demonstrasi atau bukan, tetapi dilakukan secara terus-menerus untuk kepentingan banyak orang tanpa dipaksakan dengan sukarela dan merupakan panggilan hati nuraninya.

Kita dapat menyaksikan sepak terjang dan peran para ‘aktifis’ di Indonesia yang dengan semangat dan paham aktifis-me-nya berhasil mendorong dan membawa perubahan besar bagi kehidupan multidimensional rakyat. Semangat ‘aktifis’ yang tanpa menyerah berjuang dengan gigih demi tegaknya keadilan sejak lama berkontribusi dalam sejarah perubahan bangsa. Di Indonesia, sejarah runtuhnya kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru yang dikenal sangat militeristik dan otoriter merupakan hasil peran jiwa dan semangat aktifis-me mahasiswa dan pemuda kala itu. Jiwa aktifis-me para mahasiswa dan pemuda kala itu telah berhasil menyadarkan dan membangkitkan kesadaran kolektif dengan membuka mata hati rakyat yang akhirnya menciptakan kesatuan rakyat Indonesia,alhasil kedua rezim pada tiap zamannya diruntuhkan. Buah daripada itu adalah berlakunya era reformasi-demokrasi saat ini.

Semangat ‘aktifis’-me ini ternyata bersifat kekal dan menular positif. Hal ini terbukti karena hingga sekarang ini masih banyak ‘aktifis’ yang dengan gagah berani terus menyuarakan nilai kebenaran dan keadilan yang dibungkam oleh penguasa dengan sistemnya mapan.Jiwa aktifis-me tidak bergantung dan dibatasi oleh zaman. Semangat ‘aktifis’-me ternyata lahir sebagai bagian dari proses refleksi nurani atas ketidakadilan dan ketidakbenaran berbagai pihak (penguasa) atas pelecehan dan pengalihan fakta serta kepercayaan akan sesuatu yang benar dan tidak benar, adil dan tidak adil.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Di sini yang menarik untuk diperhatikan, disimak, direfleksikan dan direnungkan yakni ketika individu/kelompok ‘aktifis’ mahasiswa dan pemuda Papua menyatakan diri bahwa jiwa, semangat, kesadaran dan panggilan menjadi ‘aktifis’ adalah suatu profesi. Atau singkatnya ketika para ‘aktifis’ berikrar menghayati,mengabdikan dan mendeklarasikan dirinya dengan menyatakan bahwa ‘aktifis’ adalah profesinya. Barangkali bagi Kita yang tak pernah memahami dan merasakan peran serta resiko jiwa ‘aktifis’-me,akan menganggap penghayatan ini sebagai sesuatu tak bermakna. Namun,bagi mereka yang pernah merasakan jiwa dan resiko mengabadikan dirinya sebagai ‘aktifis’, pengakuan dan penghayatan demikian adalah sebuah ikrar pengorbanan. Sungguh amat muliah, dan kudus. Mengapa? Kita dapat mengerti seberapa besar konsekuensi dan tantangan bagi seorang ‘aktifis’. Kita juga tahu, tak ada keuntungan bagi profesi ‘aktifis’. Apalagi di zaman seperti saat ini, ketika semua perhatian dan orientasi setiap manusia sedang mengarah pada persaingan global dengan gaya individualistik, hedonistik, materialistik, sekularistik dan kapitalistik. Tentu sangat berbanding terbalik dengan ikrar aktitis-me karena akan menemui tantangan dari kelompok dominan mapan yang telah kuat tersistem dan kroninya.

ads
Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Realitas jiwa dan kesadaran ‘aktifis’-me di Papua tergambarkan melalui berbagai kelompok perjuangan yang ada, yakni kelompok pemuda dan mahasiswa yang berada di garda terdepan yang menyuarakan ketidakadilan dan ketidakbenaran yang selama ini menjadi “Sakit Batiniah Orang Asli Papua (minoritas dan marjinalis)”. Mereka (aktifis) di Papua sudah tampak sangat kuat, solid dan kompak. Misalnya di Perguruan Tinggi ada Gerakan Mahasiswa, Koalisi Mahasiswa, Solidaritas Mahasiswa dan Forum Independen Mahasiswa. Di luar Perguruan Tinggi, Kita tahu bersama ada Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Parlemen Jalanan (PARJAL), Solidaritas Hukum dan HAM Rakyat Papua (SHDRP), Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) dan masih banyak lainnya. Jiwa ‘aktifis’-me kelompok diatas ini sangat tidak diragukan.

Ikrar dan panggilan suara kenabiannya telah melahirkan sebuah kesadaran kolektif akan ketidakbenaran yang musti didorong secara lebih intensif dan lebih solid serta berkesinambungan. Akhirnya saat ini sudah sangat jelas dan nampak bahwa semangat aktifis-me tersebut telah menghasilkan sebuah benih profesi baru yakni “Profesi ‘aktifis’. Sebuah profesi baru yang lahir atas kesadaran kolektif, yang sangat riskan namun nyata. Juga sebuah profesi baru yang walaupun tanpa jasa, merupakan profesi paling rendah dalam benak kelompok mapan, dan kelompok hura-hura oriented, serta semua kelompok materialistik di Papua bahkan Indonesia.

Sebuah profesi yang dalam ajaran agama Katolik dapat disetarakan dengan pengorbanan para Martir yaitu mereka yang berani mati bagi tegaknya kebenaran firman Tuhan. Mereka yang rela mengabadikan diri dan menyerahkan seluruh kemapanan duniawi demi memperjuangkan nilai-nilai kebenaran hakiki bagi semua orang dan bangsa-bangsa tertindas.

Baca Juga:  23 Tahun Otsus, Orang Asli Papua Termarginalkan

Bukankah keengganan manusia dalam memilih profesi ini amat besar? Kegemaran tiap pribadi untuk berprofesi sebagai Guru, Tenaga Medis, Militer, Aparatur Sipil Negara dan sebagainya amat besar karena profesi-profesi inilah yang lebih familiar. Mampukah profesi ini menjadi sebuah profesi yang akan diminati? Sungguh sangat berani dan luhur profesi baru ini. Profesi ‘aktifis’ akan menjadi sebuah profesi baru yang menempati kasta terendah. Kasta yang belum tentu masuk dalam hitungan manusia dewasa ini.

Namun akan menjadi sebuah profesi yang amat menentukan tegaknya nilai-nilai kebenaran dan keadilan, profesi yang akan membangun dan menentukan nilai kebersamaan, kesatuan, kekeluargaan dan penyeimbang terhadap kebijakan penguasa yang anti kemanusiaan. Profesi yang akan melahirkan semangat baru dalam menghasilkan sebuah peradaban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis,lebih humanis dan lebih sejahterah sesuai cita-cita bangsa.

Oleh sebab itu, patutlah kita mengapresiasi para ‘aktifis’ yang dengan berani mendeklarasikan diri dengan menghayati semangat dan jiwa aktifisme-nya mampu mengakui bahwa kesadaran akan semangat ‘aktifis’-me temporer,situasional dan tematik perlu disahkan dan ditetapkan sebagai sebuah profesi.

Dengan demikian kita diperhadapkan pada pilihan sesuai panggilan nurani dan petunjuk Tuhan. Apakah pantas kita mereduksi nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang digadaikan dengan profesi-profesi kita yang menggiurkan karena diupahi?

Penulis Adalah Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih, Jayapura

 

Artikel sebelumnyaKetua Timsel Panwas Kab. Intan Jaya Mengaku Sering Diteror
Artikel berikutnyaJangan Harap Jakarta Akan Selesaikan Pelanggaran HAM di Papua