Oleh: I Ngurah Suryawan
Kekalahan Kajian Budaya Papua?1 Esai sederhana ini mendalami tema-tema kebudayaan yang menjadi isu strategis dalam pengelolaan kebudayaan Papua. Bagian awal dari esai ini akan menguraikan tentang peta sosiokultural studi-studi kebudayaan Papua dan produksi kuasanya. Di dalamnya berlangsung reproduksi pengetahuan tentang Papua yang “menyingkirkan” perspektif emansipatif dan transformatif terhadap orang-orang Papua itu sendiri. Yang justru terjadi adalah “kekalahan” dari orang-orang Papua sendiri sekaligus matinya denyut nadi ilmu humaniora (baca: kemanusiaan) di Tanah Papua itu sendiri. Bagian berikutnya mencoba untuk menganalisis “matinya” ruh ilmu-ilmu humaniora yang terlibat dalam transformasi sosial budaya di Tanah Papua. Yang justru terjadi adalah ilmu yang mengkolonisasi (baca: menjajah) orang-orang Papua itu sendiri dengan menstigmatisasi komunitas-komunitas yang ada di Papua. Kesalahan penamaan inilah yang berimplikasi serius dalam produksi kebudayaan, kebijakan, dan kekuasaan yang berlangsung berlarut-larut hingga kini di tanah Papua.
Melalui perspektif yang kritis, Laksono (2010) menyatakan, kekalahan ilmu antropologi justru terjadi di daerah yang sumber daya alamnya sangat kaya. Antropologi hanya menjadi alat kekuasaan modal, negara, dan menggunakan nalar-nalar berpikir kapitalisme global yang pragmatis dan positivistik dalam mempraktikkan ilmu-ilmu humaniora. Sangat jelas ini bertentangan dengan nilai-nilai dan perspektif pengembangan ilmu humaniora yang berusaha meletakkan fondasinya kepada nilai-nilai kemanusiaan dan kesadaran menciptakan manusia yang humanis, empati, dan apresiatif terhadap nilai-nilai kebudayaan dan kemanusiaan itu sendiri.
Sejujurnya, pendidikan antropologi sangat penting artinya dalam menciptakan transformasi sosial budaya di Tanah Papua. Kekayaan budaya dan pengetahuan-pengetahuan lokal adalah modal dalam membimbing rakyat Papua untuk secara kreatif memperbaharui identitasnya. Realitas juga membuktikan sangat banyak generasi muda Papua yang menaruh minat yang tinggi terhadap ilmu-ilmu humaniora, dalam hal ini khususnya antropologi. Ilmu-ilmu humaniora khususnya antropologi yang berkembang di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) terbukti memiliki peminat yang tinggi dan lapangan kerja yang menjanjikan bagi lulusannya. Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (Uncen) telah banyak melahirkan lulusan antropologi yang kini terserap di berbagai lapangan kerja dari mulai aparat birokrasi, lembaga swadaya masyarakat hingga jajaran bagian community development (pemberdayaan masyarakat) perusahaan investasi multinasional. Sementara belum genap lima tahun kelahirannya, Jurusan Antropologi Universitas Papua (Unipa) Manokwari, Papua Barat sudah menerima hampir 450-an mahasiswa hingga 2015, meski kemudian bisa dipastikan akan menyusut hingga kelulusannya. Meski kuantitas bukan menjadi ukuran kemajuan, potensi yang dimiliki oleh peminat ilmu-ilmu humaniora, khususnya ilmu antropologi pantas untuk dikedepankan.
Jumlah mahasiswa yang mendaftar di Jurusan Antropologi di Tanah Papua ini pun menunjukkan antusiasme generasi muda Papua mempelajari tentang kebudayaannya. Seorang lulusan ilmu Antropologi UNCEN berkisah kepada saya bahwa motivasinya yang paling besar dalam mempelajari ilmu antropologi jauh-jauh dari Nabire ke Jayapura adalah ingin mempelajari ilmu tentang kebudayaan yang akan dipergunakan untuk “mencatat” kebudayaan di kampungnya masing-masing. Di Jurusan Antropologi Universitas Papua (Unipa), puluhan mahasiswa dari salah satu fakultas eksata pindah ke Jurusan Antropologi dengan berbagai alasan. Salah satu mahasiswa yang mengikuti kelas kuliah organisasi sosial yang saya ampu menuturkan, “Bapa, sa pu tempat di sini sudah. Di jurusan sebelumnya sa pu otak ini seperti mati,” ujarnya.
Dimana Posisi Kajian Budaya?
Kajian-kajian kebudayaan dalam lingkup ilmu-ilmu humaniora memiliki perkembangan yang menjanjikan dan dinamis di Papua. Konteks sosial budaya dan perubahan sosial menjadi laboratorium yang penting dalam pengembangan ilmu antropologi khususnya. Namun, situasi ironis yang terjadi adalah terkesan mandegnya perkembangan ilmu-ilmu humaniora karena penetrasi birokratisasi pendidikan dan kuasa investasi global. Jejaring interkoneksi kuasa kapital global inilah yang mengeksploitasi sumber daya alam yang dahsyat dan mengalahkan masyarakat dan budaya tempatan (Laksono, 2010:10). Lalu, dimana peranan ilmu-ilmu humaniora dalam memediasi transformasi sosial budaya di Tanah Papua? Dan, mengapa rakyat Papua tidak tercerdaskan melalui ilmu-ilmu humaniora?
Dalam ranah praksis, kerja ilmu-ilmu humaniora, khususnya antropologi, mesti dikerjakan secara berkelanjutan dengan mengapresiasi pengalaman-pengalaman dan narasi reflektif identitas yang berbeda-beda. Penting juga diajukan kerja partisipatoris bersama-sama masyarakat tempatan untuk melakukan studi etnografi bersama yang memberikan ruang dan sekaligus mengapresiasi pengalaman-pengalaman masyarakat tempatan untuk bersiasat di tengah terjangan kekuatan kapital global. Oleh karena itulah menjadi penting untuk menghargai “ruang antar budaya” untuk menumbuhkan kesadaran keberbedaan, melihat identitas diri kita pada masyarakat tempatan lain yang sebelumnya “asing” atau kita anggap “terkebelakang” dibanding identitas budaya kita.
Dalam sebuah esainya, Giay (2000:93-102) mengungkapkan bahwa perlu refleksi di kalangan lembaga pendidikan di Papua untuk menjadikan dirinya sebagai lembaga yang emansipatif dan transformatif menuju Papua Baru. Lembaga pendidikan di Papua bukan hanya menempatkan dirinya semata-mata sebagai lembaga pewaris nilai-nilai sosial budaya generasi masa lampau. Yang terjadi justru lembaga pendidikan ini tidak akomodatif kepada perubahan jaman. Diperlukan terobosan dari lembaga pendidikan di Papua untuk menangkap kegelisahan dan pergolakan yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Kegelisahan dan pergolakan tersebut terekspresikan melalui berbagai fenomena sosial budaya yang terpentaskan di publik maupun tersimpan rapat dibalik kebungkaman rakyat untuk bersuara.
Ilmu-ilmu humaniora adalah pengetahuan yang bersumber dan terus hidup melalui pengalaman manusia dalam berkomunitas dan mengkonstruksi (membentuk) kebudayaannya. Konstruksi manusia dalam relasinya berkomunitas itulah yang membentuk ilmu-ilmu humaniora seperti bahasa, sastra, arkeologi, sejarah, antropologi. Semuanya masuk ke dalam rumpun-rumpun ilmu budaya yang membedakan dirinya dengan ilmu sosial dan politik (sosiologi, komunikasi, kriminologi, administrasi, dll). Karena fokusnya pada pembentukan kebudayaan manusia, ilmu-ilmu humaniora menyasar secara langsung refleksi identitas-identitas manusia dalam rentang sejarah yang terus berubah sesuai dengan konteks, ruang, waktu, dan kepentingan manusia tersebut.
Ilmu humaniora tentu berbeda dengan ilmu pasti dan sangat jauh dari pemikiran tentang pragmatisme pendidikan untuk melayani dunia kerja, pasar global, dan sudah tentu kuasa kapital (investasi) yang menggerogoti negeri ini dan juga manusia-manusia di dalamnya. Subyek yang dipelajari dalam ilmu-ilmu humaniora terus bergerak dan dinamis, sementara yang mempelajarinya juga mempunyai pengalaman pribadi yang terus berubah sesuai dengan konteks historisnya. Oleh karena itu hasil dari belajar antropologi lebih bersifat pengetahuan reflektif dan apresiatif yaitu pada penemuan eksistensi manusia itu sendiri. Ilmu humaniora meletakkan kebenaran ada dalam rentang sejarah sosial manusia, dalam relasi kuasa/politik, ketika manusia harus membuat strategi dan siasat untuk mengorganisir hidupnya di dunia nyata.
Pendidikan pada prinsipnya berkaitan dengan revolusi kesadaran historis (sekalgus kritis) manusia akan hakekat hidupnya. Eksistensi manusia terbentang antara masa lampau dan masa depan. Dengan demikian, pendidikan itu arahnya tidak hanya pada ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga pada usaha pemahaman atas diri sendiri dalam konteks historisnya. Ada tiga poin penting yang patut direnungkan. Pertama, pengetahuan manusia itu bersifat historis, maka sifat dogmatis bertentangan dengan sikap historis manusia itu. Kedua, perlu tekanan dalam pendidikan pada “proses” bukan hanya dalam “produk”. Ketiga, perlunya menghidupkan kesadaran historis dengan membiasakan peserta didik melihat “akar-akar” sejarah dan masalah-masalah masa kini yang kita hadapi. Pendidikan seperti inilah yang berwawasan kemanusiaan, jadi juga berwawasan antropologi.
Dengan demikian, ketajaman antropologi dalam membahasakan dinamika sosial budaya yang melaju kencang di Tanah Papua menjadi sangat-sangat terbatas. Antropologi menjadi kekurangan bahasa dalam menyuarakan “kaum tak bersuara” yang tersimpan dalam kebungkaman rakyat Papua dalam ingatan memoria passionis-nya. Yang justru terjadi adalah “kolonisasi antropologi” dengan melakukan kesalahan-kesalahan penamaan hanya dengan penyederhanaan kepada “antropologi laci” dan menguncinya pada tujuh unsur kebudayaan. Ini tentu saja salah kaprah. Kebudayaan Papua kini telah terinterkoneksi dengan dunia luar dan memikirkannya kembali ke titik asali atau meromantisisasinya menjadi praktik penjajahan kebudayaan yang terselubung.
Penulis adalah staf Pendidik/Dosen di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.
Referensi
[1] Naskah ini awalnya adalah kertas kerja dalam Dialog Budaya Papua pada Era Orde Baru dan Otonomi Khusus yang diadakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jayapura – Papua bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua Barat di Manokwari, 11 Juni 2016.