Kekalahan Kajian Budaya Papua? (Bagian 3 – Habis)

0
2484

Oleh: I Ngurah Suryawan

Pada bagian kedua saya telah mencoba menguraikan praktik-praktik kolonisasi baru yang menjadi wajah baru dalam “niat/kehendak untuk memperbaiki” Papua dengan orang-orangnya, untuk berpikir maju dan berkembang dalam pembangunan. Namun, dalam konteks tersebut, yang juga penting untuk diperhatikan adalah siasat-siasat orang Papua dalam situasi transformasi sosial yang tak terhentikan di Tanah Papua.

Pada bagian terakhir ini saya mencoba untuk membingkai konteks siasat-siasat kebudayaan yang dipraktikkan oleh orang-orang Papua dalam memanfaatkan situasi dan sebagai refleksi terhadap diri dan komunitasnya. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana mereka bersikap di tengah Papua yang berubah sekarang ini?

Siasat Kebudayaan

Secara ilustratif, Tiwon (2014: xv-xvi) menggambarkan bahwa dalam kitab Jawa Kuno, Tantu Panggelaran, manusia penghuni pulau Jawa —yang baru mengalami “stabilisasi” oleh para dewa— digambarkan sebagai mahluk-mahluk tanpa peradaban: dalam keadaan telanjang mereka hidup di hutan, tanpa pekerjaan untuk ditiru. Mereka punya hanya berbunyi, tidak memiliki bahasa: “mengucap tanpa mengetahui apa yang diujarkannya, tanpa mengetahui maknanya”. Dewa-Dewa kemudian turun dari kahyangan untuk memberikan berbagai pengetahuan: menenun, membangun rumah, dan mengelola tanah. Dan tentu juga pelajaran bahasa dalam bentuk aturan-aturan jadi. Semua untuk ditiru oleh manusia.

ads

Manusia diposisikan sebagai mahluk telanjang dan bisu yang hanya “diberi” bahasa dan pengetahuan dengan cara mengajar yang boleh dikatakan jatuh dari langit dalam bentuk utuh dan sempurna. Manusia tinggal menjadi peniru. Tidak mengherankan kalau salah satu tanda lulus adalah penorehan aksara suci pada lidah murid. Lidah yang dikenal tak bertulang (dan karenanya tidak beraturan) dengan demikian dikekang untuk hanya mengucapkan apa yang dikehendaki para dewa (penguasa).

Konteks yang terjadi di Tanah Papua secara gamblang menunjukkan bagaimana pengetahuan diintroduksi oleh kuasa dari luar dan kemudian secara perlahan namun pasti menciptakan “kuasa pengetahuan” itu sendiri terhadap Tanah Papua. Penciptaan pengetahuan tentang “apa dan bagaimana itu Papua” menjadi kuasa dari rezim penjajah yang menganggap diri mereka lebih beradab daripada orang Papua. Oleh sebab itulah, kebebasan bagi orang-orang Papua untuk mendefinisikan dirinya guna membangun pengetahuan serta menafsirkan dunia menjadi terhalang.

Dasar dari keseluruhan argumentasi itu adalah konsepsi tentang “beradab” dan “tidak beradab” yang berimplikasi sangat serius terhadap cara pandang politik kebudayaan terhadap suatu bangsa dan kebudayaan. Secara tajam Tiwon (2014: xvii) mengungkapkan bahwa waktu senantiasa berjalan menuju pengetahuan, karena waktu merupakan bagian tak terlepaskan dari menjadi manusia dan imajinasinya.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Karena itu, konseptualisasi waktu pun harus dilihat sebagai sumberdaya yang direbut, sebagai bagian yang sangat mendasar dari akumulasi awal yang membentuk kapital. Waktu dibelah menjadi menjadi dua: masa tanpa peradaban/pengetahuan di satu pihak dan masa beradab/berpengetahuan di pihak lain. Kadang-kadang diakui adanya masa ketiga, atau masa transisi, tetapi inipun menekankan pembelahan antara dua konsepsi waktu yang dipertentangkan itu.

Cara pembelahan waktu karenanya sarat politik, apakah politik elit kekuasaan atau politik pembebasan, tetapi umumnya yang memiliki daya untuk menentukan pengertian waktu adalah pihak penguasa elit, sehingga bentuk peradaban dan pengetahuan merupakan cerminan kehendak elit yang memposisikan kaum bawahan untuk menjaga utuh dan lestarinya cerminan tersebut.

Di Tanah Papua, kuasa untuk melegitimasi kebudayaan juga sangat kolonialistik (menjajah). Kuasa pengetahuan inilah yang membungkam orang-orang Papua untuk mendefinisikan dirinya. Jika mereka berekspresi, maka stigmatisasi separatis dengan sangat mudah dilekatkan karena mengganggu legitimasi kuasa negara. Hal yang kemudian terjadi adalah budaya bisu di tengah masyarakat, ketika ekspresi untuk menyuarakan identitas diri dan kebudayaan tersumbat.

Kebisuan di tengah-tengah kebisingan kata milik kepentingan di luar pengalaman realitas komunitas dan diri sendiri: inilah kebisuan hakiki. Dan kebisuan hakiki ini mematahkan hak dan daya untuk mendefinisikan dunia, mematahkan hak dan daya untuk membangun pengetahuan yang bukan sekadar informasi dalam arti fungsional atau instrumental (Tiwon, 2014: xix).

Masyarakat Papua yang berdiam di seluruh pelosok gunung-gunung, lembah-lembah, dan pesisir pantai memiliki sistem nilai dan kognisi (pikiran) tentang kebudayaannya. Mereka telah mengkonstruksi dan memelihara nilai-nilai kebudayaan tersebut dengan berbagai dinamikanya. Oleh apa yang disebut dengan modernisme, kemudian terpapar interkoneksi antara nilai-nilai yang dianggap “tradisional” ini dengan nilai-nilai introduksi baru yang dilakukan oleh berbagai pihak. Salah satunya adalah dari agama.

Sejak terjamahnya Papua oleh para Zending dan Misi untuk penyebaran agama, mereka telah menciptakan sebuah pengetahuan yang sangat berharga dalam usahanya memahami sebuah masyarakat dan penyebarkan agama.

Pengetahuan yang direproduksi oleh pihak agama ini sangat nyata berdampak dalam keseluruhan aspek kehidupan di Tanah Papua. Zending, Misi, dan penyebaran Islam di daerah Kepala Burung berjasa besar dalam mengenalkan sistem pendidikan, nilai-nilai agama modern, dan berperan sangat besar dalam mengkonstruksi identitas dan kebudayaan masyarakat di Tanah Papua.

Warisan berikutnya adalah apa yang diintroduksi oleh pemerintah kolonial Belanda dan Indonesia, yang dengan caranya sendiri, masing-masing telah mereproduksi pengetahuan dan kebijakan dalam mendefinisikan Papua menurut perspektif mereka.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Kesemua warisan akumulasi pengetahuan dan kontruksi kebudayaan tersebut tertanam dan menjadi ingatan beberapa generasi dan kemudian diwariskan secara terus-menerus hingga hari ini. Ingatan sosial tersebut berdampak besar terhadap bangunan persepsi masyarakat Papua. Apa yang dilakukan oleh berbagai pihak di atas yang berkontribusi dalam mengkonstruksi pengetahuan terhadap Papua tidak terlepas dari berbagai kepentingan (kuasa politik) di dalamnya.

Penyebaran agama, politik kekuasaan, dan eksploitasi SDA (sumber daya alam) adalah beberapa diantaranya. Namun dibalik konstruksi pengetahuan yang mereka bangun, akan terlihat juga perspektif yang mereka gunakan untuk memproduksinya.

Salah satu perspektif yang kebanyakan digunakan adalah kulturalisme (eksotisme kebudayaan) yang mewarnai akumulasi pengetahuan terhadap Papua. Perspektif ini menyandarkan diri pada “keheranan” dan “kekaguman” terhadap kekayaan dan eksotisme ratusan etnik dan budaya yang terdapat di Tanah Papua.

Kelompok penyebaran agama dan pemerintah Belanda telah sangat banyak melahirkan laporan-laporan perjalanan petugas mereka untuk melukiskan kekhasan berbagai kelompok etnik yang berada di Papua. Data-data etnografi kelompok etnik ini sangat melimpah jumlahnya.

Perspektif kulturalisme ini mensandarkan dirinya kepada eksotisme kebudayaan yang menganggap sebuah kebudayaan terlokalisir dan mempunyai ciri yang khas dan unik dibandingkan kebudayaan lainnya.

Terkait dengan konteks ini, Timmer (2013:22) mencoba menunjukkan bahwa kajian budaya dan bahasa di Papua pada masa kolonial dan diwariskan hingga kini memperlihatkan adanya variasi yang tinggi. Hal ini mengundang kita melakukan reduksi untuk menarik batas dan menjelaskan karakteristik yang bervariasi tentang budaya dan bahasa di Papua yang eksotis dan terlokalisir tanpa adanya mobilitas dan transformasi.

Pandangan kulturalisme ini sangat menyesatkan karena melihat orang Papua hanya ditentukan oleh budayanya, sehingga budaya ini membentuk sebuah kesatuan organik yang utuh dan tertutup, sehingga orang Papua tidak dapat meninggalkan budayanya, tetapi hanya dapat merealisasikan dirinya di dalam budayanya tidak dapat meninggalkan budayanya, tetapi hanya dapat merealisasikan dirinya di dalam budayanya. Perspektif ini tentu saja mengingkari bahwa kebudayaan itu melintas batas melewati sekat-sekat dan lokalisir hanya sebatas tempat. Kebudayaan sekali lagi bukan hanya sebatas properti-properti, tetapi pembentukan pikiran dan pengertian (notion formation).

Perspektif yang melokalisir kebudayaan tersebut sering dipandang sebagai pemahaman kulturalisme dalam studi kebudayaan. Ahimsa-Putra (1987:28) mengungkapkan bahwa perspektif kulturalisme digambarkan dengan pendeskripsian “kebudayaan” suku-suku bangsa yang ditulis menjadi etnografi betul-betul merupakan rekonstruksi dari si penulis dan bukan merupakan pelukisan “realitas” yang dilihat, didengar, dan dialami oleh penulis etnografi tersebut.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Para penulis etnografi tersebut telah dipandang sebagai “pencipta-pencipta” kebudayaan dari komunitas masyarakat yang dimaksud. Dalam penulisan etnografi kulturalisme ini, yang oleh Ahimsa-Putra (1987:26) disebut dengan “etnografi laci”, hampir tidak ada ditemukan di dalamnya dialog antara penelti (penulis etnografi) dengan mereka yang diteliti. Para informan dan warga pendukung kebudayaan yang ada di lapangan tenggelam di balik teks.

Apa yang kemudian hadir dalam tulisan tersebut adalah abstraksi dari si peneliti atas hal-hal yang telah dia dengar, lihat, dan mungkin alami selama tinggal di lapangan dan mungkin dengan dilakukan dengan menggunakan konsep-konsep yang sebelumnya sudah ia pahami. Pada titik inilah penulis etnografi merasa dirinya berhak mewakili para informannya dalam menyampaikan apa yang telah dikemukakan kepada peneliti.

Para informan itu adalah adalah rakyat yang sepatutnya menjadi subyek dari studi-studi kebudayaan, bukan justru menjadi “obyek penderita”, terlebih lagi dijadikan sebagai seolah-olah sebagai “massa” yang sama sekali tidak mempunyai kedaulatan dan pengetahuan.

Rakyat dalam arti yang sebenarnya bahasa Laksono (2008 via Budi Susanto, 2005) adalah “orang-orang yang berdaya”, mempunyai kekuatan untuk melakukan perubahan sosial terhadap diri dan lingkungannya. Oleh karenanya rakyat hampir selalu diantara dua sisi yaitu melakukan resistensi (perlawanan) sekaligus obyek penundukan dan eksploitasi. Dalam hal inilah rakyat berbeda dengan “massa” yang sangat mudah untuk dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan.

Dalam konteks historis, negara dan kekuasaannya sangat alergi dengan kata “rakyat” karena sejarah panjangnya dalam melakukan gerakan kritis kepada kekuasaan. Dalam bingkai itulah rakyat satu kata yang sangat berpengaruh dalam proses transformasi sosial.

Dalam konteks Papua, rakyat juga menjadi subyek (yang berdaya) sekaligus dijadikan sebagai “alat” oleh kekuasaan untuk semakin menancapkan kekuasaannya. Nah, jika rakyat dimaknai sebagai yang berdaulat dan berdaya —dengan demikian juga artinya memiliki pengetahuan yang sepatutnya diapresiasi dan dipelajari— maka studi-studi kebudayaan di Tanah Papua tidak akan macet, tetapi justru akan terus berkembang dengan dinamis. Dengan demikian, rakyat akan dimediasi untuk terus-menerus aktif melahirkan inisiatif mengambil peran dalam transformasi sosial budaya yang terjadi di Tanah Papua.

Penulis adalah staf Pendidik di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.

 

Artikel sebelumnyaPesta Adat “Yuwo” di Abaimaida Dogiyai, Unik
Artikel berikutnyaPembiaran Pembunuhan di Amungsa