Kebebasan Menyampaikan Pendapat dan Diskriminasi Rasis Terhadap Orang Papua

0
5624

Oleh: Benny Pakage

Ide menulis artikel ini lahir setelah kami melihat tiga buah foto kekerasan oleh aparat Polisi/TNI dan kelompok organisasi kemasyarakatan (Ormas) reaksioner terhadap Mahasiswa Papua di Yogyakarta. Dalam foto tersebut, terlihat jelas Mahasiswa Papua dipukul hingga hidung berlumuran darah, dan mata pecah dihantam benda tumpul, serta diinjak dengan sepatu, hingga hidung dimasuki jari dengan keras sambil menarik rahang bawah.

Saya juga menonton sebuah video, mahasiswa dihadang polisi saat hendak melakukan aksi damai pada tanggal 15 Juli 2016; serta kalimat rasis yang diucapkan Polisi (dalam video) dan ormas reaksioner kepada adik-adik mahasiswa Papua di Asrama Kamasan I Jl. Kusumanegara Yogyakarta.

Melihat foto dan video serta teriakan meminta tolong melalui sosial media seperti facebook kepada kami di Papua sebagai orang tua mereka yang jaraknya sekian ribu kilometer, tentu kami tidak bisa menolong mereka.

Tindakan sebagaimana terpotret kamera serta teriakan minta tolong ini seakan ingatkan saya untuk kembali memutar rol diskriminasi dan rasisme terselubung yang kami temukan saat hidup bersama mereka yang disebut orang Java oleh orang Barat. Sebutan “Java” oleh orang Barat ini tak tahu huruf “v” dapat dari mana, mungkin karena susah eja huruf “w”?

ads

Tulisan ini, pasti ada yang tersinggung terutama teman-teman orang Java, yang menurut kami orang Papua, orang Java (maaf saya pakai istilah Barat, biar sedikit modern dan rasional, hehehe…) adalah semua orang yang ada di Pulau Java.

Tanpa mengurangi rasa hormat kami, dalam tulisan ini, berusaha menunjukkan kepada publik beberapa diskriminasi rasis dari sekian banyak yang kami alami selama sekitar 7 tahun di Pulau Java. Saya pikir perlu ditulis karena, banyak anak Papua alumni Java yang pulang ke daerah mereka dengan membawa sekarung memori diskriminasi rasis seperti saya dan masih juga mereka simpan dalam pikiran, yang melahirkan embrio-embrio kebencian dan perlawanan mendukung nasionalisme Papua. Nah, pembaca boleh saja kritisi tulisan yang kami ulas sesuai pengalaman dan realita hidup kami, dengan bertanya: apakah tulisan ini benar atau karena emosi? Pembaca diberi hak menilai dan kritik, boleh kemukakan melalui facebook atau website.

***

Pertama kali kami injakan kaki di pulau Java (tanahnya orang Java) pada tahun 1995. Kami pergi ke Pulau Java karena di Papua ada keterbatasan sarana belajar dan kata Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta sebagai kota-kota pelajar yang menawarkan sarana pendidikan memadai, sehingga dengan berbekal ilmu yang akan kami dapat di tanah Java kami pulang membangun daerah kami sesuai harapan dan cita-cita negara ini.

Dalam perjalanan ke Java, sama sekali tidak ada pikiran dalam diri kami, pergi untuk menguasai tanah mereka, atau mau usaha cari untung di tanah mereka atau kerja di sana atau kacaukan daerah mereka. Tidak.

Tujuan ke sana, tentu dengan rasa bangga, hanya untuk ingin menimba ilmu pengetahuan. Saat itu sedikit kami merasa kami orang Indonesia karena mulai dari kelas I SD hingga tamat SMA, dengan semangat kami menyanyikan lagu Indonesia Raya, Halo-halo Bandung, Dari Sabang sampai Merauke, Naik Kereta Api, di ruang kelas, yang melahirkan imaginasi khayalan kami buat Indonesia yang luar biasa, dengan upacara bendera Merah Putih pada setiap hari Senin sebagai pengamalan Pancasila.

Walau secara samar (saat itu media terbatas dan dikuasai pemerintah dan militer) sering di tanggal 1 Desember dan setiap 1 Juli kami dengar lewat siaran RRI tentang perlawanan OPM yang saat itu distigma Indonesia sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) untuk mewujudkan negara Papua Barat Merdeka.

Dalam pergaulan hidup di Papua, melalui desas-desus tersebar isu bahwa orang Java (Melayu) adalah orang yang penuh lemah-lembut,baik hati, pemaaf, pemberi, tabah dan panjang sabar, sehingga sering ada cerita lucu dari orang Papua (Mob) antara orang Java yang lemah-lembut, penuh ketabahan dan orang Papua yang berani dan kuat. Orang Java sebagai manusia lemah-lembut ini lama kami dengar sejak kami masih kecil. Saat itu hasil dari stigma-stigma positif yang mereka kembangkan itu, membuat hati kami menjadi rasa bangga bila berteman dengan orang Java atau Melayu lain, karena stigma ini merata ke semua orang yang berciri rambut lolong atau rambut panjang, kulit sawo matang (pinjam istilah dari group musik Black Sweet) dengan melupakan realita kekerasan di Tanah Papua.

Stigma positif terhadap orang Java yang lemah-lembut dan penuh tabah ini juga yang membuat banyak orang Papua lupa dengan sekian banyak pembantaian yang terjadi di tanah ini saat pimpinan militernya orang dari Java menangkap orang Papua yang berjenggot dan tidak tahu bahasa Indonesia. Sehingga bila OPM melakukan penyerangan ke tentara/polisi sebagian besar orang Papua sering memihak militer Indonesia yang menguasai media yang terbatas dengan berita-berita propaganda. Kami percaya berita itu, tanpa hiraukan penjelasan orang tua kami mengenai OPM sebagai pejuang Papua Merdeka dan penjelasan mengenai proses Pepera 1969 yang penuh intimidasi, teror, pembunuhan dan rekayasa penipuan bila ada berita mengenai OPM.

Karena saat itu kami dari Merauke ke pulau Java pakai pesawat Hercules milik TNI AURI yang biaya tiketnya murah, maka setelah tiba di Malang, kami ke Jakarta naik bus dengan rasa bangga. Banyak orang Java yang kami temui di jalan dan kami rasa bangga karena berhasil bertemu dan bisa berdiri di antara sesama anak bangsa. Belakangan baru kami baru sadar bahwa pikiran kami sebenarnya sudah dipengaruhi dengan stigma positif tadi, dimana orang Java sudah disebut sebagai manusia lemah-lembut dan tidak lekas marah alias panjang sabar. Pokoknya semua yang baik-baiklah.

Pengaruh stigma positif yang sudah tertanam di dalam diri kami ini membuat ucapan dan senyum mereka, kami anggap sebagai sebuah sambutan terhadap kedatangan kami di daerah mereka yang maju dan baik itu. Saat itu stigma positif yang dikembangkan mereka ini membuat kami sepertinya dibius dan ada di alam tidak sadar. Sama sekali kami tidak merasa bahwa mereka berbeda dengan kami, selain kami juga sudah lama menerima mereka sebagai saudara sendiri dan perlakukan mereka sama dengan kami orang Papua di tanah kami. Terlebih saat para transmigran dari Java datang menempati tanah kami sekitar tahun 1902 hingga kini. Kedatangan mereka ini sepertinya membawa toleransi kebersamaan yang luar biasa, sehingga banyak orang Papua yang berusaha berteman dengan mereka dengan baik, menghampiri dengan penuh kasih dan kelemah-lembutan dengan sebutan populer “Mas” dan “Mba”.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Berdasarkan kelemah-lembutan dan pengalaman itu, saat tiba di Malang Java Timur, kami sangat tersenyum sebagai sama-sama pemilik Indonesia. Kami jalan satu hari satu malam di dalam bus, dan dengan senang hati dan rasa bangga berada di Ibu Kota negara kami dan tiba dengan baik di terminal Lebak Bulus Jakarta Selatan. Namun di saat itu mulai kami temui hal-hal yang baru. Dimana, kami baru melangkah sekitar 5 meter dari Bus, sekitar 3 orang pengemis datang minta sepeser uang koin. Wah saya kaget, karena setahu kami di Papua, semua orang Java hidup berkecukupan dan melebihi orang Papua, tetapi sebagai sama-sama pemilik Indonesia dengan bangga dan sosial yang tinggi kami beri seribu rupiah walau yang pengemis ini harapkan adalah koin seratus rupiah.

Pemberian yang berlebihan ini karena budaya orang Papua yang menekankan Cinta Kasih, kemudian kami diajar dobel lagi di Gereja tentang belas kasihan dan penuh kasih kepada sesama. Padahal bahasa dari orang yang marah bisa katakan bahwa pemberian kepada para pengemis ini bisa saja pemberian upeti tambahan dari sekian banyak orang Java yang telah kami tampung dengan penuh kasih dan makan berkecukupan dan tenang dan damai, sehingga mereka tidak mau pulang ke daerah mereka dari negeri kami. Bahkan sebagian mereka tidak mau disebut orang Java dan menyebut mereka orang Papua walau rambut lurus, kulit sawo matang.

Saat itu karena kami harus ke Repoa Jakarta Selatan, kami naik angkot (di Papua kami sebut taxi, tidak tahu di Amerika), namun di sepanjang jalan, kota penuh dengan sampah dan debu, tidak seperti di tanah kami Papua yang indah dan udara segar. Setiap persimpangan jalan ada pengemis, dan kami temui juga pemulung, bahkan biaya hidup tinggi, sehingga kami ke Bandung. Walau awalnya kami pikir bisa kuliah di Jakarta biar sedikit bisa bertahan hidup dengan bau masakan dari Istana Negara, karena Indonesia negeri kami. Namun pikiran menipu kita.

Bandung adalah kotanya orang Sunda. Orang Sunda tidak mau disebut orang Java, walau kami orang Papua menyebut mereka semua orang Java karena pulau mereka adalah Pulau Java.

Dalam perjalan kami ke Bandung terlihat sama, mereka sepertinya menjemput kedatangan kami dengan senyum dan ramah. Dalam hati kami bangga karena seakan kami dijemput dan diterima secara luar biasa. Namun masih ada juga pengemis yang datang minta uang kion. Sebagai orang Papua yang baru datang dengan tingkat sosial yang tinggi, ada belas kasihan melihat mereka yang lemah ini, sehingga saya berikan uang lima ribu rupiah sebagai amal iman saya terhadap ajaran Kristen yang lama telah mengajarkan saya tentang cinta kasih.

Sekitar 4 tahun kami kuliah dan mulai berbaur dalam tradisi hidup mereka. Beberapa anak mahasiswa terbunuh dikeroyok massa hanya karena beda pendapat dan tingkah laku serta pengertian. Bahkan kami sudah mulai menemukan apa yang disebut banyak orang dengan diskriminasi rasis yang sangat terselubung dalam diri mereka.

Penemuan terhadap diskriminasi rasis terselubung ini, kami hubungkan dengan pembunuhan-pembunuhan anak-anak mahasiwa Papua di jalan dan situasi awal kami saat datang dari kota Malang ke Jakarta dan Bandung. Saat itu baru terbukti, dimana jemputan dengan senyum di awal kedatangan kita itu bukan sebagai jemputan kebersamaan dan kelemah-lembutan. Melainkan mereka sedang menyindir kita dengan gaya dan cara mereka, seakan kami manusia yang tidak mengerti dan bodoh. Padahal di Papua kami tidak pernah membuat demikian kepada mereka. Dimana mereka minta tanah, kami berikan. Tanah kami, mereka yang jual beli, demikian juga mengambil kayu, ikan di rawa dan laut serta danau, termasuk kerja di birokrasi pemerintahan.

Tanpa membandingkan itu kami terus berbaur dengan mereka, dan kami semakin tahu bahwa nada dan gaya gerak-gerik yang mereka buat di depan kami adalah nada suara Monyet, dan gaya anjing bahkan gaya binatang lain dan terlihat banyak yang menutup hidung mereka karena mereka menganggap tubuh kami bau, dan menganggap kami warga kelas dua yang tidak tahu apa-apa. Padahal bila kita bandingkan, sebenarnya kwalitas orang Java dan Papua sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Dimana orang Java, keunggulannya setia dan tabah. Sedangkan kelebihan orang Papua, jujur, penuh kasih dan pemaaf.

Awalnya di Jakarta kami mencari rumah kost, dan ada, tapi pemilik kost menaikan harga dari biaya sebenarnya. Mungkin karena mereka beranggapan bahwa orang Papua itu banyak uang, padahal tidak juga. Bahkan ada kamar kost yang kosong dan belum terisi, tetapi mereka katakan tempatnya penuh, padahal di depan kost itu mereka tempel papan iklan dengan kalimat “Menerima Kost”. Hahahaee…. lucu ya! Mungkin karena mereka kaget melihat tampang orang Papua yang hitam, keriting, muka agak kusam. Kondisi ini sama halnya di kota lain di Pulau Java seperti di Yogyakarta, Semarang dan Surabaya, setelah kami diskusi tentang diskriminasi rasis yang terjadi kepada teman-teman kami yang belajar di kota-kota ini.

Hingga kini masih ada dan terjadi. Buktinya kasus kemarin di Yogyakarta.

***

Suatu waktu di tahun 1995, sekelompok sopir Taxi Blue Bird (bukan taksi seperti yang di Papua) bersama seribuan warga menyerang Asrama Kamasan II yang terletak di Jl. Cilaki No. 59 Bandung. Mereka menyerang asrama tanpa bertanya dan bicara penyebab masalah. Saat itu, kamar depan asrama terbakar karena dilempar bom molotov.

Sambil menyerang dan membakar, mereka berterik:”Hei Monyet keluar dan pulang ke daerahmu” (ucapan ini sama dengan yang terjadi di Yogyakarta, 14-16/7/2016). Mereka teriak lagi: “Hei Hideng (Hitam dalam bahasa Sunda), keluar pulang ke daerahmu”.

Saat itu ada yang bicara dalam bahasa Sunda, Java dan Indonesia. Mahasiswa Papua tak tahu penyebab penyerangan ini. Mereka pukul rata, semua orang Papua pengacau di daerah mereka. Menekan keras tanpa ampun, tanpa beritahukan penyebab masalah karena semua orang Papua dianggap warga kelas dua tidak bermoral dan etika, tidak punya harga diri, harus tunduk di bawah kaki mereka. Padahal orang Papua merasa dia juga diciptakan Tuhan sama dengan mereka, walau kulitnya hitam. Tindakan demikian telah membuat banyak anak Papua mengetahui sifat sesungguhnya dari negara yang didominasi orang Java ini.

Satu cerita lagi di Stadion Siliwangi Bandung. Saat Timnas PSSI datang bertanding dengan Persib Bandung. Di Timnas ada bek sentral, Aples Tecuari asal Genyem Jayapura yang berambut keriting dan hitam. Pada pertengahan main, orang meneriakinya: “Hitamhitam”. Teriakan berulang kali.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Ketika Aples menghalau bola dan menghadang pemain lawan, suporter meneriakinya dengan yel-yel: “Monyet, Monyet”. Teriak berulang kali di belakang beberapa mahasiswa Papua yang datang nonton laga uji coba ini di stadion. Mendengar itu, seorang mahasiswa terganggu dengan ucapan tadi. Ia meminta suporter yang meneriaki Aples Tecuari itu diam sambil mendekati. Tetapi terus mereka teriak, bahkan lempar pisang ke lapangan. Mereka emosi dan teriak: “Tukang Makan Manusia”. Begitu mereka teriak ini, mahasiswa Papua merasa didiskriminasi dan Ferry menampar salah seorang suporter Persib. Dan, terjadi saling serang antara beberapa mahasiswa dan suporter Persib di tribun timur Stadion Siliwangi. Tak ada penyelesaian saat itu karena mahasiswa Papua mundur pulang ketakutan diserang orang Java dari Sunda.

Kasus lain, terjadi diskriminasi rasial terhadap anak-anak. Awalnya ada berita di koran Pikiran Rakyat Bandung, bahwa ada serombongan anak berusia 6-10 tahun sekitar 100 anak dijual di sekitar Kabupaten Garut dan Ciamis untuk dijadikan Muslim.

Saat itu sebagai mahasiwa dan warga Papua yang mayoritas Kristen, kami diskusi untuk menyikapinya. Hasil dari itu, kami bentuk tim dan bila ada, nanti dilapor ke Pengurus Ikatan Mahasiswa Papua Bandung (waktu itu IMIJA). Sementara isu ini lagi panas, dua anak kecil kulit hitam, rambut keriting datang dengan menangis ke Asrama Mahasiswa Kamasan II Bandung. Langsung anak-anak Papua di asrama menghampiri mereka dan bertanya kepada kedua anak (Kelas 3 dan 4 SD). “Kamu dua dari mana?”

Kedua anak ini menceritakan bahwa mereka lari dari Asrama tempat orang tuanya titip mereka karena mereka disebut Monyet oleh ibu dan bapak pembina yang merawat mereka. Kemudian ibu ini tidak mau memandikan dan menyuap mereka dengan alasan mereka dua bau dan dipukul setiap hari, kata kedua anak ini.

Mahasiswa setelah menerima informasi itu, pergi di tempat dimana kedua anak ini dititip dan tinggal. Di depan ibu dan bapak orang Java yang merawat mereka, kedua anak ini katakan: “Ibu ini yang katakan “Kami dua Monyet”, dan bapak ini yang bilang “Kami dua orang Papua bau dan tukang makan manusia”. Katanya bapak pembina ini katakan: “Makan nasi ini biar jangan makan manusia”, menurut kedua anak ini sambil menunjuk kedua pembina. Semua mahasiswa Papua marah saat itu. Suatu penghinaan yang luar biasa. Padahal bila kita lihat tampang dan gerak gerik para pembina asrama itu, terlihat mereka lemah-lembut penuh belas kasihan. Bila bicara penuh pengendalian diri.

Mulai hari itu, semua mahasiswa Papua semakin yakin bahwa, orang Java ternyata membuat lemah-lembut diri mereka dengan mereka sedang membawa benih diskriminasi rasis yang meluap-luap. Mereka berusaha mengendalikan diri mereka dengan menutupi semua kejelakan dan kejahatan mereka. Banyak orang Barat (kulit putih) tertipu dengan kelemah-lembutan mereka, sehingga sering mereka menyebut mereka dengan manusia lemah-lembut. Padahal banyak kekurangannya. Dimana mereka masih menyebut bangsa lain warga kelas dua, tutup mata terhadap penindasan negara dengan menguatkan posisi penindasan.

***

Suatu waktu di pos ronda malam. Kami karena ingin berbaur dengan orang Java, kami ikut ronda, selain kami warga RT itu. Saat kami sama-sama ronda di malam hari, warga bertanya kepada saya. Dari Papua (waktu itu masih Irian Jaya) ke sini pakai apa? Saya bilang pakai pesawat. Mendengar itu, mereka katakan orang Papua banyak uang ya, sehingga bisa naik pesawat.

Pertanyaan lain, dari Papua ke sini pakai Pasport ya? Saya bilang tidak, hanya bayar tiket. Saya bingung saat itu, karena saya pikir selama ini orang Java tahu bahwa Papua sudah dicaplok Indonesia jadi milik mereka dan mereka tinggal dekat dengan Ibukota Negara.

Tetapi, ternyata mereka memang tidak tahu. Terlihat setiap hari mayoritas dari mereka hanya berbicara bahasa daerah mereka. Beda dengan kita di Papua yang selalu pakai Bahasa Indonesia. Bahkan mereka buta terhadap Peta Indonesia. Kami pikir mungkin karena kesibukan hidup mereka mencari sesuap nasi. Mereka sepertinya tidak tahu dengan keberadaan bangsa Indonesia karena sibuk untuk sepiring nasi.

Kalau kami ukur pakai naluri manusia terlihat orang Java lebih bodoh dari orang Papua. Walau mereka mempunyai sifat pekerja keras dan tabah sebagai keunggulan mereka.

Bahkan nasionalisme orang Papua luar biasa terhadap Indonesia karena mahir berbahasa Indonesia, mengerti Pancasila, UUD 45, GBHN bahkan lagu-lagu nasional yang merdu dan menyentuh hati bila dinyanyikan. Bagaimana dengan mereka? Ya, mengerti Politik,Sosial, Hukum, dan sebagainya, tetapi dalam bentuk teori-teori saja. Praktiknya?

Wajar saja bila Papua saat ini menjadi barometer segala-galanya bagi Indonesia. Baik barometer Demokrasi, Hak Asazi Manusia, Politik dan Penegakkan Hukum walau masih juga belum sepenuhnnya dilaksanakan oleh praktisi “Republik Aneh” ini. Wah aneh lagi, “Jangan ngacau kau lae,” kata orangnya Pak Luhut Binsar Pandjaitan, Bapak Menteri Terhormat yang mengusir orang Papua ke Pasifik.

“Enak saja lae! Harta lae banyak itu, bagilah sama pengemis di pinggir rumahmu. Jangan main usir dong, negeri ini milik sekian ribu suku, kalau gitu ndak usah berbangsa aja, biar ndak ada pemaksaan Lae.” Maaf, hanya humor saja.

***

Sebuah kisah lagi di Yogyakarta. Suatu waktu seorang Papua (mahasiswa) namanya Elly naik angkot (di Papua, Amerika, Inggris sebut Taxi, tidak tahu di China sebut apa? hahahae) dengan tujuan pergi ke kampus. Di pertengahan jalan ada beberapa orang Java juga naik dan duduk dalam angkot di sebelah mahasiswa yang berambut keriting berwarna kulit hitam ini. Setelah duduk di sebelahnya, sekitar 10 menit, orang Java ini melihat dia berwarna kulit hitam, orang yang tadinya duduk disamping mahasiswa, pindah ke tempat duduk sebelahnya. Begitu juga dengan yang lain sampai tiga orang penumpang berbuat demikian. Bahkan sambil saling memandang antar sesama mereka, mereka menutup hidung mereka di depan mahasiswa ini hingga mahasiwa Papua tadi turun di kampusnya.

Dengan kejadian itu baru mahasiswa Papua ini sadar: ada diskriminasi rasis terhadap dirinya, oleh orang Java selama ini yang terselubung. Mungkin Elly pakai parfum Monyet, hahaheee… lucu ya!.

Di waktu berikutnya, saat kami beberapa anak Papua berdiri cerita di pinggir kampus, beberapa mahasiswa Java lewat dengan membuat suara Monyet serta membuat gerakan Monyet meminta makan. Saya sama sekali tidak menyadari bahwa gerakan dan suara yang mereka buat itu memberi isyarat kepada teman-temannya bahwa kami yang berdiri dan lagi cerita ini adalah keturunan Monyet.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Mendengar itu, ada teman kami orang Fak-Fak yang bernama Ramadan Sabuku beragama Islam yang sejak kecil tinggal di Bandung, memberitahukan kepada kami bahwa gerakan yang mereka buat itu sindiran kepada kami bahwa “Kami Monyet”.

Setelah saya pulang, saya renungkan gerakan Monyet yang dibuat anak-anak Java dan Sunda tadi. Lalu beberapa minggu kemudian saya ditanya oleh seorang teman saya dengan pertanyaan: apakah di Papua ada Monyet? Saya bilang tidak ada. Yang ada hanya burung Cenderawasih, Mambruk, Buaya, burung Kakatua, dan sebagainya.

Karena sering terus mendengar mereka menyebut kata Monyet kepada kami orang Papua, saya berusaha menemukan alasan penyebutan kata Monyet ini. Pertama, Monyet buat orang Papua hanya mengetahui lewat gambar, sedangkan satwanya tidak ada di tanah kami. Lalu sebutan ini datang dari mana, apakah orang Papua turunan Monyet?

Saya berusaha menemukan jawabannya dengat mengingat kembali materi pelajaran di SMP YPPK Santo Mikhel Merauke saat itu, dimana ibu guru Sejarah Agnes (orang Java) mengajar kami tentang temuan Eguine Dubois di Trinil, Nganjuk Java yang menemukan fosil Manusia Kera Java yang berjalan tegak (Homo Soloensis, Phithecantropus Paleo Javanicus). Kemudian dalam pelajaran bahasa Indonesia, guru kami dari Maluku Tenggara, Drs. A.B Rettob mengajar kami batas penyebaran Ras Melayu dan Ras Melanesia, perbedaan dan persamaan kedua ras ini yang menurutnya kedua ras ini sebenarnya tidak bisa bersama karena terlalu banyak perbedaan yang bisa saja menimbulkan masalah-masalah besar di kemudian hari, menurut analisanya.

Dengan kedua pelajaran itu, belakangan saya baru menemukan jawabannya, bahwa sebutan Monyet buat orang Papua lahir karena Warna Kulit Orang Papua yang hitam dan badan ada yang sebagian berbulu dan rambutnya keriting; berbeda dengan Ras Melayu yang rambut panjang/lolong kulit sawo matang. Sehingga mereka menganggapnya Monyet dengan melupakan sejarah mereka sendiri. Bahkan diskriminasi rasis ini juga terlihat terjadi karena benturan atas beberapa perbedaan menurut pelajaran bahasa Indonesia tadi. Sehingga tidak menemukan harapan ideal dari Ras Melayu, sehingga menganggap ras Melanesia sebagai turunan Monyet setingkat binatang. Maaf ini kesimpulan sementara, sehingga coba para peneliti dapat meneliti penyebab diskriminasi rasis ini, sehingga kita mencari solusi terhadap pengabaian terhadap nilai manusia yang sederajat ini.

Dengan penemuan ini, kami berkesimpulan bahwa sebutan Monyet ini lahir dari tingginya diskriminasi rasis yang terpendam dalam diri orang Java sendiri dan rasa percaya diri mereka yang menganggap bangsa lain di luar mereka adalah warga kelas “kete” yang tidak berharga dan harus tunduk kepada mereka tanpa alternatif lain. Padahal banyak dari mereka yang kawin campur dengan “kete” ini. Terus anak hasil perkawinan antara “kete” Papua dan Java disebut apa: apakah Simpanse? Mungkin bagian ini harus dijawab oleh kelompok reaksioner dan TNI Polisi yang meneriaki Mahasiswa Papua Monyet.

Mereka selalu berharap agar semua orang yang hidup di dekat mereka harus berpikiran sama seperti mereka, sehingga nampaknya ada pemaksaan dalam komunitas mereka sendiri untuk mencapai harapan atau ideal. Sehingga bisa saja kita katakan, mayoritas orang Java sama sekali tidak mengerti demokrasi dan ke-bhinneka-an yang Founding Father mereka letakan buat negara mereka yang dibangun atas beberapa bangsa ini. Karena mereka tidak mengerti ke-bhinneka-an yang sejalan dengan Demokrasi dan Hak Azasi Manusia, maka sedang terjadi pemaksaan, sehingga pada akhirnya mereka sebenarnya belum siap untuk berbangsa. Bangsa menurut mereka adalah budaya, kebiasaan dan adat istiadat Java penuh perasaan, dan kaum yang berbeda warna kulit dan yang lemah harus takluk kepada mereka yang mengaku kuat, dan jelas nampak ada pemaksaan untuk mencapai harapan mereka. Ini mungkin lanjutan dari pikiran mereka yang dipengaruhi oleh pengaruh gen kerajaan yang saling taklukan satu sama lainnya di masa lalu.

Kemudian mereka selalu beranggapan untuk memperoleh kekuatan, harus percaya takayul melalui meditasi dan bertapa di goa dan gunung. Sehingga bangsa ini dibangun di luar pikiran rasional. Dampaknya, mereka dominan menggunakan perasaan “monggomonggo” membagi kekuasaan di republik yang diklaim mempunyai ke-bhinneka-an ini selama 50 tahun, hanya dengan menjadi pengabdi, bukan menggunakan ukuran kwalitas diri yang rasional.

Buktinya sudah menjalani 100 tahun bangsa Indonesia, orang Java mendominasi Indonesia dekat dengan kekuasan seakan negara ini warisan leluhur mereka yaitu Phithecantropus Javanicus (maaf saya ungkit kembali sejarah) karena terlanjur dianggap maju dan dekat dengan sentral kekuasaan. Mereka dengan kebijakan imaginasi halus menguasai Sumatera, Kalimantan dan Papua dengan transmigrasi mayoritas orang miskin yang bila subsidi pemerintah buat mereka berhenti, menjual anak istri di tempat prostitusi dan tenaga kerja harga murah sambil menjual diri untuk sepiring nasi sampai ke Timur Tengah.

Mereka berusaha menguasai Indonesia demi menyebar diskriminasi rasis dengan mereka menyingkirkan suku-suku pemilik ulayat dengan alasan pembangunan. Militer dikuasai dan dipakai untuk menguatkan posisi diskriminasi dan rasis. Begitu juga pemerintah dan hukum dipakai sebagai alat menguasai dari kaum ini.

Mengaku diri mereka lemah-lembut, padahal dalam diri mereka menyala api haus darah dan kekuasaan. Mereka tidak menghargai demokrasi dan keberagaman hidup. Sayang banyak orang pintar Sumatera dibeli dan dipakai sebagai alat untuk melindungi kebohongan mereka dan setelah dipakai disingkirkan. Begitu juga Kalimantan dijadikan tempat sampah Sawit untuk perut mereka. Sulawesi juga demikian, mereka dijadikan saudagarnya negeri ini untuk menjaga stabilitas ekonomi negeri penuh korupsi ini.

Mereka dibeli dengan kata nasionalisme Indonesia yang dalam implementasinya penuh KKN, sehingga kepintarannya digadai dan menjadi budak para pengguna budaya lemah lembut, etika dan psikologi serta bahasa dan moral kamuplase. Demikian juga orang Maluku dan Timor.

Mari kami menyikapi diskriminasi, kebebasan menyampaikan pendapat melalui nilai-nilai demokrasi yang universal di negeri ini dengan menjaga kelompok lemah-lembut “kabualan” yang lagi menindas kebebasan manusia dengan diskriminasi rasis yang terjadi dengan berkaca pada pengepungan Asrama Mahasiswa Yogyakarta 14-16 Juli 2016 oleh kelompok Ormas reaksioner bersama Polri/TNI.

Penulis adalah pemerhati masalah sosial di Papua. Tinggal di bumi Amungsa.

 

Artikel sebelumnyaPGRI: Jangan Ada Perpeloncoan dalam Penerimaan Murid Baru
Artikel berikutnyaDewan Adat Intan Jaya Minta Perusahaan Hargai Pemilik Tanah Adat