“Gedung Ukumherarik”, Data dan Fakta Sejarah Yang Akurat

4
5083

Oleh: Pastor Frans H. M. Lieshout, OFM

Akhir-akhir ini makin banyak orang di Kabupaten Jayawijaya, Papua, menulis tentang sejarah kabupaten, distrik, gereja atau tentang riwayat hidup orang-orang tertentu. Jumlah tulisan mengenai sejarah makin bertambah banyak, dan hal itu patut didukung dan dihargai.

Sejarah yang benar adalah sejarah berdasarkan data dan fakta yang obyektif dan akurat.

Namun tidak sedikit penulis sejarah dipengaruhi oleh unsur-unsur subyektif atau mereka menulis untuk melayani suatu kepentingan, entah itu kepentingan pribadi, atau kepentingan politik, agama, gereja, suku dan lain sebagainya.

Kita sudah mempunyai suatu contoh yang jelas menyangkut hari lahirnya kota Wamena, yang secara resmi ditetapkan pada tanggal 10 Desember 1959 dan tiap tahun dirayakan pada tanggal tesebut, sehingga kota Wamena dinyatakan telah lahir di Hitigima.

ads

Tetapi, anak-cucu kita akan menertawakan kita karenanya.

Satu peristiwa di masa lalu adalah Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada bulan September 1969.

Kiranya kita semua sudah cukup mengetahui bahwa “Act of free choice” itu direkayasa menjadi “Act free of choice”.

Di Lembah Balim waktu itu sejumlah kepala suku dikumpulkan di Wamena untuk membuat suatu pernyataan yang isinya belum sungguh dimengerti oleh mereka. Sebagai salah satu saksi sejarah, saya tahu bagaimana pemerintah pada tahun-tahun 1960-an berupaya untuk menenangkan hati masyarakat dan khususnya kepala-kepala suku besar yang paling berpengaruh di masyarakat. Mereka diundang ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno dan untuk melihat Ibukota Jakarta. Namun mereka belum mengerti masalah-masalah politik dan belum mengerti arti dari istilah NKRI.

Baca Juga:  PT Eya Aviation Indonesia Layani Penerbangan Subsidi Wamena-Tolikara

Kepala-kepala suku besar yang waktu itu paling terkenal adalah antara lain Bpk. Kurelu Mabel, Bpk. Ukumherarik Asso, Bpk. Silo Doga, Bpk. Ikilueak Itlay, dan lain-lain. Silo Doga bahkan diberikan nama Soekarno Silo Doga.

Pada bulan September 1969, Pemerintah Kabupaten Jayawijaya telah meresmikan ‘Taman Pepera’ di tengah kota Wamena. Di situ tidak disebutkan nama tokoh-tokoh di balik suksesnya pelaksanaan Pepera.

Pada akhir tahun 1980-an, Bupati Wenas mendirikan di taman tersebut sebuah patung dari kepala suku Bpk. Kurelu Mabel, namun tanpa menyebutnya sebagai tokoh khusus Pepera.

Gedung Pertemuan besar di kota Wamena yang dibangun oleh Bupati John Wempi Wetipo dan diresmikan pada tahun 2013, diberikan nama “Ukumherarik”. Dalam acara peresmian gedung tersebut tidak diberikan alasan mengapa gedung itu diberi nama Bpk. Ukumherarik dan beliau juga tidak disebut sebagai salah satu tokoh di balik suksesnya pelaksanaan Pepera di Wamena.

Bertepatan dengan acara peresmian terminal baru Bandar Udara Wamena pada tanggal 10 Desember 2015, pihak Kementerian Perhubungan RI telah menerbitkan sebuah buku berjudul: “Sejarah Bandar Udara Wamena”. Di dalam buku itu (halaman 30 dan 31) Bupati John Wempi Wetipo menyatakan, bahwa kepala suku Ukumherarik Asso merupakan salah satu tokoh di balik suksesnya pelaksanaan Pepera di Wamena; dan di situ dikutip perkataan Bupati: “Beliau bersama tiga kepala suku lainnya yaitu Wenehule Hubi, Wikiruwe Kosai dan Ikilueak Itlay yang memprakarsai Papua Barat bergabung dengan Indonesia. Mereka orang pertama dari Pegunungan Tengah Papua yang menghadap Presiden Soekarno dan menyatakan Papua Barat bergabung dengan NKRI. Oleh sebab itu, di lokasi Pepera itu, kini dibangun Gedung Ukumhearik Asso”.

Baca Juga:  Pleno Kabupaten Yahukimo Dibatalkan KPU Provinsi Karena Masih Bermasalah

Penulis artikel ini merasa heran karena pernyataan tersebut di atas terkesan sebagai suatu berita yang baru muncul pada tahun 2015 ini.

Penulis artikel ini tidak mempunyai data yang pasti mengenai itu, namun menganggap penting sekali bahwa masyarakat Jayawijaya mengetahui siapa-siapa yang termasuk tokoh-tokoh Pepera agar tidak setiap kepala suku yang meninggal dunia harus disebut dan diberikan penghargaan sebagai tokoh Pepera.

Untuk itu, diperlukan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan berikut:

  1. Mana sumbernya yang membuktikan kebenaran pernyataan Bpk. Bupati John Wempi Wetipo? Sumber itu perlu disimpan dengan baik dalam arsip Kabupaten Jayawijaya sebagai bukti dan referensi bagi generasi-generasi di depan.
  2. Kalau empat kepala suku disebut sebagai tokoh Pepera, mengapa hanya nama Bpk. Ukumherarik yang diberikan kepada gedung pertemuan?
  3. Mengapa kisah mengenai Pepera dan peranan khusus empat kepala suku tersebut baru muncul dalam buku “Sejarah Bandar Udara Wamena” pada tanggal 10 Desember 2015?
  4. Apakah Pemerintah Kabupaten Jayawijaya pada saat peresmian ‘Taman Pepera’ di Wamena bulan September 1969 tidak mengetahui bahwa empat kepala suku yang nama-nama disebut dalam pernyataan Bupati Wetipo itu merupakan tokoh-tokoh di balik suksesnya pelaksanaan Pepera?
  5. Apa sebabnya Bupati Wenas menempatkan patung kepala suku Kurelu Mabel di Taman Pepera?
  6. Mengapa nama kepala-kepala suku yang lain seperti Bpk. Kurelu Mabel dan Silo Soekarno Doga tidak disebut dalam berita mengenai Pepera? Setahu saya, mereka bertemu dengan presiden Soekarno sama-sama dengan Bpk. Ukumherarik.
Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

Demikianlah reaksi spontan dengan beberapa pertanyaan dari saya setelah membaca buku “Sejarah Bandar Udara Wamena”, dengan maksud supaya tulisan mengenai tokoh-tokoh Pepera di Wamena mendapat kekuatan dan kredibilitas berdasarkan data dan fakta yang akurat.

Wamena, 10 Juni 2016

Penulis bertugas di Papua sejak April 1963 sebagai pastor gereja Katolik di Lembah Balim. Sekarang telah pensiun dan tinggal di Wamena sebagai sejarahwan dan budayawan.

Artikel sebelumnyaHampir 120 Hari Ditahan, Steven Itlay Belum Disidangkan
Artikel berikutnyaAnggota IPPM Mee Labeja Ramaikan Lomba Pidato