Mendorong Rekonsiliasi di Timika

0
2330

Oleh: John NR Gobai

Pengantar

Di bawah tahun 1996, tidak pernah terdengar kabar adanya konflik sesama orang Papua, apalagi orang gunung di Mimika. Mungkin yang ada hanya kekerasan negara terhadap rakyat, sejak tahun 1977dan juga perlawanan masyarakat asli terhadap PT. Freeport Indonesia sejak tahun 1974. Namun sejak PTFI mengucurkan dana 1 persen, Timika menjadi kota yang “Tiap Minggu Kacau” dan “Minggu Minggu Kacau”. Konflik yang terjadi macam-macam motifnya, yang tahu hanya kepala perangnya dan aktor intelektualnya.

Konflik ini menurut saya belum diselesaikan secara strategis dan menyeluruh serta menggali akar masalahnya, tetapi penyelesaiannya hanya kasuistik, sehingga sekarang yang mendesak adalah menggali akar masalah utamanya: apakah masalah adat, tanah, dana, pekerjaan, atau masalah apa?

Masyarakat merasa tidak aman dan pasti ada yang merasa prihatin akibat adanya pembunuhan antar sesama orang Papua di Timika. Semua pihak perlu catat dengan tinta emas dan diingat baik-baik, bahwa suku apapun di Tanah Papua kita adalah orang Papua. Kita saudara harus bersatu, bukan malah sebaliknya. Apalagi masyarakat suku-suku di Pegunungan, nenek moyangnya, semua berasal dari satu tempat yang sama di sebuah tempat di ujung timur Tanah Papua, yang Suku Mee sebut Pupupapa, Suku Moni sebut Mbububaba.

ads

Kebiasaan Jelek

Perang atau konflik selalu membawa suasana tidak aman, tidak damai, orang tidak dapat beraktivitas bebas, perekonomian lumpuh dan lain sebagainya.

Perlu disadari bahwa ada kebiasaan perang yang jelek dalam orang gunung. Kebiasaan ini harus ditinggalkan.

Sebagai seorang dari pegunungan Papua yang sedikit paham kebiasaan perang orang gunung yang jika dalam perang ada korban, maka kedua belah pihak akan selalu berusaha mencapai keseimbangan jumlah korban.

Dalam berperang juga akan ada pihak-pihak yang akan membantu salah satu pihak dalam berperang, ada juga pihak-pihak yang menyediakan logistik untuk orang berperang, dan ada juga pihak yang menjadi sponsor perang.

Ada saat mereka lakukan gencatan panah untuk pergi ke gereja, ada pihak yang tidak terkait dengan masalah dapat saja menjadi korban, ada tempat yang ditentukan untuk berperang, sehingga menjadi film gratis bagi pihak lain. Kadang kala juga menjadi akal-akalan hanya untuk mendapatkan kulit bia atau “kigi indo” dalam bahasa Moni.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Ini kebiasaan perang orang gunung yang harus saya katakan jelek, yang sudah saatnya ditinggalkan dan dilupakan oleh kita semua. Percuma kita ke gereja banyak-banyak, sekian ratus kali masuk gereja jika tidak ada damai di hati, masih ada dendaman di hati. Hal yang penting dipikirkan hari ini adalah bagaimana menahan diri untuk tidak dendam, tidak saling membalas, saling memaafkan dan membangun sebuah rekonsiliasi bersama secara jujur dan bijaksana yang berasal dari relung hati yang paling dalam.

Pembiaran Pembunuhan

Sangat lain dalam berbagai konflik di Timika, karena adanya pembiaran yang lama terhadap warga negara NKRI saling membunuh. Ada apa sebenarnya, orang tega saling membunuh? Ingat, mengambil nyawa haknya Tuhan. Dosa bagi orang yang menyuruh melakukan dan membantu makanan bagi mereka yang berperang. Sebab, mengambil kembali nyawa manusia itu haknya Tuhan. Dosa juga bagi mereka yang membiarkan orang saling membunuh, padahal tugas mendamaikan dan menertibkan adalah amanah dari Tuhan kepada TNI/Polri. Tidak ada adat yang mengajarkan orang saling Perang dan Membunuh!.

Dalam kekerasan yang telah mengarah kepada pembunuhan, di Timika, perlu dilakukan, mungkin akan aman, apabila Kapolda dan Pangdam Papua untuk menangkap Kepala Perang, dan masyarakat juga mesti mendukung langkah pihak keamanan, kemudian pihak keamanan jangan melakukan pembiaran. Karena penegakan hukum positif saat ini wajib dilakukan agar ada wibawa negara di sana.

Siapapun yang menjadi otak atau membantu perang serta membawa logistik bagi orang yang perang haruslah diamankan, mesti dicari juga tokoh yang bisa didengar oleh kedua belah pihak, semakin dibiarkan konflik akan meluas dan jika kepala perang atau pelaku dibiarkan, maka akan membuat pihak korban akan terus menaruh dendam dan menjadi emosi tingkat dewa jika dihukum seberat beratnya, maka saya yakin akan ada efek jera bagi yang lain.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Rekonsiliasi Menuju Perdamaian

Gubernur atau Bupati Mimika perlu membentuk Tim Rekonsiliasi untuk selesaikan konflik di Mimika, yang dipimpin bersama oleh pihak Pemprov, Gereja dan Adat untuk menyelesaikan konflik dalam rangka mencari akar permasalahan utama di Timika. Untuk itu, perlu dilakukan sebuah Pertemuan Rekonsiliasi yang melibatkan semua pihak antara lain; DPRP, MRP, para Bupati, Uskup Timika, Sinode GKIP, Ketua Sinode Baptis, GIDI, Ketua Dewan Adat Papua, LEMASA, LEMASKO, para Kepala Suku dari kabupaten di Pegunungan, para Kepala Suku-suku Pegunungan, Tokoh Pemuda, Tokoh Perempuan, Aktivis, AMPTPI, oknum yang diduga sering menjadi Kepala Perang dari semua Suku-suku Pegunungan di Timika. PTFI dan Kontraktor, Kapolda dan Pangdam sebagai peninjau.

Hal yang dibicarakan adalah pertemuan ini mesti menggali dari masyarakat apa sesungguhnya masalah yang dirasakan dan diinginkan oleh masyarakat Pegunungan yang ada di Timika. Biarkan mereka bicara dari hati ke hati dengan prinsip kami semua datang dari satu tempat yang sama. Jika masalahnya tanah, maka harus dibicarakan baik dengan masyarakat pemilik tanah dengan membuat sebuah akta perjanjian yang mesti disepakati dan dijaga bersama pelaksanaanya dengan sikap saling mengakui dan menghormati. Bisa dengan pemilik dan penggarap.

Jika masalahnya dana dari PTFI, maka perlu dibicarakan dengan PTFI agar ada terobosan baru yang berpihak dan dana yang merata antar suku-suku dan daerah di Pegunungan.

Jika masalahnya adalah proyek, maka mesti dibicarakan dengan pihak Pemda dan PTFI, sehingga tidak memunculkan kecemburuan sosial antar satu suku dengan suku lainnya.

Jika masalahnya adalah adat, maka harus disepakati untuk adat yang merugikan dan mengorbankan orang lain ditinggalkan dan didorong adanya peradilan adat di Mimika sebagai peradilan perdamaian.

Pelaksanaan rekonsiliasi mesti dilakukan beberapa hari agar semua mengeluarkan semua yang dipikirkan dan dirasakan, sehingga orang merasa puas dan legah telah menyampaikan masalahnya.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Dalam pelaksanaan ini awalnya semua pihak yang hadir dari para pejabat baik pemerintah, agama dan tokoh adat dari daerah, selain Mimika, mesti duduk hanya untuk mendengarkan saja, setelah semua pihak di Timika menyelesaikan penyampaian barulah para pejabat menyampaikan alternatif-alternatifnya, kemudian dilemparkan kembali kepada masyarakat Mimika untuk memberi pendapat, setelah itu dibuat konsensus bersama dan ditandatangani, sebuah akta perdamaian yang berisi hak, kewajiban dan larangan serta badan yang memantau pelaksanaannya.

Isi akta itu antara lain: semua pihak tandatangan pernyataan tidak lagi akan lakukan pembunuhan dan tidak akan selesaikan secara adat di kemudian hari. Jika ada masalah akan diserahkan kepada hukum positif, dihukum penjara, dengan pasal berlapis.

Akhir dari acara itu dibuat sebuah ritual adat “patah panah”, sebagai tanda tidak akan berperang lagi yang dilanjutkan dengan Ibadah Gabungan untuk rekonsiliasi.

Ingat, kita ini semua saudara, semua orang Papua yang hidup dan berkembang di atas tanah ini.

Sebagian dari hasil itu dijadikan sebagai sebuah Perda Kabupaten Mimika. Kemudian dibentuk sebuah wadah rekonsiliasi yang memantau dan secara rutin terus melakukan koordinasi dan komunikasi dan menyelesaikan masalah antar suku-suku di Mimika agar terus menjaga kedamaian dan mengawal kesepakatan damai, melalui wadah ini dan gereja juga terus melakukan penyadaran lewat ibadah-ibadah dan kotbah-kotbah.

Penutup

Damai di surga diciptakan oleh Tuhan. Damai di bumi diusahakan dan diciptakan oleh usaha manusia. Nah, agar ada kedamaian di atas bumi ini, mari kita mendorong sebuah upaya rekonsiliasi.

“Alangkah bahagianya hidup rukun dan damai di dalam persaudaraan bagai minyak yang harum”, untuk itu pertemuan rekonsiliasi di Mimika penting untuk segera dilakukan dan menghasilkan sebuah akta perdamaian yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat.

Penulis adalah Sekretaris II Dewan Adat Papua

Artikel sebelumnyaYus Wenda Dituntut Satu Tahun Penjara, Gustaf Kawer: Itu Berat Bagi Tersangka
Artikel berikutnyaKehadiran Aparat Keamanan Membuat Resah Penonton IPMANAPANDODE Cup