Mengakhiri Rasisme Indonesia Terhadap Papua

9
4769

Oleh: Benny Mawel

Kabar buruk “Pembedaan Warna” yang namanya rasisme itu datang dalam ruang dan waktu. Ia muncul dalam ruang kehidupan masyarakat Indonesia yang bhineka tunggal ika juga (katanya) yang berdemokrasi.

Ormas pembela Negara bersama kepolisian Republik Indonesia mengepung Asrama mahasiswa Papua di Yogjakata pada 14 Juli 2016.

Kejadiannya pembedaannya begini. Pengepung melontarkan kata-kata hingga tindakan fisik atas dasar ‘pembedaan’ atau pembelaan keutuhan negara. Pembedaan antara Jawa dan Papua. Antara Melanesia dan Melayu. Antara NKRI harga mati dan pembangkang. Antara yang berkuasa dan tidak berkuasa.

Penguasa Yogyakarta, Sri Sultan HB X mendukung pembedaan itu. Sultan mengatakan tidak ada tempat bagi pembangkang di Yogjakarta. “Yogya sudah final jadi republik, saya minta teman sebangsa, saudara, jangan punya aspirasi separatis,” kepada media.

ads

Pembedaan itu membuat orang Papua marah. Anggota DPRP, gubernur Papua Lukas Enembe dan sejumlah bupati datang ke Yogjakarta. Mereka mau berbicara dengan mahasiswa dan Sultan Yogjakarta. Ketika Gubernur Papua datang, Mahasiswa Papua sudah mempunyai tiga tuntutan;

Pertama, meminta Sultan mencabut ucapannya soal separatis dan menjamin keamanan mahasiswa Papua di Yogya dan tanah Jawa. Kedua, menuntut ormas reaksioner di Yogya meminta maaf atas pernyataan rasisnya. Ketiga, membuka ruang demokrasi seutuhnya di Yogya dan seluruh Indonesia. Mahasiswa menyampaikan ini kepada gubernur Papua untuk disampaikan ke Sultan Yogja.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

“Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi, kami mahasiswa Papua di Yogya dan seluruh tanah Jawa, serta Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi siap eksodus,” kata pengurus Biro Politik Aliansi Mahasiswa Papua, Roy Karoba, di Yogya kepada media beberapa waktu lalu.

Ketika bertemu Sultan, Enembe tidak mendapatkan kepastian. Sultan hanya menjamin keamanan mahasiswa Papua yang tidak berpolitik. Sultan tidak menginginkan mahasiswa yang berpolitik berada di Yogja. Lukas Enembe berencana mengadukan masalah ini ke presiden.

Kalau Lukas mengadu, kita belum tahu jawaban Jokowi. Jokowi akan mendesak Sultan klarifikasi soal pembedaan atau mendiamkannya. Sekalipun presiden, apakah Jokowi yang merupakan orang luar kesultanan bisa mendesak sultan mencabut pernyataannya? Entalah!

Rasisme Terhadap Papua Bukan Baru

Apapun soal, kalau mahasiswa Papua exodus, kita harus memahami kepulangan mahasiswa bukan karena penolakan sultan. Penolakan sultan itu hanyalah momen puncak dari pergumulan orang Papua atas rasisme Indonesia.

Rasisme Indonesia terhadap orang Papua dimulai saat Indonesia berdebat dengan orang Papua tentang status Politik Tanah Papua. Ali Mortopi, nasionalis Indonesia membedakan orang Papua dengan berkata begini:

“Kalau orang Papua ingin merdeka, silahkan cari Pulau lain di Pasific untuk Merdeka. Atau meminta orang Amerika untuk menyediakan tempat di bulan untuk orang-orang Papua menempati di sana,”ungkap murtopo.

Baca Juga:  Saatnya OAP Keluar Dari Perbudakan Dosa dan Tirani Penjajahan Menuju Tanah Suci Papua

Ungkapan serupa muncul dalam tahun 2016, sebelum peristiwa Yogja. Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia Luhur Binsar Panjaitan membedakannya begini: “Ya pergi saja mereka (orang Papua) ke MSG sana, jangan tinggal di Indonesia lagi,”sebagai repon terhadap pendirian Kantor UnitesLiberation Movement for West Papua (ULMWP) di Wamena, kantor pegendalian gerakan kemerdekaan Papua di wilayah Pasific.

Soalnya, apakah Indonesia bisa tulus menerima kepergian orang Papua ke Melanesia? Siapa yang lebih sabar menerima kenyataan?

Orang Papua sudah sabar menerima pembedaan itu. Orang Papua sudah sabar menghadapi pembunuhan atas pembedaan dengan kekerasan fisik. Orang Papua masih mengikuti kehendak yang mebedakan dengan sopan dan satun. Orang Papua dengan sopan mendatanggi pegadilan. Orang Papua dengan sabar menerima putusan penjarah atas tuduhan tida adil.

Kasus terkini. Orang Papua dengan sopan mendatanggi sultan Yogjakarta. Orang Papua datang mau berbicara karena menghormati kesultanan Yogjakarta. Kesabaran itu tidak dihargai. Kesabaran ditolak.

Apakah orang Papua masih sabar. Kalau masih sabar, mahasiswa Papua akan menerima pembedaan kemarin bagian dari proses pembelajaran. Sikap sabar macam ini memang proses pembelajaran penting bagi para pelaku pembedaan maupun alat pembedaan dalam penyelesaiaan masalah pembedaan itu sendiri tetapi sangat buruk juga kalau sabar terlalu lama. Pembunuhan penghabisan atas dasar pembedaan terus berjalan.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Apakah penghabisan harus terjadi atas nama sabar itu subur??? Apakah kesabaran orang Papua akan memberikan jaminan kehidupan yang lebih baik dalam pemerintahan Indonesia?

Positif Negatif Rasisme Indonesia

Exodus mahasiswa Papua akibat rasisme itu bisa berujung baik dan buruk, tergantung kepentingan dan penanganan. Exodus bisa membangkitkan solidaritas orang Papua tetapi memperparah isu rasisme di Indonesia. Bahkan bisa menjadi awal perpecahan atau awal runtuhnya slogan Bhineka Tunggal Ika.

Eksodus bisa mengakhiri cerita pembedaan di Pulau Jawa tetapi buruk bagi 4 sampai 5 generasi pembangunan Sumber Daya Manusia Papua. Mahasiswa yang berjumlah 7000 orang itu harus memutuskan hak menempuh pendidikannya demi mengahiri cerita buruk itu.

Solusi atas masalah ini. Pertama, Pemerintah harus berfikir bijak. Pemerintah Indonesia dari pusat hingga daerah di Indonesia mesti berfikir daerah yang mau menerima mahasiswa Papua. Kedua, pemerintah daerah Papua memperbaiki kualitas pendidikan di Papua supaya tidak ada lagi yang pergi keluar daerah untuk kuliah.

Ketiga, pemerintah harus mewujudkan kerja sama di bidang pendidikan dengan Negara-negara pacific, terutama Negara-negara Melanesia yang sudah ada kerja sama dengan Indonesia. Misalnya, Anak Papua bisa saja diizinkan kuliah ke Universitas South Pacific (USP) yang berada di Fiji atau yang paling dekat ke Universitas PNG.

Penulis adalah wartawan di Koran Jubi dan www.tabloidjubi.com

Artikel sebelumnyaLaurenzus Kadepa: Perjanjian New York Penuh Kebohongan
Artikel berikutnyaTebai – Kotouki Paslon Bupati Jalur Perseorang Mendaftar ke KPU Dogiyai