Terbentuknya Kelas Menengah (Baru) Papua: Sebuah Catatan Awal (Bagian 2)

0
2348

Oleh: I Ngurah Suryawan 

Pada bagian pertama, saya telah mencoba untuk meletakkan pondasi tentang terbentuknya kelas menengah Papua yang lahir, salah satunya karena demam pemekaran daerah. Ruang kekuasaan yang hadir melalui pemekaran daerah, telah menciptakan kue-kue kekuasaan yang dengan “bebas” bisa diakses oleh berbagai pihak.

Salah satu akses kekuasaan tersebut adalah pada jabatan politik dan “proyek-proyek” ekonomi bagi pembangunan daerah-daerah pemekaran. Di tengah pentas kekuasaan itulah lahir orang-orang Papua, maupun orang luar Papua yang memanfaatkan situasi dengan menjalin relasi dengan “orang-orang penting” di pusaran kekuasaan. Pada bagian ini, saya akan memfokuskan diskusi tentang lahirnya orang-orang kuat lokal dan struktur kekuasaan yang membentuknya.

 

Orang-orang Kuat     

ads

Terbentuknya “orang-orang kuat” yang memiliki kuasa dan pengaruh di Tanah Papua, tidak bisa dilepaskan dari restrukturisasi (penyusunan/konsolidasi kembali) kekuasaan Orde Baru, pasca bergabungnya (integrasi/aneksasi?) Papua ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam rentang waktu tahun 1970-2000-an, telah terjadi konsolidasi kekuasaan yang dilakukan oleh negara dengan introduksi birokrasi pemerintahan dan pola berpikir “pembangunanisme”—dimana stabilitas keamanan menjadi harga mati, untuk terlaksananya program-program negara di seluruh Tanah Papua.

Di tengah situasi itulah terlahir kelompok-kelompok elit Papua di pemerintahan yang membawa pengaruh besar terhadap kelompok elit di tengah masyarakat Papua sendiri. Klasifikasi dari Mansoeben (1994) tentang Sistem Politik Tradisonal di Irian Jaya— yang menyebutkan tipe kepemimpinan terdiri dari pria berwibawa, tipe kepemimpinan raja, tipe kepemimpinan kepala suku atau kepala klen, dan sistem pemerintahan adat dengan tipe kepemimpinan campuran—tentunya mengalami perubahan dan kondisi yang semakin rumit seiring pengaruh-pengaruh modernitas yang terjadi di tengah masyarakat Papua.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Basis pengaruh dan kekuasaan bagi sistem kepemimpinan tradisional, yang salah satunya diungkapkan oleh Mansoeben, diantaranya adalah penguasaan kepada jaringan relasi (hubungan) yang terbangun di tengah masyarakat secara sederhana. Dimana terdapat sejumlah nilai, norma dan aturan yang bersumber dari kebudayaan setempat.

Di tengah relasi inilah para pemimpin lokal bertugas mengatur keseharian hidup dari masyarakat setempat, dengan berbagai modal-modal yang telah mereka miliki, seperti modal sosial (sebagai pria berwibawa yang mempunyai banyak babi, tanah, dan lainnya), budaya (pewaris dari keturunan raja, kepala suku atau klen). Dengan memiliki kelebihan modal sosial dan budaya, ditambah dengan modal materi, para pemimpin lokal Papua ini kemudian mentautkan (menghubungkan) dirinya dengan dunia global dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan dan sudah tentunya dengan berbagai kepentingan.

Nah, fragmentasi (keterpecahan) justru terjadi di tengah situasi perubahan sosial yang menerjang Papua. Mengidentifikasi dan membaca dinamika “orang-orang kuat” lokal menjadi begitu sumir. Namun dampaknya terasa jelas dalam setiap praktik-praktik pembangunan dan kekuasaan di Tanah Papua. Kembali kepada perspektif tradisional tentang kepemimpinan, seperti yang diungkapkan Mansoeben (1994) beresiko gagal untuk menangkap kompleksitas dan dinamika yang dipentaskan para orang kuat lokal ini yang terus-menerus bergerak. Namun yang pasti, lahirnya orang-orang kuat lokal Papua, mencerminkan berhasilnya pengaruh Negara Indonesia dalam memfasilitasi berbagai peluang-peluang tempat hidup dan berkembangnya para orang-orang kuat lokal ini.

Salah satu sumber kehidupan orang lokal ini adalah di sumber-sumber daya di pemerintahan, yang justru dikelola oleh negara itu sendiri, dan kongsi-kongsi (persekutuan) dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Kedua sumber daya ini menjadi lahan hidup para orang-orang kuat lokal yang melakukan kontrol dan penguasaan terhadap sumber daya tersebut.  Dan menciptakan jaringan-jaringan di tengah birokrasi pemerintahan dan korporasi perusahaan multinasional.

Baca Juga:  23 Tahun Otsus, Orang Asli Papua Termarginalkan

Bekerjanya orang–orang kuat lokal ini juga menyasar (dan menggunakan) modal budaya dan sosial tradisional yang dimiliki oleh pria berwibawa, raja, kepala suku, dan kepala klan. Namun, satu hal cerdas yang dilakukannya adalah mengapapropriasi (meminjam atau mengambil alih untuk kepentingan sendiri) modal sosial dan budaya tradisional untuk “dimanfaatkan” demi berbagai kepentingan.

Hal ini biasanya sering kita lihat ketika investasi global dalam wujud perusahaan-perusahaan masuk ke kampung-kampung. Pada saat inilah jaringan orang-orang kuat lokal di pemerintahan dan masyarakat lokal tempat rencana investasi tersebut berlangsung memainkan pengaruhnya untuk kepentingannya sendiri.

Dalam perbincangan yang lebih luas, orang kuat lokal dalam bahasa Migdal (dalam Sidel, 2005: 73) berhasil melakukan “kontrol sosial” yang efektif pada negara-negara dunia ketiga yang sedang berkembang. Orang-orang kuat lokal ini berhasil menempatkan diri, atau menaruh anggota keluarga mereka pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber-sumber daya, berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri, ketimbang menurut aturan-aturan yang dilontarkan dalam retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan peraturan perundang-undangan yang dibuat di ibukota atau oleh pelaksana peraturan yang kuat.

Bos (orang kuat) lokal, meskipun terkesan menjadi “penghambat” lajunya pemerintahan, tapi sesungguhnya bertindak sebagai pelayan pertumbuhan ekonomi, memfasilitasi pengalihan tanah dan penindasan buruh, serta memungut keuntungan sangat besar sebagai pialang lahan dan sektor bangunan. Para mafia lokal di Indonesia juga mengawasi industri di kota-kota besar dan penggalian sumber daya alam kehutanan dan pertambangan yang berlimpah di seluruh nusantara.

Baca Juga:  Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

“Orang kuat lokal” yang sering diremehkan sebagai musuh pembangunan, akhirnya lebih tampak sebagai agen terdepan perkembangan kapitalis yang tidak diakui (Sidel, 2005: 102).

Para orang kuat lokal inilah yang sebenarnya menjadi pemain dibelakang layar dari berjalannya proses pembangunan dan pemekaran daerah di Tanah Papua. Kelahirannya para orang kuat lokal ini sebagai kelompok elit Papua, tidak bisa dilepaskan dari kehadiran beragam bentuk struktur-struktur atau pun sistem-sistem yang pada intinya bertujuan untuk mengkoloni (baca: menjajah) Tanah Papua.

Beragam struktur dan sistem tersebut, lambat laun menciptakan kelompok masyarakat yang sangat dekat dan mempunyai akses yang mudah kepada kelompok-kelompok kekuasaan maupun akses kepada modal ekonomi baru (kuasa investasi global). Selain itu, struktur pemerintahan, birokrasi, pendidikan, dan kelompok swasta lainnya merupakan sistem yang menciptakan kelompok-kelompok kelas menengah baru dalam masyarakat. Kelompok-kelompok inilah yang berada pada struktur masyarakat kelas atas yang mempunyai kekuatan modal untuk berkongsi dengan negara (baca: pemerintahan dan apatururnya) dan membentuk jaringan kapital dan kekuasaan.

Untuk bagian pertama dari artikel ini, dapat anda aca di Terbentuknya Kelas Menengah (Baru) Papua: Sebuah Catatan Awal (Bagian 1)

Penulis adalah Staf pendidik/dosen Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat

Artikel sebelumnyaIndonesia Perlu Bangun Dialog dengan ULMWP
Artikel berikutnyaMelawan Lupa, 15 Agustus WPNA Akan Aksi Damai