Terbentuknya Kelas Menengah (Baru) Papua: Sebuah Catatan Awal (Bagin 3 – Habis)

2
2989

Oleh: I Ngurah Suryawan

Pada bagian kedua, saya telah mencoba untuk mendiskusikan tentang terbentuknya orang-orang kuat lokal yang memanfaatkan situasi, untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari peluang pemekaran daerah. Gerak langkah dari para orang kuat lokal ini mendapatkan tempatnya, karena habitus yang mereka ciptakan dan kondisikan untuk mendukung aktivitas mereka. Pada bagian ini, saya akan mendalami bagaimana konsep dari habitus itu ada dan berkembang dalam dinamika kekuasaan lokal dan terbentuknya kelas menengah baru, di tanah Papua secara umum.

Habitus dan Kelas Menengah Baru      

Dalam konteks yang terjadi di Tanah Papua, bertumbuh kembangnya struktur kekuasaan yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia hingga kini terasa kuat mencengkram kebebasan masyarakat dalam berekspresi, sekaligus mempengaruhi pola berpikir masyarakat. Masyarakat Papua sebagai pelaku sosial, sangat terpengaruh dengan rangkaian sistem-sistem dan struktur dari  pemerintahan, bahkan berusaha memanfaatkan peluang-peluang yang disediakan oleh sistem dan struktur tersebut untuk mengambil keuntungan pribadi atau kelompok etniknya.

Dalam konteks inilah memahami kelahiran kelompok elit dalam kelas menengah baru di Papua, tidak cukup hanya melihat sistem dan struktur yang membentuknya, atau peranan dari agen-agen dalam masyarakat saja.

ads

Argumentasi lainnya melihat bahwa, terjadi dialektika antara pelaku dan sistem. Struktur-struktur sosial hanya bisa diciptakan, dilanggengkan, dan diubah oleh pelaku-pelaku sosial; sebaliknya, pelaku sosial kendati dikatakan bebas, dikondisikan oleh struktur-struktur tersebut.

Nah, dalam konteks itu, bagaimana memahami lahirnya kelompok elit sebagai kelas menengah baru di Papua yang terjadi marak belakangan ini? Mereka inilah kelompok kelas menengah yang menghabiskan waktunya dengan “berkoordinasi” berminggu-minggu di Jakarta atau menanam investasinya di beberapa perumaham mewah di Pulau Jawa. Struktur dan sistem apa yang membentuk mereka? Bagaimana memahami para kelompok kelas menengah baru Papua ini?

Kehadiran kelompok masyarakat elit kelas menengah baru di Papua, tidak terlepas dari  relasi (hubungan) yang tercipta antara pelaku (manusia sendiri) dengan lingkungannya yang berlangsung lama dan berubah-ubah. Dari proses hubungan itulah, tercipta struktur subjektif yang yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif (struktur/sistem) yang ada dalam ruang sosial” (Takwin dalam Harker, et al, 2005: xvii).

Baca Juga:  Papua Sedang Diproses Jadi Hamba-Nya Untuk Siapkan Jalan Tuhan

Pierre Bourdieu (1930-2002) adalah sosiolog Prancis yang memperkenalkan konsep habitus untuk menjebatani perdebatan tentang analisis struktur dan agensi dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di tengah masyarakat.

Habitus bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran kultural, yakni pengaruh sejarah yang secara tak sadar dianggap alamiah. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Jelas habitus bukan kodrat, bukan bawaan alamiah yang melengkapi manusia, baik secara psikologis maupun biologis.

Habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran itu terjadi secara halus, tak disadari dan tampil sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi oleh alam atau “sudah ada dari sananya” (Takwin dalam Harker, et al, 2005: xviii-xix). Habitus adalah kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realitas sekaligus penghasil praktik-praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur-struktur objektif.

Kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan. Habitus menjadi dasar kepribadian individu. Pembentukan dan berfungsinya habitus seperti lingkaran yang tidak diketahui ujung pangkalnya: di satu sisi, sangat memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku dan di lain sisi modalitas praktiknya mengandalkan pada improvisasi, dan bukan pada kepatuhan pada aturan-aturan(Haryatmoko, 2003: 10).

Salah satu yang membentuk habitus elit Papua adalah “panggung-panggung” yang disediakan oleh Negara, yaitu dalam bentuk introduksi (birokrasi) pemerintahan yang membentuk kelas menengah Papua yang terdiri dari para pejabat dan barisan aparat birokrasi pemerintahan. Introduksi agama-agama samawi yang masuk ke Papua, juga menghasilkan para elit agama dengan tujuan “memberadabkan” bangsa Papua. Para elit birokrasi juga (seolah-olah) mempunyai tujuan untuk melayani rakyat Papua dalam menjalankan pembangunan dan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Belum lagi masuknya investasi dalam bentuk perusahaan-perusahaan multinasionasional dalam wujud perusahaan-perusahaan yang merambah kampung-kampung dan mengeruk kekayaan alam di Tanah Papua.

Di tengah struktur-struktur sosial itulah terbentuk para elit Papua yang menikmati keuntungan struktur agama, ekonomi, dan politik tersebut. Mereka membentuk dirinya “lepas” dari akar rakyat Papua kebanyakan dan menjadi kelompok masyarakat kelas menengah yang selalu dipertanyakan komitmennya bagi gerakan perubahan sosial di Tanah Papua.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Salah satu habitus yang merubah—dan juga merumitkan—secara drastis kebudayaan dan identitas bangsa Papua adalah hadirnya pembangunan dengan mimpi kemajuaan dan (sekali lagi) memberadabkan rakyat Papua. Namun situasi yang terjadi justru sebaliknya. Mengutip Walter Benjamin (1892-1940) yang mengkritik pendangan masyarakat modern bahwa kemajuan dan peradaban modern itu menjanjikan kebahagian masa depan.

Dalam konteks Papua, ideologi dan kebijakan pembangunan di atas kertas menjanjikan masa depan yang wah. Tetapi dalam  kenyataannya di lapangan, ia berubah wajah menjadi ideology yang membenarkan perampasan tanah, pengusiran warga masyarakat, “peternakan” OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), pembunuhan, penghancuran identitas dan masa depan bangsa Papua. Benjamin pesimis terhadap kebudayaan modern yang memacu manusia untuk mengejar pengusaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan penemuan-penemuan baru di segala bidang kehidupan manusia untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan. Karena bagi Benjamin, usaha menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi ini hanya mitos dan janji utopis masa depan yang tidak seluruhnya benar.

Karena obsesi terhadap kemajuan tidak saja merusak hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan sosial, tetapi juga mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Lebih tragis lagi pengejaran terhadap kemajuan itu membawa kehancuran dan pemusnahan bagi pihak lain dan bagi kemanusiaan itu sendiri (Giay, 2006:22).

Kesimpulan

Di tengah demam pemekaran ini, apakah rakyat Papua bisa mengembangkan identitas-identitas budayanya yang lebih inklusif? Fenomena pemekaran secara gamblang memaparkan bagaimana lokalitas kekuasaan begitu nyata terjadi. Pembagian wilayah-wilayah berdasarkan alasan etnik bahkan kekerabatan tidak terhindarkan. Nah, di tengah situasi pemekaran seperti ini, apakah pemakaran daerah memungkinkan bagi orang Papua untuk mengembangkan identitas-identitas baru yang lebih inklusif bukan ekslusif berbasis etnik atau bahkan marga tertentu.

Memikirkan untuk mengembalikan Papua ke titik asli budaya-budaya etnik di tengah interkoneksi global akan “mengkolonisasi” Papua menjadi wilayah eksotik, steril, dan tanpa sejarah. Padahal budaya Papua seharusnya dinamik dan menyejarah dan tidak terisolasi dari perkembangan dunia. Tapi, apakah pemekaran memungkinkan untuk lahirnya apresiasi terhadap pembahruan-pembaharuan kebudayaan yang melampaui etnik-etnik?Itulah letak persoalan dan tantangannya.

Baca Juga:  Saatnya OAP Keluar Dari Perbudakan Dosa dan Tirani Penjajahan Menuju Tanah Suci Papua

Pemekaran daerah adalah ruang dimana terjadi friksi (persentuhan) antara kebudayaan etnik dan introduksi kebudayaan luar. Dalam merespon friksi inilah orang Papua ditantang untuk berpikir dan mengembangkan pemikirannya untuk melahirkan kreatifitas-kreatifitas baru yang memungkinkan rakyat Papua memperoleh akses, ruang, dan ekspresi guna selalu memperbaharui identitas dan kebudayaannya.

Tantangan pemekaran daearah adalah melawan pemikiran untuk mengembalikan identitas dan kebudayaan Papua ke titik asali tempo dulu. Ruang-ruang interkoneksi yang terjadi pada pemekaran inilah sebenarnya kesempatan rakyat Papua untuk memikirkan identitas dan kebudayaannya yang baru, yang akan terus bergerak dinamis, menyejarah.

Pemekaran daerah juga menjadi salah satu struktur social yang menciptakan para kelas menengah baru ini. Lewat struktur-struktur social dalam pemekaran daerah itulah—dan tentunya masih banyak lagi yang lainnya—habitus kelas menengah Papua terbentuk. Mereka “membantinkan” dan menyatukan dirinya terhadap lingkungan-lingkungan sosial yang tanpa sadar membentuk cara berpikir dan berperilaku.

Habitus kelas menengah Papua memunculkan para elit lokal yang justru “merampok” kedaulatan rakyat Papua untuk merubah diri dan lingkungan Papua ke arah yang lebih baik. Kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh para elit Papua, “pencurian” harkat dan martabat rakyat Papua dalam berbagai kasus-kasus perampokan sumber daya alam, penipuan melalui program-program pembangunan yang (katanya) mensejahterakan rakyat secara gambling menggambarkan bagaimana habitus kelas menengah, telah menciptkan kelompok para elit yang telah merampok kedaulatan rakyat Papua sendiri untuk “memimpin diri mereka sendiri dalam gerakan pembebasan (perubahan) sosial di Tanah Papua”.

Di sanalah identitas Papua itu terus-menerus akan dipikirkan, dikonstruksi, dan diperdebatkan. Dengan demikian Papua menjadi hidup dan spirit yang akan terus menyala bagi generasi-generasi berikutnya di tanah yang diberkati ini.

Manokwari, Juli 2016

Penulis adalah Staf pendidik/dosen Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat

Artikel sebelumnya50-an Aktivis KNPB yang Ditangkap Sudah Dibebaskan
Artikel berikutnyaKedudukan Orang Papua dalam Perjanjian New York