HUT RI Ke-71 di Papua dalam Lensa NKRI

1
3120

Oleh: Alfonsa  Jumkon Wayap

Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 identik dengan berbagai lomba-lomba mulai dari tingkat kampung hingga ke Kota. Selain itu,di sepanang jalan menjelang tanggal 17 Agustus semua pekerja dikerahkan untuk mengecet ulang tembok tembok jalan.

Umbul-umbul simbol kemerihan di tengah kebobrokan bangsa yang hanya mementingkan euforia semata.

Di usianya yang ke-71. Sebuah refleksi makna dari sebuah kemerdekaan yang sesungguhnya. Merdeka secara pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebebasan berekpresi, kebebasan berpolitik dan lainya. Di usianya yang ke-71, mungkin bagi bangsa Indonesia, usia yang matang untuk mandiri.

Bagi bangsa Papua, sejak berintegrasi, masuk dalam lensa sebuah negara Kesatuan Republik Indonesia pada 1969-2016, terhitung 53 tahun, Indonesia belum juga mampu melihat kebutuhan mendasar rakyat Papua. Selalu saja, menjadikan Papua ‘kelinci percobaan” dengan dalil, Papua masih jauh dari ketertinggalan Papua harus dibangun dan lainnya.

ads

Berbagai program setingan yang digelontorkan dengan wacana mengejar ketertinggalan Papua dari aspek infrastruktur jalan dan pembangunan, aspek kesehatan, aspek pendidikan, aspek ekonomi.

Dari mana Papua harus dibangun? Konsep apa yang digunakan untuk membangun Papua? Di mana letak nilai-nilai dan kerifan loka Papua sebagai bangsa Melanesia ? Dan mengapa di tahun yang ke-71 Papua masih jauh dari harapan Kesejahteraan yang digaungkan Republik ini?

Dalam rekfleski ini, penulis fokus pada isu pendidikan dan kesehatan di Papua. Bertumpu pada realita pendidikan yang terjadi  di hampir se-antero di negeri  ini (Papua), mulai dari pelosok pedalaman, pesisir hingga di tengah  Kota Jayapura  masih dapat kita temui anak-anak yang belum bisa membaca dan menulis.

Menurut hasil kajian EGRA (Early Grade Reading Assessment) atau kajian kemampuan baca Kelas Awal pada Juni 2014 (Majalah Lani) yang dilakukan di 400 sekolah dan 4.800 siswa kelas 2 SD secara acak, di 4 kawasan Indonesia, menunjukan kondisi wilayah Maluku, Nusa Tenggara dan Papua relatif masih jauh dari harapan dibanding kawasan lain seperti Kalimantan-Sulawesi, Jawa-Bali dan Sumatera.

Kondisi Papua dengan aksesibilitas lebih rendah, memungkinkan untuk tercapainya hasil EGRA jauh di bawah rata-rata di kawasan ini. Apapun alasannya, ini salah satu potret  dunia pendidikan di Papua. Kenyataan ini berlangsung dari presiden ke presiden.

 Semua aturan yang diulur dari Jakarta ke Papua. Terkesan memaksakan anak-anak di Papua mengikuti kurikulum versi Jakarta.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Setiap kebijakan pendidikan selayaknya didahului dengan evaluasi dan penijauan yang matang. Indonesia memiliki konteks dan karateristik yang majemuk. Papua salah satunya.

Sangat disayangkan, Kurikulum 2013 yang berujung pada tidak terpakai. Menteri ganti menteri, juga diikuiti dengan pergantian kurikulum baru. Pendidikan seperti ini, nanti yang dibilang trajelas (tidak jelas).

Papua dijadikan kelinci percobaan. Muncul kemirisan, ketika bangsa Indonesia memasuki usiannya yang ke-71, masih saja melihat Papua dari Lensa Indonesia Barat-(Jakarta). Papua jauh dari ketertinggalan pendidikan.Kekurangan guru adalah masalah kursial.

Salah satu faktor rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IMP) Papua adalah masih rendahnya Angka Melek Huruf(AMH). Dari data yang penulis himpun (Majalah Lani Edisi April, 2015) tercat data tahun 2007-2012 dari Dinas Pendidikan Provinsi Papua menujukan pertumbuhan pencapaian komponen Angka Melek Huruf sangat lambat sebesar 0,42 % dalam 5 tahun. Belum ada data terbaru.

Angka melek huruf Papua masih rendah, masalah Papua masih saja bergelut dengan masalah klasik, tingginya angka buta huruf.

Ketersediaan faslititas, tenaga guru yang belum memadai. Dampak yang bisa dilihat adalah rendahnya produktivitas tenaga kerja. Perlunya distribusi guru yang merata.

Pengalaman penulis ketika berada di Korowai, SD Inpres Mabul, Korowai, Kabupaten Yahukimo. Di sana, guru dan kepala Sekolah tinggal di kota, saat akan ujian, baru datang bagi soal, ujian, selesai kembali ke Kota. Bangunan Sekolah SD-nya dijadikan kandang Kambing.

Contoh lainya, di SD YPPK St. Michael, Kampung Hepuba, Distrik Assolokobal, Kabupaten Jayawijaya. Beberapa guru, diangkat menjadi  kepala Distrik.

Lantas bagaimana dengan pendidikan? Itu baru sebagian kecil, masih banyak sekolah-sekolah yang penulis liput yang juga mengalami kekurangan tenaga guru, kekurangan fasilitas misalnya, SD YPPK St. Matius Yiwika (Jayawijaya), SD Perbatasan RI-PNG di Kampung Mosso, Distrik Muara Tami, lantaran kekurangan guru, dibantu tentara. Dan masih banyak lagi sekolah-sekolah yang kekurangan guru, fasilitas dan lainnya.

Di Mamberamo Tengah, Kobakma, semua guru sibuk dengan 17 Agustus, banyak dana yang dikucurkan, sementara proses belajar mengajar terhenti, hanya karena euforia sesaat.

Berangkat dari pengalaman penulis sebagai Jurnalis yang fokus menulis aspek pendidikan.Padahal kebutuhan mendasar orang Papua adalah mengenyam pendidikan. Namun sayang, semua harapan itu jauh dari harapan dan cita-cita bangsa Indonesia.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Seutas seragam merah, putih melekat pada anak-anak Papua adalah lambang bendera Indonesia. Carut marut pendidikan di daerah pedalaman hingga perkotaan, sungguh miris. Pendidikan yang maju dan berkualitas dan berdaya saing, tidak melulu ditentukan berdasarkan besaran dana yang digelontorkan untuk pendidikan di Papua.

Sama saja. Biaya pendidikan  di tengah otonomi khusus Papua, dengan gaung pendidikan gratis. Di mana gratis? Sebagian besar orangtua murid-siswa mengeluh atas kebijakan sekolah yang mematok biaya pendidikan hingga berbunyi jutaan rupiah. Bagaimana dengan mereka yang berpenghasilan lemah? Jangan sampai di tahun-tahun mendatang pendidikan di Papua hanya milik kaum elit. Tidak ada tempat kaum bagi rakyat lemah.

Penulis  berpikir bahwa tak ada jalan lain untuk keluar dari “keterpurukan pengetahuan” hanya  dengan  bersekolah, kita dapat mengubah kehidupan menjadi lebih baik.  Pendidikan  merupakan landasan dasar untuk membangun kesadaran  dalam  berpikir  kritis dan kreatif. Belajar untuk hidup.

Bagi penulis, pendidikan  merupakan landasan dasar untuk membangun sebuah kesadaran  dalam  berpikir  kritis dan kreatif. “Pengalaman  penulis melakukan peliputan di beberapa daerah di pedalaman Papua. Yang ditemui, adalah banyak anak belum bisa mengecap pendidikan.

Itulah perjalanan kemerdekaan Republik Indonesia yang berada dalam bayang-bayang wacana.  Elias Wonda, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayan Provinsi Papua ketika diwawancarai penulis mengatakan, “memang banyak dana digelontorkan ke setiap sekolah, dana BOS, 17 Miliar lebih persekolah”.

Menurut hemat penulis  yang mesti ditingkatkan adalah kualitas guru-guru.Guru menjadi ikon utama untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu.

Aspek kesehatan. Idealnya, jika kita sehat, otak kita sehat bisa berpikir kreatif, kita dapat belajar di sekolah dengan baik. Jangankan pendidikan, kesehatan rakyat Papua saja, jauh dari harapan. Contoh kasus, data dari Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS) per 1 Januari 2014, menyebutkan, jumlah rakyat Papua tercatat 3,1 juta jiwa. Tapi,  jumlah orang asli Papua tidak sampai 3 juta.

BPJS yang merupakan kelanjutan dari Jaminan Kesehatan Masyarakat,Akses Sosial,Jamsostek,Asabri).

Bertolak dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 110 Tahun 2012,seluruh rakyat Papua dan Papua Barat yang berekonimi lemah, menjadi peserta Jamkesmas. Namun, harapan ini belum sepenuhnya tercapai. Alhasil, pasien yang tidak memiliki kartu peserta dari program-program di atas harus merogoh kocek sendiri.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Pertanyaanya dan protes pun timbul. Orang Papua mempertanyakan “janji” negara untuk menjamin kesehatan warganya?

Pasien harus bayar sendiri. Jadi, kesimpulannya masih banyak rakyat Papua yang belum terdata sebagai peserta program. Sebuah dilema bagi pemerintah Provinsi Papua. Lantas, muncul kesan rakyat Papua diterlantarkan.

Padahal dana BPJS di tahun 2014, untuk Papua Rp 620 miliar, namun baru terpakai Rp 320 miliar. Artinya,14 atau 90 persennya belum dimanfaatkan untuk kepentingan kesehatan rakyat Papua. Akibatnya dana tersebut beralih ke Provinsi lain.

Sesui kajian pemerintah daerah, sebelum 2019, semua rakyat Papua menajdi peserta BPJS. Karena belum bisa mandiri secara ekonomi, jelas tidak mungkin membayar premi sendiri.

Sedangkan dalam peraturan Gubernur Papua nomor 6 tahun 2014 menjamin seluruh rakyat Papua yang terdata oleh BPJS. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, pasal 37 ayat 2, menyebutkan; rakyat Papua yang tidak mendapatkan jaminan kesehatan nasional, menjadi tanggungan pemerintah daerah(via dana otonomi khusus).

Menarik benang merah sebuah gagasan sang pendirian negara bangsa (nation state) Indonesia 71 tahun yang lalu tentu punya maksud khusus bagi semua warga negara Indonesia.
Tujuan negara RI dalam UUD 1945 sangatlah jelas, menjaga seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia. Tujuan negara RI harus tercapai dengan baik sebagai amanat agung UUD 1945.

Sejatinya tujuan Indonesia merdeka adalah agar lepas dari segala bentuk penjajahan Belanda. Apa yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa ini (the founding fathers) tentu ingin mewujudkan sebuah komunitas masyarakat yang sejahtera dan bahagia disusunlah sebuah amanat agung konstitusi yang bernama UUD 1945.

Tetapi kemerdekaan yang seungguhnya adalah merdeka dari pendidikan, merdeka dari kebebasan berekpresi, kemerdekaan secara  ekonimi, bebas menyarakan hak politik, yang sudah dijamin dalam Undang-undag tahun 1956.

Jangan hanya menjadikan bangsa Papua sebagai objek proyek belaka. Jika memang rakyat Papua adalah bagian dari Republik Indonesia, mengapa di tahun ke-71 ini, masih saja ada kekerasan, ketidak adilan, pembungkaman hak bersuara, demonstrasi. Masih saja ada anggapan rasis, separatis terhadap Orang Papua.

Di mana keadilan dan rasa aman yang diberikan  untuk rakyat Papua dari Republik Indonesia ?

Penulis adalah Jurnalis dan juga relawan  Gerakan Papua Mengajar.

 

Artikel sebelumnyaKemenangan Tim Rugby Fiji di Olimpiade Brasil Adalah Kemenangan Masyarakat Pasifik
Artikel berikutnyaDilema Peran Dewan Adat Papua