Musa Mako Tabuni, ketua I KNPB Pusat yang ditembak mati oleh militer Indonesia di perumnas III Jayapura, empat tahun lalu. (Oktovianus Pogau - SP)
adv
loading...

Oleh: Benny Mawel

“Hanya satu kataaaa…. Lawan, Lawan dan Lawan.” Teriak Mako Tabuni sambil mengacungkan tangan kiri, tangan kanannya genggam erat mic di atas  mobil komando (Pick Up hitam) itu.

“Kita tidak boleh kalah, menyerah dan percaya terhadap tipu daya penjajah. Berhenti, berhenti dan berhenti percaya terhadap Jakarta,” tegasnya disambut aplaus.

Begitulah Mako Tabuni, ketua I Komite Nasional Papua Barat (KNPB) berorasi di hadapan ribuan demonstran damai di lingkaran Abepura, kota Jayapura, pada 2 April 2011 silam.

Selang waktu pasca orasi itu hanya setahun. Pada 2012, Polda Papua memasukan Mako Tabuni  ke dalam Daftar Pencaharian Orang (DPO) gelap. Atas tuduhan yang tidak pernah dibuktikan hingga hari, tepatnya pada 14 Juni 2012, pasukan khusus Polda Papua menembak mati Mako Tabuni. Penembakan saat kunyah pinang terakhirnya di pinggiran jalan, putaran taxi Perumnas III Waena, Kota Jayapura, Papua, pada pukul 9 pagi.

ads

Pasca penembakan, sejumlah media menulis Polisi mencurigai Tabuni terlibat dalam penembakan terhadap Dietmar Pieper (55), peneliti Jerman pada 29 Mei 2012 di pantai Base G Dok 9, terlibat dalam sejumlah kerusuhan di Papua dan penembakan terhadap warga sipil di Kota Jayapura dalam bulan itu.

http:liputan6.com menulis, kecurigaan itu yang diungkapkan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri Brigjen Polisi Mohammad Taufik. Ia mengatakan, pihaknya menembak Ketua I KNPB karena yang bersangkutan pelaku kerusuhan di Wamena, Jayapura, Provinsi Papua.

“Tentunya pelaku beberapa peristiwa yang terjadi di Papua yang identitasnya atas nama MT. Dia merupakan bagian dari pengurus KNPB, jabatannya ketua 1,” kata Taufik usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR, pada 14 Juni beberapa jam setelah pembunuhan Mako Tabuni.

Kata polisi, penembakan itu pun terpaksa dilakukan karena Mako berusaha merebut senjata dari para eksekutornya. Polisi juga menyebutkan, aparat menemukan satu jenis senjata revolver dan 18 peluru dari saku jaketnya. Senjata itu dikatakan hasil curian.

Anehnya, mengapa Mako yang membawa senjata dengan peluru itu hendak merebut senjata pembunuhannya? Mengapa Mako tidak menembak kalau ada bawa senjata? Aneh juga, aparat Negara Hukum menembak mati orang yang tak bersalah tanpa proses pengadilan, pembuktian dan putusan pengadilan.

Soal-soal itu tidak penting. Masalah-masalah itu sudah menjadi tren di Papua, juga di Indonesia. Tembak dulu, kemudian mencari alasan anggota teroris ataupun organisasi Papua Merdeka. Soal penting dalam diskusi kasus Tabuni adalah, apakah benar Mako Tabuni sejahat yang dituduhkan? Siapa itu Tabuni yang sebenarnya?

Kita butuh orang dekat untuk menjawabnya. Saya bukan orang dekat, namun saya punya catatan menyaksikan dan menulis berita soal Tabuni memimpin demonstrasi selama dua tahun (2011-2012). Saya hanya ingin memperlihatkan sisi lain dari Mako Tabuni yang “Jahat” itu?.

Siapa itu Mako Tabuni?

Mako Tabuni bernama asli Musa Tabuni. Ia Lahir di Pyramid, Lembah Baliem (Kini bagian barat Kabupaten Jayawijaya) pada 1977 (menurut catatan di pusara 1979). Ia lahir dari orang tua bermata pencaharian petani, seperti kebanyakan orang di wilayah gunung waktu itu.

Kakak sulungnya, Jordan Tabuni mengatakan, waktu Musa lahir, wilayah ini dilanda operasi Militer yang disebut Operasi Kikis. Masyarakat menyebutnya gejolak 1977. Masyarakat menghadapi tuduhan, penangkapan, penahanan, pegejaran dan pengusian ke hutan hingga tahun 1980. Mako kecil merasakan dan mengalami langsung gejolak politik itu.

“Mako ikut mengungsi ke hutan. Ia sudah terlibat dalam perjuangan ini sejak kecil,” ungkap kaka kandungnya dalam sambutan pemakaman sang pejuang di Post 7 Sentani, Kabupaten Jayapura, pada 15 Juni 2012.

Asia Human Rights Commission Human Rights and Peace for Papua (ICP) dalam tahun 2013 merilis laporan tentang peristiwa itu dengan judul “Genosida yang Diabaikan: Pelanggaran HAM di Pegunungan Tengah Papua 1977-1978”. AHRC menyebutkan 4.146 orang tewas dalam operasi itu.

AHRC menyebutkan, ribuan orang itu tewas akibat bom-bom yang dijatuhkan, penembakan dan penyiksaan yang dihadapi. Bom jenis Napalm militer Indonesia jatuhkan menggunakan pesawat tempur jenis OV-10 Bronco yang dibeli dari Amerika Serikat, dua helikopter Bell dan dua helicopter Iroquis bantuan pemerintah Australia dan Amerika. Helikoper Iroquis dari pemerintah Australia dan helikopter Bell UH-1H Huey dari Amerika Serikat

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Peristiwa itu berlalu. Kata kakak saulungnya, ketika situasi agak aman, Mako Tabuni kembali ke kampung Pyramid. Mako tumbuh dan berkembang layaknya anak-anak lain. Ia menempuh pendidikan dasar, sekolah menengah pertama dan menengah atas di SMA Negeri I Kimbim, ibukota distrik kampung kelahirannya. Waktu SMA inilah berteman dengan Bucthar Tabuni, mantan ketua Umum KNPB dan kini menjadi deklator United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Usai menyelesaikan pendidikan, Mako Tabuni meneruskan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi di Manado, Sulawesi Utara. Di bangku kuliah itulah Mako Tabuni bergumul, membaca buku sejarah, bercerita tentang sejarah Papua bersama rekan-rekannya. Pemberontakannya pun tumbuh subur bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) yang dipimpin Markus Haluk (sekretaris jendral) dan Buchtar Tabuni (wakil sekjen).

Ada dugaan, puncak dari pergumulan itu lahirlah resolusi konggres II AMPTPI di Manado pada 2007. Salah satu resolusinya melakukan mogok nasional dengan agenda tutup PT Freeport. Ketika agenda hendak dieksekusi, pentolan AMPTPI berbeda pendapat. Ada yang mengatakan, mahasiswa Papua menggelar aksi di wilayah masing-masing. Tetapi ada juga yang mengatakan, mahasiswa Papua harus terlibat aktif bersama rakyat Papua. Kelompok yang mengatakan mahasiswa harus terlibat, termasuk Mako Tabuni menyatakan eksodus mahasiswa Papua menjelang akhir 2008.

Mako Tabuni dengan rekan-rekannya yang eksodus mendirikan tenda darurat di lapangan makam Theys Eluay di Sentani. Satu bulan lebih mahasiswa melakukan aktivitas politik di lapangan terbuka itu. Mahasiswa melakukan demonstrasi dan orasi-orasi politik dengan isu utama referendum dan boikot Pilpres 2009.

Situs papuansbehindbars.org menulis, Mako Tabuni memimpin demo damai pada 10 Maret 2008, menyerukan perlunya referendum untuk kemerdekaan Papua Barat daripada ikut berpartisipasi dalam pemilu Indonesia. Walaupun tidak ada penangkapan pada saat demonstrasi berlangsung, beberapa minggu setelahnya, pada 3 April, Mako Tabuni dan Serafin Diaz, mahasiswa asal Timor Leste, ditangkap saat mereka turun dari kapal penumpang KM Labobar di Jayapura.

Menurut papuansbehindbars.org, satu jam setelah itu, laporan Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) menyebutkan, pihak kepolisian melakukan penyergapan di areal Dewan Adat Papua, DAP. 15 orang ditangkap. Laporan ALDP menjelaskan bahwa sejak mereka diusir dari areal makam Theys Eluay, para muda-mudi aktivis KNPB kerap berkumpul di halaman DAP. 14 pria dan satu wanita ditangkap dan dilepaskan pada hari berikutnya. Tetapi Yance Mote ditahan di penjara dan diadili bersamaan dengan Mako Tabuni dan Serafin Diaz. Ketiganya dikenakan pasal 106 dan 160 KUHP, yang mengacu pada kegiatan makar dan penghasutan.

Dokumen-dokumen persidangan yang disediakan oleh Mahkamah Agung memberikan secara garis besar kasus ketiga pria sewaktu melewati berbagai tingkat pengadilan. Serafin Diaz dan Yance Mote dituduh memberikan pidato-pidato pada saat demonstrasi berlangsung. Tuduhan utama terhadap Mako Tabuni adalah bahwa dia menyewa sebuah taksi dan memasang pengeras suara di atap taksi tersebut untuk menyampaikan pesan kepada para demonstran. Ketiganya akhirnya dibebaskan dari dakwaan makar, tetapi dihukum 18 bulan penjara karena penghasutan.

Perjuangan Mako Tabuni

Perjuangan Mako Tabuni tidak dimulai ketika bergabung dengan KNPB. Mako memulai perjuangan sudah dikatakan awal bahwa, ia mulai berjuang sejak kecil, jauh sebelum dia mengerti baik. Ia harus ikut mengungsi bersama orang tua ke hutan.

Situs papuansbehindbars.org, menyebutkan berbagai insiden dalam hidup dia. Dia mengingat bagaimana ayahnya selalu diselimuti dengan stigma pengacau, dan selalu ditangkap setiap tanggal 17 Agustus dalam upaya menjaga keamanan seputar hari kemerdekaan oleh pihak Indonesia. Anaknya sendiri akhirnya selalu harus mengunjungi barak militer Indonesia, dimana ayahnya ditahan untuk membawa makanan.

Mako Tabuni akhirnya mendapat kurungan penjara pertama bagi dirinya sendiri saat pindah ke Jayapura pada tahun 1999. Dimana dia ditahan oleh Kopassus dan dituduh memberikan bantuan kepada ketua TPN-OPM, Matias Wenda. Pada waktu itu, dia tidak ditahan untuk waktu yang lama, tetapi kemudian ditahan lagi di Timika pada tahun 2007, lagi-lagi dengan tuduhan menjadi anggota TPN. Dia didakwa dengan tuduhan makar dan ditahan selama 7 bulan, namun kemudian dilepas tanpa kasusnya diadili di pengadilan.

Baca Juga:  Orang Papua Harus Membangun Perdamaian Karena Hikmat Tuhan Meliputi Ottow dan Geissler Tiba di Tanah Papua

Pemenjarahan itu tidak membatasi ideologi Mako Tabuni. Ia memimpin satu demo besar pada 2 Mei 2012. Agendanya menolak aneksasi West Papua pada 1 Mei 1963. Penolakan dihadiri ribuan massa aksi dari sejumlah sudut kota. Massa berkumpul dan berorasi di Taman Imbi Jayapura, tepatnya di depan bekas gedung New Guinea Raad  (kini gedung Dewan Kesenian Tanah Papua, yang tidak pernah ada gerakan apapun itu).

Orasi-orasi politik secara bergantian, kadang emosional dan kadang diplomatis itu Tabuni tuntun. Saking tidak setujunya dengan aneksasi, Tabuni mengakhiri orasi-orasi politik sejenak sekitar 5 menit. Ia memanjat gedung bekas New Guinea Raad itu dan menulis di tembak depan gedung itu “Milik New Guinea Raad” dengan pilox hitam.

Sekalipun begitu, demo ini berakhir dengan damai.  Demo yang berlangsung dengan damai itu dinodai dengan penembakan terhadap Terjoli Weya, seorang mahasiswa asal Kabupaten Tolikara. Weya ditembak di depan Koramil Abepura saat pulang aksi. Ia ditembak sang sniper, ketika itu Weya duduk di cap truk yang demonstran tumpangi.

Penembakan Weya ini mengawali penembakan-penembakan terhadap aktivis KNPB nanti, termasuk penembakan terhadap Mako Tabuni. Penembakan itu macam teror terhadap aktivis Papua, tetapi tidak berhasil membatasi langkah Mako Tabuni bersama KNPB. Ia kembali memimpin satu demo akbar lagi, menghadirkan 5 ribu rakyat Papua turun jalan pada 2 Agustus 2011. Abepura menjadi lautan manusia yang ingin menentukan nasib sendiri. Kepada ribuan massa itu, Mako memperlihatkan ideologi perlawananya bukan teror, intimidasi dan pembunuhan. Ia mengajak ribuan massa itu mengikrarkan janji perlawanan damai.

“Angkat tangan kirimu sebagai simbol perlawanan damai. Kita mempertahankan simbol ini selama 30 menit. Kita mau membuktikan, kita mampu berjuang dengan damai atau tidak. Siapa yang tidak bertahan, ia tidak akan pernah bertahan dalam perjuangan damai ini,” ajak Mako.

Ajakan itu pun dapat diikuti ribuan massa itu dengan tertib. Mako Tabuni pun menghitung waktu di HP Nokia Hitam itu sambil mengacungkan tangan kirinya. Hingga 30 menit berlalu, sebagian besar dari massa aksi mampu bertahan mengangkat tangannya. Massa aksi tidak peduli dengan terik matahari dan keringat yang mengalir deras di badan jalan, lingkaran Abepura itu. Polisi dan para intel dan jurnalis yang kawal demo menyaksikan drama itu.

“Rakyat Papua sudah membuktikan bahwa kita mampu melakukannya. Kita tidak perlu mengharapkan orang lain datang menolong kita. Rakyat Papua harus bangkit mencatat sejarahnya sendiri,” tegasnya.

Tabuni menyadari betul, mencatat sejarah, memperjuangkan kemerdekaan itu bukanlah retorika belaka, melainkan perlawanan nyata. Rakyat Papua harus terlibat aktif, meninggalkan budaya bicara-bicara, membedakan dari kelompok ini dan itu, tetapi bersatu dalam gerakan rakyat dengan satu budaya kerja nyata. Kerja-kerja nyata itulah yang dapat mewujudkan cita-cita keluar dari genggaman pendudukan bangsa kapitalis dan barbar.

“Kita harus lawan, tanpa perlawanan kemerdekaan itu mimpi siang bolong. Kata-kata tidak akan menjawab kemerdekaan. Kerja nyata menjawab kemerdekaan itu,” tegas Mako.

Kata dia, perlawanan menentukan nasib sendiri itu bukan hal yang terpisah, melainkan hak mendasar  yang melekat; hak politik yang tidak bisa digangu gugat oleh siapapun. Namun, hak itu, Indonesia, Amerika dan Belanda batasi dengan mengobjekkan orang Papua dalam membicarakan status politik Papua. Orang Papua tidak dilibatkan dalam peralihan kekuasaan dari Pemerintah Belanda ke pemerintahan sementara atau United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA), UNTEA ke Indonesia.

“Puncak permainan itu rekayasa Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969. Indonesia tidak memberikan kebebasan orang Papua menentukan nasib sendiri. Indonesia memaksakan Papua menjadi Indonesia dengan dukungan kapitalis Amerika,” ujarnya dengan tegas.

Kata Mako, pemaksaan itu terjadi secara tidak adil, sistematik dan militeristik. Indonesia membawa sistem demokrasi Jawa, musyawarah-mufakat, mengabaikan hak memilih 700.000 orang Papua. 1.025 orang yang mewakili orang Papua.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

“Jumlah itu pun yang betul-betul memilih 75 orang saja. Lebihnya tidak jelas,” tegasnya.

Kata dia, ketidakjelasan, permainan dan pelanggaran HAM itu mengawali peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang sedang berlangsung dalam pendudukan Indonesia. Pembunuhan terus berjalan dengan alasan kriminal dan separatis demi menguasai kekayaan alamnya. Isu separatis dan kriminal menjadi kata ampuh bagi penjajah mendiamkan orang Papua yang dianggap mengganggu atau menghalangi kepentingan ekonomi.

“Kolonial melakukan semua demi kepentingan mengamankan kekayaan alam Papua. Orang Papua hanya menjadi budak dan kambing hitam,” tegasnya.

Kata Mako, rakyat Papua tidak bisa membiarkan situasi ini terus berlangsung. Rakyat Papua harus bangkit menuntut hak politiknya. Hak politik itu akan menjadi nyata hanya dengan komitmen perjuangan yang berani, serius, terus menerus, berwibawa dan taruhan nyawa.

“Lebih bagus kita hancur, musnah dalam melakukan perlawanan mempertahankan harga diri, daripada ditindas dan diperbudak sampai habis,” tegasnya pada 2 April 2012.

Mako Tabuni betul-betul wujudkan kata-katanya dengan perlawanan damai. Perlawanan hanya dengan kekuatan massa rakyat, argumen-argumen sejarah yang benar, cerdas dan penyerahan diri yang total kepada perjuangan pembebasan bangsa.

“Penjajah tidak boleh tangkap saya hidup. Mako lahir dan besar di jalanan. Matipun bersama rakyat di jalanan,” ungkap rekannya kepada penulis mengingat ungkapan Tabuni seminggu sebelum penembakan.

Tabuni Dikenang: “Mako itu Bapa, Bukan Pemimpin”

Figur sosok Mako Tabuni sulit dilupakan. Setiap tahun, KNPB selalu gelar ziarah ke makam Mako Tabuni di kampung Sere. Tahun 2016,  KNPB gelar renungan sekaligus makan pinang bersama di tempat Tabuni ditembak mati tim khusus Polda Papua. Makan pinang bersama ini untuk mengenang mendiang Mako Tabuni.

“Kita berdoa di sini saja, kita tidak pergi ke kuburan. Kita harus menghormati dia. Dia adalah guru dalam perlawanan,” kata Agust Kossay, ketua I KNPB Pusat kepada jurnalis di putaran taksi Waena, Kota Jayapura, Papua, Selasa (14/6/2016).

Kata dia, Mako Tabuni memberikan pelajaran yang sangat berharga dalam perlawanan. Terutama, keberaniannya menyerahkan seluruh hidupnya demi pembebasan bangsa dan demo mendirikan sebuah bangsa yang merdeka.

“Dia mempertaruhkan segalanya. Kami tidak bisa balas kami hanya bisa memberi penghormatan. Semua orang bisa dalam situasi aman itu biasa, tetapi dalam situasi darurat itu luar biasa. Mako yang melakukan itu,” tegas Kossay.

Juru Bicara KNPB pusat, Bazoka Logo mengatakan, Mako Tabuni sama dengan aktivis lain yang sudah tewas di medan perjuangan, namun ada hal-hal unik, yang terpancar dari figur Mako Tabuni.

Pertama, Mako Tabuni tidak pernah menunjukkan diri pemimpin. Ia menunjukkan sikap kebapaan. “Dia itu seorang bapa, bukan pemimpin” kata Logo.

Kata dia, sikap kebapaan itu muncul dalam setiap kehadirannya bersama aktivis KNPB. Dia tidak pernah memerintah layaknya seorang pemimpin. Dia malah bertindak seorang bapa yang sedang mendidik anak.

“Kalau dia bilang melakukan ini, dia selalu mengajak bersama-sama melakukan itu. Bagi selebaran. Dia ikut membagikannya,” ujar Logo sambil mengenang sang bapa.

Kedua, Mako Tabuni tidak pernah mengeluh. Mako Tabuni selalu mengajak melakukan perjuangan dengan sumber daya yang ada pada KNPB.

Ketiga, Mako Tabuni seorang pendengar yang baik dan rendah hati. Dia tidak pernah membantah, membela diri dan klarifikasi ketika anggota menuduh atau marah atas sejumlah masalah organisasi.

“Dia hanya mengatakan minta maaf dan senyum saja,” katanya.

Keempat, Mako Tabuni seorang revolusioner yang tidak pernah menyerah. Dia mempunyai komitmen dengan keberanian mental yang sangat luar biasa.

“Keberanian mental itu milik Mako. Tidak ada yang bisa sama dengan dia,” ujarnya.

Kelima, seorang Mako Tabuni tidak pernah bicara dua kali. Dia seorang bapa yang bicara sedikit, kemudian melaksanakan yang dia katakan.

“Kalau dia bilang satu kali, kita tidak laksanakan. Dia yang melakukannya,” kata Logo.

Begitulah Mako Tabuni ada di benak aktivis KNPB pasca pembunuhannya. Singkat kata, Tabuni telah tiada, sudah 4 tahun. Namun ideologinya, teladan dan pesannya mengedepankan perlawanan damai masih hidup di mulut-mulut aktivis KNPB. Begitu ka?

Penulis adalah wartawan Koran Jubi dan tabloidjubi.com

Artikel sebelumnyaDua Kali Menang, Sepakbola PON Papua Pimpin Grup C
Artikel berikutnyaPenindasan Terhadap Perempuan Mee Pago Dalam Perspektif Suku Mee