Penindasan Terhadap Perempuan Mee Pago Dalam Perspektif Suku Mee

1
6025

Oleh: Kelompok Belajar Perempuan Papua Yogyakarta

Kelompok Belajar Perempuan Papua Yogyakarta telah melakukan diskusi seri ke III tentang penindasan terhadap perempuan Mee Pago dalam prespektif suku Mee. Diskusi ini diadakan pada tanggal 16 September 2016 yang dimulai pukul 19.00 WIB sampai selesai. Ia dihadiri oleh kurang lebih 25 orang yang terdiri dari perempuan dan laki-laki.

Dorlince Iwoyau sebagai pemantik diskusi, memaparkan sejarah atau budaya suku Mee, yang ditulis oleh Mikael Tekege. Dalam pemaparan materi diskusi, pematik juga menyelipkan bentuk-bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Praktik ketidakadilan ini dilegitimasi atas nama adat. Diskusi menjadi hangat setelah menyaksikan film pendek yang berjudul ‘Perempuan Papua Menuju Hari Esok’.

Film Perempuan Menuju Hari Esok

Film ini menceritakan perjuangan mama-mama suku Mee, khususnya di kabupaten Paniai. Mereka sebagai tulang punggung rumah tangga. Di mana, seorang ibu bangun pagi ke kebun, pulang dari kebun masak, setelah masak harus mencari kayu bakar. Selain itu, beliau juga harus berjualan untuk mendapat uang sampingan, sehingga dapat menunjang kehidupan keluarganya.

ads

Film tersebut juga menggambarkan, sosok laki-laki Mee sekarang yang memilih untuk tinggal diam di rumah, suka jalan-jalan. Dan dia belum mengambil peran aktif sebagai sosok yang harus menafkahi keluarga.

Diskusi menjadi hangat ketika beberapa kawan putri menyoroti permasalahan yang dihadapi mama-mama Mee dan sosok laki-laki zaman sekarang yang gagal menjalankan peran. Berulang kali dikatakan “laki-laki hanya tahu bikin anak, tidak tahu bekerja di kebun, tidak bisa cari kayu bakar, dia hanya tahu buat proposal. Setelah dapat uang, tidak tahu uangnya dikemanakan. Entahlah, uang tersebut untuk mace paha putih dong ka? Atau bir di toko habis ka?, uang di hotel bintang berapa atau hotel melati apa? hanya dong sendiri yang tahu”.

Maria Baru menjelaskan tentang bergesernya tanggung jawab seorang laki-laki Papua yang zaman dulu hingga sekarang. Dia menjelaskan secara singkat bahwa dahulu kita (orang Papua) berada pada jaman komunal. Di mana zaman itu, banyak orang Papua belum mengenal perbedaan kelas antara laki-laki dan perempuan, jadi semua pekerjaan dilakukan bersama.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Namun berkembangnya zaman, ketika pemerintah masuk di Tanah Papua, orang non Papua masuk, banyak pemekaran-pemekaran kabupaten baru, memengaruhi pergeseran tanggung jawab seorang laki-laki Papua yang sejatinya menjadi tulang punggung keluarga.

Dalam film pendek itu juga mengangkat bagaimana para mama dari Paniai diberi uang dana Respek Rp.15 Juta.

Dana tersebut digunakan oleh mama untuk modal usaha dan simpan pinjam.

Dalam film tersebut juga, menceritakan kondisi pendidikan di Paniai. Banyak anak murid, tetapi anak murid ini harus menerima pelajaran dalam kondisi gedung yang tidak layak, seperti fasilitas gedung kelas tidak memadai. Bentuk gedung selayaknya gubuk-gubuk di kebun. Minimnya tenaga didik, sehingga seorang guru harus mengajar dari kelas satu SD sampai kelas enam SD.

Marginalisasi Terharap Perempuan

Marginalisasi terhadap perempuan di Papua, secara khusus di wilayah Paniai, dalam hal pendidikan, apalagi pendidikan adat.

Masyarakat suku Mee dulunya masih menganut pendidikan lisan melalui dekonstruksi bahasa. Dimana anak-anak mereka diajarkan secara lisan, namun terpisah antara perempuan dan laki-laki. Anak laki-laki diajarkan oleh ayahnya tentang cara memburuh, membuat pagar, anak panah, perang, dan cara memutuskan sesuatu dalam keluarga dan masyarakat. Sementara perempuan diarahkan dalam cara memelihara ternak, bercocok tanam, memasak, merawat dan membesarkan anak. Jadi, perempuan itu diarahkan dalam urusan dosmetik , sedangkan pengambilan keputusan adalah di tangan seorang pria.

Seiring berjalannya waktu, pendidikan formal datang dengan kurikulum yang berbeda dengan budaya masyarakat setempat, hal ini membuat mereka merasa terbelakang. Dalam artian, masyarakat yang masih hidup dalam pendidikan lisan tidak dapat memahami pendidikan formal yang datang begitu saja tanpa mengetahui dahulu perkembangan pendidikan setempat. Dalam masa-masa ini juga, masyarakat suku Mee, khususnya perempuan masih termarginalisasi dalam hal pendidikan. Perempuan masih dianggap sebagai sumber uang untuk laki-laki bersekolah.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Sisi Ekonomi

Masyarakat suku Mee disebut sebagai masyarakat agraria, masyarakat yang hidup dengan bertani dan berternak. Oleh sebab itu, sebagian besar masyarakatnya memeliahara ternak seperti babi dan hewan ternak lainnya. Ternak babi sendiri mempunyai nilai ekonomi dan sosial yang dapat mengangkat martabat seseorang laki-laki, jika mempunyai babi yang banyak. Maka, seorang perempuan Mee/istri, diharuskan untuk memelihara babi agar memperkaya laki-lakinya. Ini tentu saja terjadi diskriminasi pada perempuan, apalagi masih banyak aktivitas domestik yang dilakukan perempuan, selain memelihara babi.

Diskriminasi itu kita bisa lihat dari seorang perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Ia bertugas di dalam dan luar rumah utuk mempertahankan kehidupannya sendiri maupun anak dan suaminya.

Kesehatan

Diskriminasi dalam pembagian kerja dalam kehidupan sehari-hari juga mengganggu kesehatan kaum perempuan suku Mee. Perempuan yang sudah memiliki suami atau sering disapa Mama-mama, harus bekerja tiga kali lipat dalam pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari. Hal yang memprihatinkan adalah ketika perempuan tersebut memiliki bayi dan beberapa orang anak. Mereka harus memenuhi kebutuhan semua anaknya juga menyusui bayinya. Padahal kenyataannya asupan gizi seperti untuk ibu dan stamina tidak memungkinkan hal ini berjalan dengan baik.

Namun inilah bentuk perjuangan tanpa batas untuk melampaui batas-batas pemikiran sebagai idealnya perempuan Mee. Namun sebenarnya jika tidak diperhatikan dengan baik kondisi kesehatan Mama, maka anak juga rentan terserang penyakit flu, diare , dan beberapa penyakit lainnya.

Tantangan terbesar lainnya yang dialami oleh Mama-mama bahkan perempuan suku Mee hingga hari ini adalah adalah penyakit HIV/AIDS. Penyakit ini tidak pernah dibayangkan dan dimengerti oleh masyarakat Mee pada umumnya. Namun akibat perubahan yang mengatasnamakan pembangunan dan aktivitas seksual yang tidak pada tempatnya membuat mama-mama dan perempuan menjadi korban.

Lingkungan hidup perempuan Mee sangat berkaitan dengan alam. Alam menjadi sumber kehidupan. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan setelah perubahan sosial masyarakat hadir, yakni metode mengelola ternak.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Metode Mengelola Ternak

Pada film terekam masih ada ternak babi yang berkeliaran di jalan raya. Pada saat hewan tersebut buang tinja di sembarang tempat, kemungkinan dapat menjadi sumber penyakit akibat bakteri yang berkembang biak di dalamnya. Apalagi, kebanyakan masyarakat berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan berjalan kaki tanpa menggunakan alas kaki.

Hal ini patut menjadi perhatian kita bersama. Masalah baru di kemudian hari, jika babi yang dibiarkan tidak dikandangkan ini ditabrak oleh kendaraan. Karena sudah banyak pengguna kendaraan. Jika babi tertabrak hingga ‘mati’, maka akan kena ‘denda’ atau ganti rugi ternak tersebut. Denda juga sering menimbulkan ketegangan antara pengguna kendaraan dengan pemilik babi.

Permasalahan yang dialami oleh perempuan suku Mee sampai hari ini merupakan permasalahan yang dihadapi perempuan Papua di tempat yang berbeda. Masalah cultural, patriarki (kekuasaan kaum bapak) serta dampak-dampak sosial yang mengatasnamakan pembangunan menyudutkan atau memarginalisasi keberadaan perempuan Papua.

Solusi yang ditawarkan dalam diskusi ini adalah perempuan harus berani untuk meraih pendidikan secara formal setinggi-tingginya. Perempuan juga dituntut untuk lebih kritis dan jeli dalam mengenal bentuk-bentuk perilaku tidak adil padanya tanpa melupakan identitasnya sebagai perempuan Papua.

Perempuan Papua juga lebih aktif dalam kegiatan belajar informal untuk menambah kemampuan lain yang tidak diberikan di pendidikan non formal. Perempuan Papua juga dituntut harus bisa merangkul menjadi solusi atas ketidakadilan yang dialami semua perempuan di wilayah Papua. Dikutip dari film “Perempuan Papua Menuju Hari Esok”.

‘Peningkatan kapasitas kaum perempuan pada gilirannya akan menciptakan perkembangan hidup masyarakat Papua secara umum’.

 

Penulis adalah Kelompok Belajar Perempuan Papua Yogyakarta. Artikel ini merupakan hasil diskusi Kelompok Belajar Perempuan Papua Yogyakarta di Yogyakarta.

Artikel sebelumnyaJejak Mako Tabuni: Lahir Besar Bersama Rakyat di Jalanan, Mati Pun Bersama Rakyat di Jalanan
Artikel berikutnyaYan Warinussy: Jelang Akhir Tahun 2016, Solusi Pelanggaran HAM Papua ‘Mati’