Teriakan Bagi Kehidupan: Suatu Spiritualitas Orang Papua

0
3403

Oleh: Lukas Walilo

Sumber kekuatan dalam sebuah reformasi adalah ungkapan mengekspresikan segala yang ada pada pribadi manusia. Ungkapan itu adalah berupa teriakan dan tekun memberikan arti bagi kehidupan. Kehidupan dalam segala kepenuhannya. Kehidupan memberikan arti ketika manusia memahami kebahagiaan sejati. Pengalaman kebahagiaan dapat terungkap melalui kegiatan apa saja. Kebahagiaan itu memperhadapkan orang pada suatu keterampilan dan tindakan yang mengejar suatu keputusan pada nilai tertentu.

Apabila manusia melakukan sesuatu, ia selalu melakukannya karena ada tujuannya, sebuah nilai. Apabila manusia mau mengatur kehidupannya secara nalar, maka ia akan mengenal terlebih dahulu tujuan manusia. Setiap tindakan akan mengarahkan ia kepada suatu pencapaian tujuan yang masuk akal. Itulah prinsip hidup menurut Aristoteles seorang filsuf Yunani.

Teriakan itu sungguh membuka realitas-realitas kehancuran kehidupan manusia. Teriakan itu adalah suatu kesaksian yang teguh akan keberlangsungan kehidupan. Teriakan bagi kehidupan bukanlah suatu teriakan putus asa, dukacita, ketiadaan harapan, ataupun kesedihan. Teriakan itu memungkiri kemenangan penganiyaan, penawanan, intimidasi, pelurusan sejarah politik yang keliru, dan mengatasi kekuatan militer. Teriakan juga untuk memperoleh pengakuan hak politik, mencegah semua konflik yang ada, dan hidup bahagia.

Teriakan yang dilontarkan oleh orang Papua sungguh bergema dalam situasi politik yang semakin menekan penjajah. Teriakan itu melahirkan model perjuangan kultur kehidupan orang Papua. Teriakan ada karena situasi kekuatan kematian yang merajalela dalam kehidupan orang Papua.

ads

Situasi kekuatan kematian itu disebabkan oleh penindasan struktural, perampokkan kaum feodal, pembunuhan membabi buta, sistem pendidikan gaya koloni, dan masih banyak kejahatan lain yang belum terungkap dalam kehidupan orang Papua pada umumnya.

Teriakan adalah salah satu cara yang muncul dari kultur orang Papua. Teriakan juga memberikan harapan untuk memotivasi diri dengan keadaan yang ada. Oleh sebab itu, persoalannya adalah bagaimana model kultur ini bisa membuka situasi kekuatan kematian yang menimpa kehidupan orang Papua. Persoalan ini yang menjadi inti pembahasan dalam paper ini.

Baca Juga:  Mahasiswa Yahukimo di Yogyakarta Desak Aparat Hentikan Penangkapan Warga Sipil

  1. Arti dan Makna Teriakan
  • Pengertian

Kata teriak merupakan kata benda yang menjelaskan tentang “segala makhluk yang berseru dengan suara keras”. (lih. KBBI: 2011). Kata teriakan merupakan kata benda yang abstrak dan dimengerti dalam sebuah tindakan untuk mengekspresikan kehidupan manusia. Kata teriakan merupakan betuk motedologi yang dimunculkan dari ekspresi penidasan, kebahagian, dan ungkapan kesedihan. Suara yang menggema itulah merupakan arti sepadan dari kata teriakan dalam rumusan pada KBBI. Arti kata ini memberi informasi yang mengikat pada pola pikir manusia yang tertekan, bahagia dan sedih. Sebenarnya ingin menegaskan kegiatan dari kata teriakan itu sendiri.

Konsep teriakan dalam kultur Papua adalah ungkapan mengekspresikan segala hal. Ungkapan itu bisa berupa gerakan, kata, dan kegiatan bersama apa saja. Teriakan dimengerti sebagai satu cara untuk melihat keseriusan menanggapi kehidupannya, mengungkapkan situasi bahaya dan mengungkapkan kebahagian suatu kehidupan. Teriakan bukan menampilkan suatu gerakan pasif, melainkan suatu tanda yang bergema atas dasar situasi kehidupan yang buruk maupun baik.

Situasi itu membahana dalam realitas hidup yang tertimpa pada pergumulan hidup manusia. Teriakan itu disebabkan oleh situasi tertekan berupa ideologi, sejarah hidup, dan tindakan praktis hidup. Penyingkapan yang menaklukkan semua kejahatan. Teriakan dalam kultur budaya Papua  mempunyai muatan dari segi manfaatnya. Manfaat dari teriakan menampilkan suatu cara pelampiasan (ketidakadilan, penindasan, penderitaan dan segala aspek kehidupan yang menindas kaum tertindas), mengetahui situasi bahaya dan mengungkapkan kepedihan hidup.

Inti penjelasannya adalah mengungkapkan suatu cara untuk mengetahui segala segi kehidupan. Termasuk kehidupan yang memberikan jaminan maunpun dukungan untuk memperoleh hidup kekal.

  • Makna Teriakan

Orang Papua memahami teriakan sebagai satu bentuk dinamika hidup. Dinamika hidup itu dimengerti dalam sebuah tindakan. Kata teriakan sendiri dapat mengungkapkan keberadaan diri manusia sesuai situasi yang dialami manusia. Manusia Papua mengerti sebuah teriakan dari intonasi bunyi. Misalnya ada beberapa macam bunyi teriakan:

  • Teriakannya berbunyi agak lembut dan tajam merupakan tanda kebahagian suatu kegiatan
  • Teriakannya berbunyi keras dan tajam merupakan tanda bahaya untuk situasi pada saat itu
  • Teriakannya berbunyi lembut dan tidak tajam merupakan tanda untuk memanggil teman, pacar/kekasih, sahabat.
  • Teriakannya berbunyi tidak lembut dan tajam merupakan tanda konflik.
Baca Juga:  Kura-Kura Digital

2. Pandangan atas Teriakan KaumTertindas

Indikator teriakan kaum tertindas adalah adanya masalah. Masalah merupakan gambaran keburukan hidup kaum tertindas.  Dalam konteks ini adalah gambaran keburukan yang dialami orang Papua dengan masalahnya. Orang Papua mengalami masalah, seperti intimidasi, pembunuhan, marginalisasi, diskriminasi, self-determinision, dan adanya pertentangan antara ideologi Pancasila dan ideologi Papua merdeka. Bentuk masalah ini merupakan bagian kehidupan yang buruk di Tanah Papua.

Kompleksitas masalah membuat orang Papua mesti berteriak. Teriakan ada karena masalah yang sulit dibendung dengan cara kekerasan. Menurut orang Papua, cara berteriak merupakan bentuk perlwanan yang tepat untuk didengar oleh semua pihak pembuat kekerasan. Misalnya, kelompok bariasan anak-anak muda Papua, Komite Nasional Papua Barat adalah salah satu wadah perlawanan. KNPB melakukan perlawanan di depan publik, agar persoalan dapat terungkap. Perlawanan itu dibuat dengan cara damai. Cara damai maksudnya mengungkapkan masalah dengan berteriak di depan publik. Sebenarnya,  KNPB mengangkat spiritual perlawanan yang benar untuk mengtasi persoalan orang Papua.

3. Refleksi atas Teriakan Kaum Tertindas

Persoalan kaum tertindas merupakan bagian dari kepentingan relasi kuasa. Relasi kuasa adalah sebuah fenomena di mana mengambil alih dan menguasai kelompok lain demi mentransfer kepentingannya. Relasi kuasa terjadi antara penguasa politik dan ekonomi dengan kelompok yang kurang berpengaruh secara politik dan ekonomi. Mekanisme relasi kuasa ini terkait erat dengan akses terhadap kekuasaan politik, ekonomi, dan kultural yang berpusat pada elit di semua level, mulai dari kepentingan pusat sampai kepentingan daerah.

Baca Juga:  Pelajar dan Mahasiswa Papua di Salatiga Sukses Hadirkan HIPMAPA

Kelompok elit yang memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada mayoritas masyarakat lemah/tertindas. Kekuasaan di sini dipahami bukan sebagai jabatan, melainkan konstelasi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang menyebabkan kaum tertindas terlarut dalam masalah penguasa.

Dalam kasus di Papua adalah masalah status politik bangsa Papua, sumber daya alam dan pelanggaran HAM. Masalah utama di Tanah Papua adalah status politik bangsa Papua. Kita melihat dan menyaksikan dengan terang benderang, bagaimana dalam dan melalui kaum penguasa memanfaatkan masalah utama ini dalam kepentingannya sehingga terarah pada masyarakat tertindas, seperti orang Papua. Itu terjadi dengan beragam mekanisme dan strategi, mulai dari pengiriman TNI/POLRI (keamanan bersenjata), migrasi dan pembangunan ala-Indonesia. Itu semua menggambarkan caplokan elit, politik dan penguasa kapitalis terhadap orang Papua, kekayaan alam Papua dan kebudaya kepapuaan.

4. Penutup

Penderitaan di Papua menunjukkan bahwa berhadapan dengan pengalaman pendekatan militerisasi dan pengalaman eksistensial kaum tertindas tetaplah penderitaan akibat pendekatan yang sistemik. Penderitaan tercipta melalui kepentingan kuasa dan elit kapitalis atas daerah jajahan.

Kita sudah melihat sendiri secara konkrit bagaimana penderitaan yang dialami oleh manusia Papua di negerinya sendiri. Berbagai proyek kepentingan Indonesia dan negara lain wujudkan kepentingannya pada manusia Papua dan alam Papua. Semua bentuk penderitaan orang Papua merupakan pengaruh wacana pembangunan hegemonik. Semoga tulisan yang singkat dan sederhana ini membantu para pembaca lebih pelik melihat wacana penjajahan baru, yakni “hegemoni”.

Penulis adalah mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur, Jayapura, Papua. 

Artikel sebelumnyaDukung PICWP Bahas Masalah Papua di PBB, Rakyat Papua Aksi Damai di 13 Kota
Artikel berikutnyaLukas Enembe Luncurkan Buku di Jakarta