Antropologi dan Gerakan Sosial: Perspektif Papua (Bagian I)

0
3797

Oleh: I Ngurah Suryawan

Pengantar

Antropologi dan Gerakan Sosial: Perspektif Papua[1]. Artikel ini awalnya adalah buah pikiran awal saya tentang konsep antropologi reflektif yang memediasi gerakan transformasi sosial dalam konteks Papua. Ide dasar dari artikel ini adalah bahwa ilmu pengetahuan, dalam hal ini antropologi, mempunyai ‘tanggungjawab moral’ memediasi gerakan-gerakan sosial yang terjadi di lingkungan komunitas rakyat.

Hal ini penting diajukan, karena dari rakyatlah, antropologi sepatutnya menajamkan pisau keilmuannya agar menjadi berdaya guna, untuk memfasilitasi transformasi sosial budaya yang terjadi di tengah komunitas rakyatnya.

Dalam konteks Papua, sungguh sangat penting untuk kembali memikirkan perspektif (sudut pandang) dan metodologi yang mampu untuk merekognisi gejolak kemanusiaan yang terjadi di tengah masyarakat Papua.

ads

Bagian pertama dari esai ini akan berusaha memberikan konteks terhadap persoalan yang terjadi di Tanah Papua, secara khusus adalah masalah kekerasan terhadap kemanusiaan yang mendarah daging dan menjadi “ingatan penderitaan” yang tidak mudah dilupakan.

Secara garis besar bagian ini akan mencoba untuk memetakan secara garis besar akar dan genealogi kekerasan yang terjadi di Tanah Papua. Poin ini sangat penting dikedepankan untuk memberikan dasar perspektif berpikir bahwa memahami pergolakan yang terjadi di Papua tidak bisa dilepaskan dari warisan ingatan kekerasan dan penderitaan yang sudah mendarah daging terjadi di Papua. Keseluruhan permasalahan sosial politik yang terjadi di Tanah Papua bisa teruraikan salah satunya jika kita memahami secara tuntas fondasi kekerasan tersebut. Begitu juga dengan ilmu pengetahuan, dalam hal ini adalah antropologi, yang sebetulnya mempunyai ladang pengetahuan dan pemihakan yang jelas terhadap yang tertindas dan tersisihkan dalam pentas kekuasaan.

Dalam bagian pertama ini saya akan berusaha menjelaskan periode-periode sejarah kekerasan tersebut, yang sayangnya bukan terhenti, namun daftarnya semakin panjang. Dan lagi-lagi yang menjadi korbannya adalah rakyat Papua itu sendiri.

Cikal bakal Memoria Passionis

Sahabat saya dari Nabire yang seniman dan mengabdikan diri menjadi guru di sebuah sekolah swasta mengungkapkan pengalaman yang bagi saya sangat inspiratif. Di kampung-kampung yang diamatinya, ladang-ladang perkebunan kini ditumbuhi rumput-rumput, daerah-daerah sagu juga dibiarkan tidak terurus.

“Masyarakat dong (mereka) hanya menunggu bantuan beras saja yang didrop ke pedalaman dan cairnya proposal bantuan,” kisahnya.

Bahkan ia sempat didatangi oleh tetua di kampung untuk meminta bantuan dibuatkan proposal yang akan dibawa ke bupati.

Ketergantungan terhadap bantuan bagai candu yang membius orang Papua untuk menyandarkan hidupnya kepada bantuan. Jika bantuan tidak datang, maka jurang kematian telah menganga. Pemberi bantuan (baca: pemerintah) seolah sebagai dewa penolong yang kemudian merasa sudah cukup berbuat dengan menghamburkan uang-uang bantuan. Pembangunan gedung-gedung fisik, baku tikam (saling berkelahi) merebut kekuasaan lokal, dan mengeksploitasi sumber daya alam mendekati orang Papua pada kematian inisiatif, emansipasi, dan gerakan sosial pada dirinya.[2]

Selama ini saya kira pembangunan di Papua belum menyentuh secara fundamental kesadaran gerakan sosial yang emansipatif dan transformatif. Yang terjadi menurut saya adalah “kesalahan penamaan” terhadap Papua yang digerakkan oleh rezim pembangunisme, bias kolonialisasi kebudayaan, stigma separatisme, kekerasan HAM, dan sudah tentu gula-gula Otsus Papua dan pemekaran daerah.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Pendekatan yang dilakukan adalah “menilai”, bahkan “menghakimi” untuk kemudian merancang sederetan proyek-proyek “memberdayakan” orang Papua. Semuanya dilandasi dengan semangat mensederhanakan orang Papua dalam deretan tabel, grafik, dan kuisioner untuk bisa dibaca oleh orang luar yang kemudian melakukan penetrasi dan eksploitasi.

Saya sangatlah yakin bahwa orang Papua akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri berlandaskan semangat gerakan sosial dan mengorganisasikan dirinya secara militan. Ini tentunya dengan kesadaran bahwa ke-Papua-an juga sebuah kompleksitas yang terus menerus akan bergerak sesuai dengan konteks, waktu dan kepentingan subyeknya. Selama ini yang terjadi menurut saya adalah kompleksitas heterogenitas etnik Papua tidaklah diakui bahkan diabaikan demi percepatan pembangunan yang semu. Kini yang terjadi adalah heterogenitas etnik Papua terfragmentasi dalam lokalitas-lokalitas kekuasaan dalam deru kencang pemekaran daerah yang mencengangkan.

Baku tikam persaingan etnik dalam perebutan kekuasan lokal serta politik praktis dan uang hanya semakin membuat orang Papua semakin sulit untuk membebaskan dirinya menjadi “manusia merdeka”.

Salah satu persoalan terbesar dalam membaca kompleksitas permasalahan di Tanah Papua adalah terkait dengan ingatan kekerasan dan penderitaan. Masalah ini adalah persoalan akut dan paling membekas dalam sejarah kekerasan dan ingatan penderitaan rakyat Papua.

Ingatan sosial kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui aparat TNI/Polri diwariskan secara turun-menurun tumbuh menjadi “ingatan penderitaan bangsa Papua” dan dasar gerakan sosial pembebasan bangsa Papua. Namun, ingatan penderitaan ini ditutupi oleh rezim otoritarian negara Indonesia. Ingatan sosial kekerasan dan penderitaan rakyatnya adalah sebuah ancaman serius yang distigma “separatis”, “terkebelakang”, “barbar” dan “tidak berbudaya” untuk membenarkan tindakan kekerasan dan diskriminasi.

Memori subyektif rakyat Papua tentunya menjadi ancaman serius bagi stabilitas “keamanan dan ketertiban” yang dibangun negara. Setiap rezim otoriter/totaliter senantiasa memandang memori sebagai ancaman serius. Sebab, memori yang diartikulasikan secara publik bisa membuat segala bentuk kekerasan politik yang dilakukan rezim itu menjadi tampak telanjang.

Itulah sebabnya rezim yang demikian senantiasa berusaha membungkam atau memutarbalikkan memori tentang kejahatan atas kemanusiaan. Dengan teknik pengendalian ingatan semacam ini, penguasa melakukan normalisasi kebohongan, yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga kebohongan itu diterima sebagai “kebenaran (Budiawan, 2004).

Di Tanah Papua, sudah menjadi pemandangan umum bahwa aparat TNI/Polri akan jauh melebihi guru-guru dan tenaga kesehatan. Sekolah-sekolah dan Puskesmas akan tampak lengang karena kekurangan tenaga atau meninggalkan tugas, sementara aparat keamanan dan pos-pos penjagaan tidak terhitung jumlahnya. Wilayah-wilayah dimana kehadiran TNI dan atau Polri amat dominan, biasanya rentan mengalami konflik dan bentrokan antara rakyat, gerakan perlawanan, dan aparat keamanan. Wilayah itu mencakup wilayah perbatasan RI-PNG, jalur pegunungan tengah (Paniai sampai Pegunungan Bintang), wilayah-wilayah yang memiliki eksploitasi sumber alam yang kaya seperti Teluk Bintuni dan Timika.

Rentetan panjang sejarah pelanggaran berat HAM telah mendorong masyarakat Papua untuk menamai perasaan dan pengalaman tak dilindungi dengan istilah genosida. Istilah ini sebenarnya adalah istilah hukum HAM internasional dari Konvensi PBB tentang Genosida tahun 1948 untuk menamai kejahatan terhadap kemanusiaan yang paling serius setara dengan kejahatan perang. Intinya adalah tindak kejahatan yang secara sengaja dan terencana berniat membasmi sebagian atau seluruh kelompok masyarakat, suku, ras atau agama.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Meski secara teknis hukum, genosida yang berkembang di Papua belum memenuhi syarat-syarat yang amat ketat terutama mengenai motif dan kebijakan negara serta jumlah korban, tetapi inti perasaan dan terlebih pengalaman tak terlindung makin hari makin kuat. Hak hidup orang Papua makin sulit dijamin ditambah lagi jumlahnya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan seluruh penduduk Indonesia. Kini perbandingan antara pribumi dan pendatang hampir sama, yakni 58% : 42%. Umumnya, pendatang menguasai sektor ekonomi menengah ke atas dan secara geografis, mendiami wilayah perkotaan; sementara pribumi Papua umumnya tidak memiliki akses ke sektor ekonomi/bisnis serta lebih banyak tinggal di wilayah pedalaman. Perasaan dan pengalaman terpojok, tersudut, dan tak terlindung inilah yang menjadi sumber gerakan perlawanan rakyat Papua (Hernawan, 2006).

Dalam sejarah Indonesia, pada zaman pemerintah Soeharto, Provinsi Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM), sehingga beberapa kali terjadi Operasi Militer yang dilakukan oleh ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) atau sekarang disebut TNI (Tentara Nasional Indonesia). Pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia menempatkan TNI dalam jumlah besar di seluruh Tanah Papua dan dilakukan operasi besar-besaran terjadi dan menewaskan rakyat Papua dalam jumlah besar.

Operasi Militer yang dimaksudkan adalah Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayuda (1967-1969), Operasi Wibawa (1967-1969), Operasi Pamungkas (1969-1971), Operasi Militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), dan Operasi Sapu Bersih (1985), Operasi Militer di Mapnduma (1996). Kemudian jalan kekerasan setelah pemberlakuan Otonomi Khusus adalah pelanggaran HAM di Wasior (2001), Operasi Militer di Wamena (2003), dan di Kabupaten Puncak Jaya (2004) (Tebay, 2009:2; Giyai, 2010: 91).

Dalam sejarah masyarakat adat Mimika tak bisa melupakan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tahun 1996/1977. Hampir seluruh Pegunungan Tengah dilanda oleh Operasi Militer yang menewaskan atau mengorbankan ratusan manusia tak berdoa dan segala harta bendanya pun dibakar ABRI.

Memoria passionis yang tak bisa dilupakan, mempengaruhi kehidupan generasi selanjutnya saat ini, yang mempengaruhi masa depan kualitas kehidupan, jika tidak ada rekonsiliasi yang lahir dari niat semua pihak, terutama pemerintah. Gereja menganjurkan bahwa setiap umat dilarang melakukan dendaman terhadap orang lain yang melakukan kekerasan terhadapnya, karena ada kesempatan untuk merekonsiliasi diri atau pertobatan atas kelasahannya. Gereja Katolik mengajarkan kepada umat bahwa Tuhan selalu memberi kesempatan untuk merekonsiliasi atau mempertobatkan diri untuk masuk dalam kehidupan baru.

Gereja tidak memihak kepada pelaku kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Tugas utama gereja adalah membela kaum tertindas dan dimarginalisasi. Misi luhur ini adalah misi pembebasan eksistensi manusia dari kedosaan dan kegelapan duniawi (Giyai, 2010: 92-93).

John Rumbiak secara periodik menuliskan bagaimana pemerintah Indonesia telah melakukan “perang” melawan bangsa Papua sejak 1963 dengan serangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh TNI/Polri. Saya akan kutip secara utuh bagaimana periode-periode penindasan terhadap rakyat Papua dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Periode 1963 – 1969 adalah masa transisi di mana sesudah kedaulatan Papua Barat, berdasarkan New York Agreement 15 Agustus 1962, dilimpahkan dari Pemerintah Belanda ke Pemerintah Indonesia dan persiapan menuju ke apa yang disebut Act of Free Choice pada tahun 1969.

Pada masa ini pemerintah dan angkatan bersenjata Republik Indonesia memasukkan ribuan aparat keamanan dan petugas-petugas pemerintah untuk memastikan bahwa rakyat Papua Barat menjadi bagian integral dari Republik Indonesia bilamana Act of Free Choice terjadi. Rakyat diintimidasi, terjadinya penangkapan dan penahanan di luar hukum, pembunuhan-pembunuhan. Akibatnya, hanya 1025 saja dari total 800.000 rakyat Papua waktu itu  yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia untuk secara terpaksa memilih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Periode 1970 – 1984 adalah periode perlawanan rakyat Papua yang memprotes  hasil  Act of Free Choice dalam bentuk berdirinya ‘Organisasi Papua Merdeka’ (OPM) menjastifikasi berlangsungnya operasi-operasi militer di wilayah-wilayah yang diidentifikasi sebagai kantong-kantong gerakan OPM. Ribuan pasukan militer diturunkan di wilayah-wilayah tersebut, kebebasan rakyat dipasung dan pembantaian terhadap rakyat pun digelar. Operasi-operasi militer tersebut antara lain: Kasus Biak (1970/1980), Kasus Wamena (1977), dan Kasus Jayapura (1970/1980). Kasus 1984 di mana Arnold C. Ap dan Eduard Mofu, dua seniman Papua dibunuh dan 12.000 penduduk kemudian mengungsi ke Papua New Guinea.

Periode 1985 – 1995 mencatatkan bagaimana operasi militer untuk menumpas OPM terus dilancarkan aparat keamanan, terutama di kawasan pegunungan tengah Papua Barat. Dari semua peristiwa yang terjadi ‘Kasus Timika 1994/1995’ yang melibatkan PT. Freeport Indonesia yang dilaporkan Keuskupan Jayapura di mana 16 orang dibunuh, 4 orang hilang dan puluhan lainnya ditahan dan disiksa serta 5 perempuan ditahan dan diperkosa.

Periode 1996 – 1998 kembali dilakukan operasi militer menumpas OPM pimpinan Kelly Kwalik yang menyandera para ilmuwan barat di wilayah Mapnduma, Pegunungan Tengah Papua Barat dalam jangka waktu 1996 – 1998. Menurut ELSHAM Papua Barat (Mei 1998), drama penyanderaan ini menjadi alasan bagi pihak militer Indonesia untuk kemudian melanarkan operasi militer baik pada masa penyanderaan, operasi pembebasan sandera dan pasca pembebasan sandera di mana sekitar 35 penduduk sipil dibunuh, 13 perempuan diperkosa, 166 rumah penduduk dan 13 gereja (Gereja Kemah Injil Indonesia) dibakar musnah.

Bersambung…

Penulis adalah staf pendidik/dosen Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (Unipa) Manokwari, Papua Barat.

[1] Esai ini versi awalnya adalah artikel yang diterbitkan dengan judul “Antropologi Gerakan Sosial: Membaca Transformasi Identitas Budaya di Kota Manokwari, Papua Barat” dalam Humaniora, Jurnal Budaya, Sastra, dan Bahasa, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011 (290-300).

[2] Sebagian besar artikel ini saya ambil dari beberapa bab dari I Ngurah Suryawan, Jiwa yang Patah (Yogyakarta: Pusat Bahasa dan Budaya Unipa Manokwari, Papua Barat, dan Kepel Press, 2012).

Artikel sebelumnyaRouw: Anggota DPR Perjuangkan Dana Pembangunan Papua
Artikel berikutnyaJelang Laga Kedua Perdelapan Final, Tim PON Papua Berbenah