Melawan Lupa Tragedi Wamena Berdarah

0
10013

Oleh: Soleman Itlay

Refleksi 15 Tahun, Peristiwa Wamena Berdarah 6 Oktober 2000 – 6 Oktober 2016

Apa yang saya rasakan tentu berbeda dengan orang lain dalam satu peristiwa yang terjadi 15 tahun silam. Itu tidak lain adalah “Tragedi Wamena Berdarah” yang bagi kami orang pribumi tak akan pernah lupakan. Kapan pun bahkan sampai hari ini masih terlukis trauma peristiwa tragis itu. Usia saya tidak cukup matang, tetapi saya sendiri bisa dengar, rasakan dan saksikan dari reaksi masyarakat di kampung saya. Meski tidak terlibat dalam medan pertempuran secara langsung, namun dengan bekal dengar.

Masih ingat betul, ingatan saya masih segar. Kala itu saya masih berusia 7 tahun, kelas 2 di sebuah sekolah dasar Inpres “Sumunikama”, ufuk timur Hugulama, Lembah Baliem, Wamena.

Semasa kecil saya lahir dan besar di perkampungan, daerah yang memang cukup jauh jaraknya dari kota Wamena. Syukur, paling tidak dari angkatan kami termasuk saya bisa mengenang kisah ini dan ingat selalu, disamping rasa trauma yang besar.

ads

Bagi kami yang tinggal di daerah pedesaan seperti kampung halaman saya yang jaraknya paling kurang 30 Km dari kota “Wio Silimo” atau Wamena kota, memang sedikit kesulitan dalam mendapatkan informasi dan perkembangan dengan cepat. Paling tidak, peristiwa itu pecah pagi sekitar pukul delapan lewat. Sementara masyarakat di kampung saya baru bisa mendapatkan informasi sekitar pukul sembilan lewat. Sesuai mata pencahariaan masyarakat setempat adalah bertani, sebagian besar masyarakat dari pagi sudah pergi ke kebun.

Informasi ini begitu cepat meluas di wayang kota Wamena, bahkan seluruh pedalaman di daerah administrasi kabupaten Jayawijaya yang mencakup beberapa pemekaran daerah otonom baru, seperti Tolikara, Pegunungan, Bintang, Yahukimo, Tolikara, dan beberapa kota kabupaten lain yang saat itu masih kecamatan (distrik).

Di kampung halaman saya, semua masyarakat dari usia kecil sampai tua saling memberi tahu satu sama lain mulai dari keluaga, kelompok, dan organisasi yang ada. Bahkan, bagi masyarakat yang dusun kebunnya di perbukitan mendapat signal informasi duluan dari gumpalan asap yang naik ke langit dan bunyi tembakan di pusat kota Wamena. Kemudian yang lain lagi terutama bagi masyarakat yang bekerja di tempat yang persembunyian, sulit membaca situasi kota dan sekitar karena takurung dengan perbukitan yang mengelilingi kebun.

Saat itu saya saksikan sendiri, bahwa masyarakat panik betul, baik mereka yang pulang dari kebun maupun yang ada di rumah.

Semakin melebarnya isu ke semua orang di kampung, bertegang pula situasi hampir Wamena termasuk kampung saya. Dari jalan-jalan sampai di rumah-rumah pemukiman warga terus mendiskusikan isu yang sedang beredar. Lambat laun cerita dari satu kepada yang lain berkembang sampai situasi benar-benar tegang. Bahkan, peristiwa itu seolah terjadi di kampung itu.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Ada teriakan salah seorang anggota masyarakat dari jalan umum, pokoknya jauh dari tempat tinggal saya, tidak kenal, tetapi saya ingat betul teriakannya. Katanya dalam bahasa daerah, “Ou ou ou, Wamena kacau, kota kacau”. Teriakan itu kemudian membuat warga yang tadinya setengah percaya dan yang masih penasaran itu berbondong-bondong keluar di jalan umum. Semua orang kampung itu terus cari tempat, bahkan beberapa perbukitan di kampung dibanjiri dengan manusia, hanya untuk melihat asap yang membumbung ke langit dan rententan senjata di pusat kota, Agamua.

Hal ini kemudian semakin memberikan kepastian kepada warga, bahwa di kota Wamena benar-benar terjadi kerusuhan besar-besaran. Kemudian, kebenaran tersebut diperjelas lagi dengan Satgas “Papua Merdeka” di kampung itu. Sekalipun beberapa titik posko di kota Wamena telah dibakar bahkan bendera suci “Bintang Fajar” dipotong dengan gergaji dan dibakar, tetapi bendera di kampung itu terus berkibar. Mungkin karena kampungnya jauh dari kota atau apa. Namun cerita yang saya dapat dari orang tua, bendera di posko tetap berkibar, kita harus waspada.

Perlahan, semua tua-tua adat, anak muda dan perempuan yang masih kuat mulai berkumpul di sebuah honai adat. Anak-anak kecil seumuran saya, waktu itu usia saya 7 tahun, dilarang keras untuk mendengar cerita yang berkembang. Malah kami diarahkan ke setiap mama kami untuk tinggal bersama mereka. Sepertinya mereka membahas perkembangan di kota dan setiap orang diberikan arahkan untuk bersiap-siaga di kampung masing-masing.

Karena takut, saya bersama sahabat saya Frans Hisage lari ke hutan. Kami berdua menetap di hutan selama satu hari, tepat pada 6 Oktober 2000.

Kami tidak sadar, kalau orang tua kami akan sibuk mencari kami. Karena terlalu panik dan situasi yang semakin tegang membuat orang tua tidak tenang, bahkan sedikit pun tidak memikirkan tentang anak-anaknya. Mereka kaget ketika kami tiba pada pagi hari.

“Ah, kamu dari mana saja? Saya sama sekali tidak memikirkan tentangmu, anaku. Mama panik sekali dengan situasi ini, kita nanti kemana?” sahut mama sambil memeluk saya. Mereka terus melanjutkan cerita yang tadinya terpotong dengan kehadiran saya pagi itu.

Pada malam sebelumnya, saya dengan teman karib saya, Frans Hisage bermalam di hutan dekat perbukitan, bersebelahan dengan rumah dan jalan umum. Pada malam itu, sekitar pukul 5:30 Waktu Papua, semua orang dari kampung yang paling ujung dan kampung sekitarnya menuju ke kota Wamena. Pokoknya, banyak jumlah orang waktu itu. Saya bersama teman berusaha keluar di jalan umum, jaraknya tak jauh dari tempat persembunyian kami. Saya lihat semua orang menggunakan peralatan tradisional seperti panah, busur, tombak, termasuk kampak, parang, pisau, dan kumpul di lapangan besar, lalu menuju ke arah kota Wamena.

Baca Juga:  Kegagalan DPRD Pegunungan Bintang Dalam Menghasilkan Peraturan Daerah

Hari berikutnya, 7 Oktober, semua orang yang ke kota itu mulai balik menuju halaman kampung, termasuk orang tua saya. Kami yang tadi baru tiba dari hutan, tidak lama kemudian keluar ke jalan besar ramai-ramai. Sebagian pulang ke rumah, yang lainnya duduk di tempat dimana semua orang berkumpul sebelum ke kota dalam bahasa Hugula disebut “Etai Silimo”. Saat itu masyarakat yang tinggal di rumah memberikan perkembangan di kota, tetapi saya langsung pulang, hanya gara-gara ketakutan.

Tetapi saya dengar ketika bapak saya cerita pada semua keluarga di rumah. Katanya, “Banyak korban orang Wamena, Papua juga ada sebagian dari pendatang.”

Dari kejadian ini banyak orang menjadi sasaran timah panas, pedang, tombak, busur, kampak, parang, dan harta yang berujung pada kehilangan nyawa dan kerugian besar. Banyak orang kehilangan keluarga terkasih, akibat peristiwa tragis ini, pula yang lainnya mengalami kerugian besar ratusan sampai miliaran rupiah. Korbannya tak hanya pihak orang asli Papua, tetapi juga sebagian dari pendatang yang lama mengabdi di Hugulama, kabupaten Jayawijaya.

Sungguh, “Tragedi Wamena Berdarah” sebetulnya tidak perlu terjadi jika pendekatan dialog damai menjadikan sebagai jembatan negosiator sebagai sebuah solusi penyelesaian masalah. Kedua pihak, diantara pihak aparat gabungan TNI, Polri dan masyarakat Papua di Wamena saling bertahan prinsip. Aparat keamanan bersih keras, meminta masyarakat harus menurunkan bendera. Sementara masyarakat tak mau kasih turun bendera “Bintang Fajar” yang berkibar di beberapa titik kota Wamena, dengan alasan ini perintah dari presiden Gus Dur. Hal ini mengakibatkan sedikitnya 30 orang tewas dan 40 lainnya luka berat.

Pasca terjadinya tragedi ini, cukup menarik perhatian para publik. Kini kita baru saja melewati tanggal 6 Oktober, kurang lebih dua hari yang lalu. Dari seminar, lokakarya, diskusi panel yang dilaksanakan di beberapa tempat yakni Wamena, Jayapura dan di luar Papua yang menghadirkan semua elemen masyarakat seperti para advokat, penyidik, TNI, Polri, pemerhati HAM, LSM, pimpinan Gereja, organisasi mahasiswa, pemuda, perempuan, sudah tahu semua. Bahkan, dari forum itu mengulas lebih dalam sampai melahirkan langkah-langkah solusif. Tetapi, sampai saat ini tragedi tragis ini belum tuntas.

Perbedaan penafsiran diantara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung menjadi kendala utama guna mendorong kasus ini lebih lanjut. Komnas HAM memakai Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, sementara Kejaksaan Agung menggunakan KUHP. Hal ini memperpanjang proses kasus Wamena Berdarah yang seharusnya bisa selesaikan pada tahun 2005, namun sampai sekarang masih terapung diatas perbedaan penafsiran.

Baca Juga:  23 Tahun Otsus, Orang Asli Papua Termarginalkan

Jika memang demikian, semua pihak yang merasa prihatin akan bertanya-tanya dan akan menilai bahwa penegakkan hukum masih tumpul.

Kasus ini sudah cukup data untuk menyelesaikan. Negara mempunyai peluang dan kesempatan terutama memperbaiki citra instansi negara seperti TNI/Polri, Komnas HAM, Kejaksaan Agung yang kini semakin kehilangan kepercayaan di mata masyarakat. Data dari LSM dan pemerhati telah sediakan, tungggu apa lagi. Saatnya negara bersikap jujur pada negaranya terutama pada keluarga korban yang tak kunjung rasa adil. Bila biarkan begitu saja, percaya atau tidak, citra lembaga yang selama ini membesarkan ataupun mengharumkan nama baik negara, perlahan akan mencemari nama baik bangsa dan negara.

Telah kita ikuti bersama, isu politik di Papua saat ini semakin hangat di dunia. Internasionalisasi isu “Papua Merdeka” menjadi perhatian dunia internasional melalui negara-negara Melanesia di kawasan Pasifik. Bahkan pada akhir September lalu, enam negara di Pasifik yakni: Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvulu dan Tonga, pada sidang majelis umum PBB ke-71 di New York, Amerika Serikat. Indonesia menganggap tudingan negara-negara Pasifik tersebut sepele, tetapi ini bisa saja mengganggu kedaulatan Papua dalam NKRI.

Negara-negara Pasifik itu, tidak sendiri. Jelas-jelas mereka bersama orang asli Papua juga termasuk keluarga korban yang dilakukan negara melalui kaki tangan TNI/Polri terhadap orang Papua. Tanpa orang Papua dan tanpa kasus termasuk “Tragedi Wamena Berdarah”, enam negara itu tidak akan bicara. Karena penanganan kasus pelanggaran HAM di Papua oleh negara terlalu lama, membuat orang Papua berjuang melalui saudaranya sendiri: negara-negara Melanesia di kawasan Pasifik.

Bahkan sejago mantan menteri koordinator Polhukam, Luhut Binsar Pandjaitan, menjadi ketua penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, tidak berhasil, gagal total. Kasus Wamena Berdarah ini menjadi kasus prioritas saat Luhut jadi ketua tim, tetapi anehnya belum selesai, beliau diganti lagi. Akankah Menkopolhukam yang baru, Wiranto, mampu selesaikan? Oh, sayang, terlambat, pasti.

Kesempatan terakhir untuk menyelesaikan kasus ini ada di dua lembaga negara yang hingga saat ini berbeda pendapat, yakni: Komnas HAM dan Kejaksaan Agung RI. Kalau tidak, “Tragedi Wamena Berdarah” juga kasus-kasus lain yang melanggar Hak Asasi Manusia, orang asli Papua, di bumi Cenderawasih, akan menjadi kesempatan bagi kelompok United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), melalui MSG dan PIF untuk selesaikan masalah Papua. Kalau Indonesia tidak mau serius dengan kasus tersebut, akhir kata saya ucapkan: “Selamat Beranjak Kaki Anda, Indonesia”.

Penulis adalah Anggota Aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang St. Efrem Jayapura, Papua.

Artikel sebelumnyaNara Masista Rakhmatia dan Pembohongan Publik Atas Nama Kedaulatan Negara
Artikel berikutnyaGNPK-RI Akan Audit Dana Akhir Studi dan Pemondokan Mahasiswa Deiyai