Nara Masista Rakhmatia dan Pembohongan Publik Atas Nama Kedaulatan Negara

2
4302

Oleh: Naftali Edoway

Pembohongan publik (weapon of mass deception) tak kalah dahsyatnya dengan senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction). Pembohongan publik itu bisa dilakukan oleh siapa saja terutama oleh orang-orang pengaruh atau pun pejabat negara melalui pidato, pernyataan, buku dan melalui ketetapan negara yang dikeluarkan oleh penguasa. Kebohongan-kebohongan itu dilakukan hanya untuk mempertahankan kedudukan, menutupi kebohongan sebelumnya dan menutupi fakta yang sesungguhnya.

***

Bulan September tahun 2016 ini menjadi bulan yang mengusik negara Indonesia lantaran isu Papua yang semakin memanas di luar negeri, khususnya serangan dalam sidang PBB. Dua Presiden dan empat Perdana Menteri dari wilayah Pasifik menyoroti pelanggaran HAM di Tanah Papua dan mendukung Papua Barat menentukan nasibnya sendiri dalam forum itu.

Menanggapi itu, Indonesia, melalui diplomatnya, Nara Masista Rakhmatia, menjawab semua pernyataan itu. Saya mencatat beberapa poin dari jawaban diplomat itu, yakni: 1)  Sorotan para pemimpin negara-negara Pasifik itu hanyalah sindiran dan manuver politik yang tidak bersahabat dan retoris. 2) Pernyataan ke enam pimpinan negara Pasifik itu bernuansa politik dalam mendukung kelompok separatis yang melakukan serangan teroris bersenjata terhadap masyarakat sipil dan aparat keamanan. 3)  Pernyataan para pemimpin negara Pasifik itu melanggar Tujuan Piagam HAM PBB dan Prinsip Hukum Internasional soal persahabatan antarnegara dan kedaulatan suatu negara. 4) Informasi yang diterima oleh negara-negara Pasifik (soal HAM) adalah salah dan mengada-ada. 5) Indonesia sudah menjadi Anggota Dewan HAM PBB, telah ikut menggagas Komisi HAM antarpemerintah ASEAN dan komisi independen permanen OIC, lalu telah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen utama HAM. 6) Indonesia adalah negara demokrasi yang berkomitmen tinggi terhadap promosi dan perlindungan HAM di semua level. 7) Ada mekanisme domestik di Indonesia dalam menyelesaikan persoalan dan pembangunan akan terus dilakukan di Papua dan Papua Barat untuk kepentingan terbaik semua.

ads
Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Hak jawab dari perwakilan Indonesia itu kemudian mendapat dukungan dari berbagai kalangan di dalam negeri. Dukungan itu bermunculan karena anggapan bahwa Indonesia telah berhasil menyerang para pemimpin negara Pasifik. Tetapi ada juga warga negara Indonesia yang justru mengkritik apa yang disampaikan diplomat cantik Indonesia itu.

Terlepas dari itu, saya sebagai korban (orang Papua) ingin menjawab poin-poin pernyataan yang disampaikan perwakilan Indonesia di forum PBB itu.

Pertama, bahwa apa yang disampaikan oleh para pemimpin Pasifik adalah realitas bukan retorika, bukan mengada-ada, dan bukan sindiran belaka. Faktanya, telah banyak kasus pelanggaran HAM, misalnya Wamena berdarah, Abepura berdarah, Biak berdarah, Paniai berdarah, dan lain sebagainya.

Kedua, bahwa tidak ada teroris bersenjata di Papua. Yang ada adalah gerakan perlawanan rakyat sipil melawan kekerasan negara. Sehingga diharapkan gerakan rakyat seperti itu tidak dikriminalisasi.

Ketiga, isu HAM adalah isu universal yang tak dapat dibatasi oleh kedaulatan suatu negara, yang kemudian bisa saja mengesampingkan persahabatan demi kemanusiaan.

Keempat, walaupun Indonesia sudah meratifikasi instrumen HAM internasional, pada prakteknya masih saja terlihat praktek pelanggaran HAM dalam semua level di Papua. Jadi, meratifikasi instrumen HAM bukan berarti tidak akan mendapat kritikan soal HAM.

Kelima, Jakarta tidak pernah punya niat yang baik untuk menyelesaikan masalah Papua. Orang Papua sudah menawarkan dialog, tetapi Jakarta tidak pernah menanggapinya. Mekanisme domestik yang digunakan Jakarta dalam menyelesaikan masalah justru menambah pasukan organik dan non organik di Papua. Jakarta malah melancarkan pembangunan infrastruktur yang sesuai dengan kemauan dan keinginannya yang dikerjakan oleh TNI/Polri. Bahkan, belakangan membentuk tim ad hoc yang tidak independen untuk menyelesaikan beberapa kasus pelanggaran HAM di Papua.

Pembohongan Publik

Pernyataan Nara Masista adalah pembohongan publik. Pembohongan seperti itu pernah juga dilakukan oleh para pemimpin dunia. Bush berbohong kepada rakyat Amerika melalui pidatonya, state of the Union, pada Januari 2003. Colin Powell berbohong di depan Dewan Keamanan PBB, dan lain-lain.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh diplomat Indonesia dalam sidang PBB itu mengulangi beberapa pernyataan yang pernah disampaikan oleh para petinggi negara kepada publik melalui media. Pertama, pernyataan disampaikan oleh Wakil Presiden Indonesia, Yusuf Kalla, menjawab pernyataan dari pemerintah Australia yang menyebutkan Indonesia telah banyak melakukan pelanggaran HAM di Papua. Wakil Presiden saat itu meminta negara tetangga itu untuk membuktikan sebutan pelanggaran HAM yang ditujukan kepada Indonesia, karena baginya tudingan itu tak berdasar .

Berikutnya, wakil menteri luar negeri Indonesia, A.M. Fachir, ketika menanggapi hasil komunike soal Papua dalam KTT Pacific Islands Forum (PIF) yang berlangsung 7-11 September 2015 di Port Moresby, Papua New Guinea,  menyampaikan beberapa hal: (1) Berbagai tuduhan pelanggaran HAM di Papua sangat tidak berdasar. Hal itu merefleksikan pemahaman yang salah terhadap fakta yang sesungguhnya. (2) Sebagai negara demokratis, Indonesia sangat menjunjung tinggi supremasi hukum dan penghormatan terhadap HAM. Indonesia memiliki mekanisme HAM nasional yang berfungsi dengan baik yang belum tentu dimiliki oleh sebagian negara PIF. (3) Pembangunan selama ini di Papua berlangsung sangat baik. Bahkan, jauh lebih maju dari sebagian negara kepulauan di Pasifik .

Kebohongan yang lainnya disampaikan oleh Bambang Darmono, dalam sidang Komite Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosob) PBB di Jenewa tanggal 30 April-1 Mei 2014. Ketika Bambang yang menjabat sebagai kepala UP4B saat itu ditanya soal kemiskinan yang tinggi di Papua, ia menjelaskan bahwa penambahan jumlah kabupaten telah mengurangi jumlah kemiskinan. Namun ia tidak menjelaskan jumlah masuknya migran ke Papua yang membuat orang Papua terus  berada di tingkat kemiskinan yang tinggi dan minim akses pendidikan dan kesehatan .

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Realitas HAM di Papua

Bagi kami para korban kekerasan negara (Orang Asli Papua), semua pernyataan yang dikeluarkan pejabat negara atas nama negara adalah pembohongan publik. Barangkali apa yang disampaikan Jennie S. Bev, dalam artikelnya, “Indonesia: The land of liars, criminals and frauds?” benar. Mengapa kami katakan Indonesia sedang berbohong?

Pertama, kasus kekerasan negara masih terus terjadi hingga dewasa ini. Misalnya, tanggal 8 Desember 2014, anggota TNI menembak mati 4 orang pelajar di Paniai, penembakan dan pembunuhan terhadap aktivis di Yahukimo (20/3/2015), penembakan terhadap Yoseni Agapa di Ugapuga Dogiyai (26/6/2015),  kasus Tolikara yang menewaskan Endi Wanimbo (15) dan melukai 11 orang (17/7/2015), penembakan oleh anggota TNI di Timika yang menewaskan Yulianus Okoare (23) dan Emanuel Mairimau (23) serta melukai beberapa warga Kamoro, dan kasus lainnya.

Kedua, hak berdemokrasi orang Papua masih dibatasi oleh negara. Misalnya, aksi Gerakan Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR) mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), dalam pertemuan PIF di Port Moresby, dibubarkan oleh aparat Kepolisian Resort Kota Jayapura.

Ketiga, pembangunan yang memiskinkan orang Papua masih terlihat. Sampai hari ini sebagian besar orang asli Papua masih hidup dalam kemiskinan karena pembangunan yang tidak memberdayakan. Masih banyak orang Papua yang terpinggirkan karena pembangunan yang bias pendatang. Mall dan ruko yang dibangun di Papua bukan milik orang Papua. Jalan trans Papua yang dibuka dikerjakan oleh TNI/Polri, bukan pengusaha orang asli Papua.

Akhirnya, pembohongan publik yang dilakukan oleh Nara Masista, dan para pejabat negara lainnya adalah penghianatan terhadap konstitusi, hati nurani dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Semoga kebenaran melucuti kebohongan demi kemanusiaan.

Penulis adalah pengamat sosial di Tanah Papua. Tinggal di pinggiran Numbay.

Artikel sebelumnyaAntropologi dan Gerakan Sosial: Perspektif Papua (Bagian 2)
Artikel berikutnyaMelawan Lupa Tragedi Wamena Berdarah