Nara itu Topeng Pemimpin Indonesia

0
2758

Oleh: Benny Mawel

Orang Indonesia, kecuali aktivis HAM dan yang berlogika nurani kemanusiaan, puja-puji aksi Nara Masista Rakhmatia, diplomat mudanya mengcounter pernyataan tujuh negara Pasifik yang menyatakan keprihatinan atas situasi pelanggaran HAM yang terabaikan di Papua.

Usianya masih muda, 34 tahun, dan parasnya cantik. Media Indonesia lebih menonjolkan parasnya, daripada mendiskusikan inti masalah yang menjadi keprihatinan 7 negara Pasifik.

Masalah HAM yang menjadi keprihatinan memang dilupakan, dan itu bukan hal baru bagi orang Papua. Orang Papua tidak kaget dan tidak heran dengan itu. Orang Papua biasa saja. Orang Papua sudah lama tahu Indonesia tidak peduli dengan kemanusiaan manusia Papua. Indonesia hanya membutuhkan kekayaan alam Papua. Indonesia mengincar kekayaan alam sejak presiden Soekano memaklumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961.

Maklumat itu menyerukan agar membubarkan Negara Papua Barat boneka buatan Belanda, Kibarkan bendera Merah Putih, dan menyiapkan diri untuk mobilisasi umum. Soekarno berani mencetuskan Trikora karena sudah meminta dukungan ke Amerika. Soekarno bertemu presiden Amerika John F. Kenedy pada 24 April 1961.

ads

Kenedy menyambut Indonesia demi saham dalam perusahaan minyak di Sorong. Dan, rencananya kemudian di Freeport serta kepentingannya menarik Indonesia ke Block Barat. Usaha saling memanfatkan berhasil. Amerika dan Indonesia menandatangani Kontrak Karya Freeport pada 1967. Tiga tahun sebelum pelaksanaan PEPERA 1969.

Kontrak Freeport itu sebenarnya menentukan hasil PEPERA. Pelaksanaan PEPERA sebenarnya formalitas belaka atau pura-pura Penentuan Pendapat Rakyat. Karena Amerika dan Indonesia sudah sepakat Papua menjadi bagian dari Indonesia dengan harapan Freeport milik Amerika.

Tindakan pilihan bebas pura-pura itu sebenarnya tidak perlu. Tidak perlu intimdasi dan teror, bahkan pembunuhan terhadap orang Papua. Karena, apapun caranya, Amerika bisa merubah hasil PEPERA walaupun rakyat menentukan merdeka.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Tetapi karena memang mengincar kekayaan alam Papua, tidak membutuhkan kemanusiaan manusia Papua, momen PEPERA dijadikan ajang dan permulaan untuk membantai orang Papua. Pembantaian demi mengontrol atau menghilangkan suara-suara penolakan atas perebutan kekayaan alam Papua.

Sikap Indonesia itu terus menerus dilakukan yang menjadi keprihatinan negara-negara Pasifik. Negara-negara Pasifik mencium itu melalui upaya orang Papua keluar dari penderitaannya. Upaya itu memang menganggu kenyamanan Indonesia atas hasil kekayaan alam Papua dengan mengorbankan rakyat Papua.

Indonesia sebagai negara demokrasi tentunya malu bahwa negara-negara lain telah mencium bauh busuk kejahatannya. Pemimpinnya tidak mau menanggung beban malu itu di forum terhomat yang mempertaruhkan harga diri bangsa itu. Pemimpinnya memilih menggunakan topeng wayang yang namanya Nara.

Nara yang tidak tahu menahu persoalan membacakan teks kehendak pemimpinnya dengan lantang dan tegas, seolah-olah itu kebenaran. Nara hanyalah ibarat pepatah kuno “lempar batu sembunyi tangan”. Nara diutus dalam ketidaktahuan, membaca pernyataan pemimpin negara untuk mengatakan apa saja sejauh pengetahuan bagaimana mempertahankan kedaulatan, bukan berdebat soal fakta?

Nara hanya seorang yang mengkawal kepentingan, menutup malu pemimpin negara yang merancang kejahatan di Tanah Papua. Karena itu penting soal ini, mengapa Presiden atau Wakil Presiden yang tidak menggunakan hak jawab, tetapi mulut Nara?

Nara, dalam ketaidaktahuannya, memang merasa penting mengambil peran ini. Penting karena Nara mengejar karier dan imbalannya. Demi itu saja, Nara tampil membuat orang Indonesia demam, menjadi pusat pujian dan celaan rakyat Indonesia.

Media-media di Indonesia memujinya dan menyebut Nara sebagai “diplomat muda yang berani membungkam tujuh negara Pasifik”. Kata bungkam dan argumen yang Nara memang membungkam suara dan teriakan orang Papua. Kata membungkam itu memang lazim media Indonesia untuk membungkam suara rakyat penderitaan Rakyat Papua.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Kata bungkam, dengan jelas, media Indonesia memperlihatkan bagaimana cara Indonesia membungkam suara dan penderitaan rakyat Papua yang tersalur melalui enam negara itu.

Tujuh Negara itu tidak tampil begitu saja, sebagaimana yang dimaksudkan, tetapi itu melalui proses kerja orang Papua yang diisolasi puluhan tahun lamanya.

Keprihatinan tujuh negara (ditambah Palau setelah enam negara) terhadap Papua itu membuktikan Orang Papua tidak tinggal diam ketika kolonial bungkam dan isolasi. Hasil kerja keras orang Papua itulah yang terdengar di forum terhormat itu. Suara itu pasti akan bertambah karena orang Papua yang tertindas masih teriak.

Jadi, tuduhan Indonesia terhadap tujuh negara itu bicara tanpa mengetahui dan melihat masalah Papua adalah salah. Tujuh negara itu suara korban, suara kebenaran yang diplomat para objek pujian itu sebut separatis itu, bukan suara siapa-siapa. Sebaliknya, Indonesia melalui topengnya sampaikan, jauh dari fakta pembangunan dan HAM di Papua. Suara topeng bukan suara korban, melainkan suara pelaku, sama dengan pencuri yang tak pernah mengaku kalau dia pencuri.

Satu hal yang memalukan, Indonesia mengatakan telah meratifikasi 8 dari 9 kovenan HAM dibanding Kepulauan Solomon dan Vanuatu. Keberhasilan itu bukan keberhasilan pemerintah, melainkan meningkatnya keprihatinan masyarakat sipilnya. Masyarakat sipilnya yang prihatin terhadap masalah HAM.

“Asumsinya begini, semakin banyak meratifikasi bukan berarti semakin baik penegakkan HAM, melainkan semakin meningkatnya keprihatinan. Pentingnya ratifikasi supaya ada perlindungan terhadap masalah berkaitan dengan instrument yang diratifikasi,” ujar Dominikus Surabut dalam diskusi di Abepura kota Jayapura, Papua.

Asumsi itu benar, walaupun banyak ratifikasinya, karena ratifikasi banyak kovenan karena desakan masyarakat sipil, Indonesia tidak menangani masalah pelangaran HAM di Papua dengan baik. Komitmen pegakan HAM di Papua masih menjadi masalah. Jauh dari pernyataan Narah di forum terhormat itu.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Misalnya, kasus terbaru, penembakan 4 siswa di Paniai pada 8 Desember 2014, presiden Jokowi sendiri menyatakan prihatin. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim ad hoc Paniai, namun tidak jelas jejaknya hingga hari ini.

Sangat memalukan lagi, Mayjen Hartomo, mantan Dansatgas Tribuana 10, sebuah Satgas Kopassus, yang bertugas di Jayapura yang terlibat membunuh Theys Hiyo Eluay, ketua Dewan Adat Papua pada 2001, menjadi kepala Badan Intelegen Strategis (BAIS) pada 2016 ini.

Padahal, Hartomo, yang sebelumnya menjabat Gubernur Akademi Militer (Akmil), pada tahun 2003 (saat berpangkat Letnan Kolonel) dijatuhi hukuman 3 tahun 6 bulan penjara karena terbukti terlibat dalam pembunuhan Theys. Hartomo kemudian dipecat dari dinas militer oleh Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) III Surabaya.

Apakah itu yang topeng Indonesia maksudkan ada perubahan di Papua? Apakah itu yang dimaksud ratifikasi 8 konvenan HAM? Apakah pelanggar HAM menjadi kepala BAIS itu bukan impunitas terhadap pelanggaran HAM di Papua?

Ketika menyaksikan video Nara, salah satu yang sangat memalukan dirinya sendiri adalah bahasa tubuh nara bertolak belakang dengan argumen bantahannya.

“Ketika seseorang menunjukkan jari terlunjuknya pada orang lain, jari jempolnya otomatis menunjuk pada wajahnya sendiri. Terima kasih,” kata Nara di akhir hak jawab Indonesia.

Bahasa tubuh Nara menunjuk dirinya sendiri, pemerintah Indonesia. Dimana tiga jari diarahkan pada dirinya sendirinya. Satu ekspresi moralitas yang jujur, bahwa Indonesia sedang melakukan keprihatinan 7 negara Pasifik itu.

Kata-kata boleh menipu, tetapi bahasa tubuh dan kebenaran tidak akan pernah tipu.

Penulis adalah wartawan di Koran Jubi dan tabloidjubi.com

Artikel sebelumnyaKolonialisme Indonesia dan Pelanggaran HAM Adalah Satu Kesatuan
Artikel berikutnyaAntropologi dan Gerakan Sosial: Perspektif Papua (Bagian 2)