Mendengar Tangisan Mama Papua

0
3128

Oleh: Meki Mulait

Alienasi makro secara ekonomi: Dalam persaingan dunia untuk menjadi yang terkaya dan terkuat, hal pertama dan utama diperjuangkan adalah kekuatan ekonomi. Kekuatan ekonomi memberikan gambaran akan kekuatan suatu negara.

Persaingan negara adidaya Amerika versus Unisoviet dan kini mulai muncul Tiongkok bertolak dari penguasaan secara ekonomi. Dengan ekonomi yang kuat, akan memperkuat basis pertahanan di seluruh wilayah dunia dan meningkatkan pertahanan militernya.

Neraca terbalik diterapkan oleh bangsa penjajah kepada bangsa yang dijajah. Kekuatan pertama yang dilumpuhkan adalah potensi kebangkitan dalam hal ekonomi. Mengapa? Bila bangsa yang terjajah kuat secara ekonomi, bangsa penguasa sulit mengembangkan bisnis dan ekonomi di wilayah jajahannya. Dengan menekan secara ekonomi, maka potensi lokal untuk membangkitkan ekonomi lokal secara perlahan dimatikan dan masyarakat setempat tidak berdaya dihadapan para penguasa.

Mengalienasi masyarakat lokal dari kehidupan ekonomi berarti membuat hidupnya tergantung kepada penguasa (pemodal). Itu artinya, masyarakat lokal dikondisikan untuk menjadi asing secara ekonomi di negerinya sendiri. Papua sedang mengalami situasi ini.

ads

Apa indikasinya? Mari kita lihat kenyataan riil yang terjadi di Tanah Papua saat ini.

Secara antropologis (sistem ekonomi) masyarakat Papua terbagi dalam dua kelompok besar, yakni wilayah Pantai yang bermata pencaharian nelayan, mencari ikan, menokok sagu, dan wilayah pegunungan bermata pencaharian berkebun, berburu dan beternak.

Dari dua sistem pencaharian ini, mental/karakter orang Papua gunung adalah bercocok tanam, dan masyarakat Pantai adalah meramu, menokok. Jika ditinjau dari peluang ekonomi, sangat mungkin dan bisa dikembangkan terutama karakter dan mental orang gunung yang berkebun. Mereka punya sistem perkebunan, dimana dalam pengelolaannya punya perhitungan ke depan.

Ketika membuat kebun baru, mereka tidak akan memanen secara serentak sebagaimana memanen jagung ataupun kacang (sekali panen/cabut). Mereka akan mengambil umbian secara bertahap dalam jangka waktu dua-empat bulan. Sambil mempertahankan hidup dari kebun lama, mereka akan membuka kebun baru sebagai stok cadangan untuk kehidupan ke depan. Ini artinya, secara potensial, mental masyarakat dalam sistem ekonomi perhitungan untung rugi dan tabung menabung sudah ada.

Ironisnya, mental masyarakat Papua yang sudah ada dan dihidupi bertahun-tahun lamanya terutama sebelum berkontak dengan dunia luar dan kini dengan masyarakat Indonesia lain sedang dan sudah tercabut dari akarnya. Masyarakat Papua sudah dikondisikan dengan bantuan jadi (siap saji) melalui bantuan Beras Miskin (Raskin).

Model bantuan orang miskin dari tempat lain sudah dipraktekkan dalam kehidupan orang Papua. Bantuan Raskin esensinya untuk orang miskin yang sudah tidak memiliki potensi maupun tempat untuk mengolah tanah. Atau bantuan-bantuan darurat seperti karena tertimpa musibah banjir atau kekeringan. Tanpa menyadari esensi dari bantuan itu, masyarakat Papua sudah dikondisikan untuk hidup sebagai manusia yang tidak memiliki kemampuan mengolah tanah dan hidup di negeri yang tidak punya lahan untuk mengolah tanah demi kehidupan. Bantuan itu telah membuat mental masyarakat Papua malas kerja dan hanya mengharapkan bantuan. Ini fakta Papua saat ini.

Pada sisi yang lain; pemerintah daerah yang adalah anak-anak Papua sendiri semenjak Otonomi Khusus diterapkan tahun 2001, yang sejatinya diharapkan menjadi penyambung dan penyangka keselamatan masyarakat Papua, hasilnya justru sebaliknya. Mereka seakan mencabut dan tercabut dari akarnya sendiri.

Mereka sudah tidak peduli lagi untuk merefleksikan kembali akar dan kekuatan orang Papua dalam mempertahankan dan mengembangkan hidup. Dengan sistem birokrasi penjajah, mereka turut mempraktikkan cara penjajah itu sendiri. Ini bukan ilusi, tetapi nyata yang sedang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat Papua.

Baca Juga:  Menghidupkan Kembali Peran Majelis Rakyat Papua

Kita dapat membayangkan betapa sulit menerapkan regulasi untuk melindungi Mama-mama Papua yang menjual barang dagangan, seperti pinang, sagu, dan makanan khas lokal lainnya. Yang menjadi komsumsi publik hanyalah wacana pembuatan regulasi perlindungan tanpa penerapan di lapangan.

Sekarang dari sedikit harapan yang menjadi pegangan Mama-mama Papua yang disingkirkan secara ekonomi sudah diambil alih oleh para pedagang pendatang. Ini bukanlah alegori yang menggambarkan situasi, melainkan realitas Papua yang terpatri dalam sistem ekonomi masyarakat kecil yang tersingkirkan. Itu belum terhitung sistem ekonomi kelas menengah ke atas. Kita dapat saksikan sendiri, pinang, sagu, keladi, singkong, ikan bakar yang dulunya menjadi kekhasan Mama-mama Papua, kini sudah berubah wajah menjadi nusantara.

Ke depan kita sulit bayangkan apa yang akan menjadi pegangan dari Mama-mama Papua kalau hal sekecil dan sesederhana itupun sulit dilindungi oleh pemerintah daerah yang adalah anak-anak Papua sendiri. Situasi ini berkata, ternyata Otsus yang hadir dengan dalil memproteksi hak-hak dasar orang asli Papua jauh lebih kejam ketimbang masyarakat Papua hidup tanpa bayangan-bayang Otsus. Ternyata Otsus membuka peluang bagi anak-anak Papua untk menindas Mama yang melahirkan dari rahimnya sendiri. Durhakanya hai kau yang memanfaatkan miliaran rupiah disamping penderitaan Mamamu yang melahirkan dengan susah payah dan penderitaan seakan maut menjemputnya. Sungguh sedihnya harapan pada anaknya sendiri yang mestinya membawa berkah, ternyata berbalik dan menimbulkan kecelakaan yang jauh lebih kejam.

Realitas lain memberikan gambaran yang cukup representatif mengenai lemahnya peran pembuat kebijakan. Kita kenal dan bangga dengan Papua sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi. Bicara ciri ke-Surga-an Papua terhadap kekayaan alam yang melimpah itu terlalu jauh.

Mari kita lihat hal yang sederhana terutama potensi tanah yang Tuhan sediakan di negeri ini. Kita bangga dengan Papua sebagai tanah yang subur. Barang apa saja dapat tumbuh di sini. Menanam sesuatu di Papua tidak butuh pupuk organik/buatan. Tanah Papua cukup perawatan yang intensif, hasilnya sungguh luar biasa. Bahkan sesuatu yang hanya ditaruh tanpa ditanam pun dapat tumbuh. Apalagi bila sesuatu itu ditanam dengan suatu perawatan dan pengolahan yang baik, tidak butuh pupuk dan waktu lama, hasilnya pasti menjamin dan memuaskan. Bila kemudian ada yang menggunakan pupuk buatan/organik itu bukan pertama-tama karena tanah tidak subur. Namun hanya karena keinginannya untuk segera memanen dalam waktu singkat.

Pada mulanya masyarakat Papua tidak butuh kerja keras karena segalanya sudah disediakan oleh alam. Tinggal memetik hasil dan makan. Atau, berburuh mengolah dan menikmatinya.

Ketika berkontak dengan masyarakat luar segalanya berubah. Jika kontak luar itu membawa dampak yang positif bagi masyarakt lokal, mestinya potensi alam Papua yang subur itu dapat mensejahterakan orang Papua.

Orang Papua cukup dilatih bagimana cara bercocok tanam secara modern dan pemasarannya. Namun ideal ini telah berubah menjadi surga yang muram. Ada sebagian masyarakt Papua terutama di wilayah gunung memiliki tradisi bercocok tanam. Bila diberdayakan, pasti secara ekonomi mereka jauh lebih mapan. Namun apa yang terjadi? Realitas menunjukkan bahwa penindasan dalam sistem impor ekspor lokal pun begitu hebat. Kita dapat saksikan di wilayah pegunungan sebenarnya memiliki potensi menghasilkan sayur-sayuran yang cukup. Bahkan sayur-mayur seperti sawi, kol, kentang, wortel, cabe, dan bawang merah yang jika ditanam di daerah pegunungan begitu subur dan besar, malahan tidak dikembangkan. Para penghisap berdalil masyarakat Papua malas kerja, sehingga sulit bercocok tanam. Betulkah demikian? Tampaknya stigma ini kita perlu selidiki.

Baca Juga:  Pelajar dan Mahasiswa Papua di Salatiga Sukses Hadirkan HIPMAPA

Saya menyaksikan orang tua saya di Wamena, ibu kota kabupaten Jayawijaya, yang merupakan jantung pulau Cenderawasih yang terletak di wilayah pegunungan tengah-Papua. Mama-mama saya menjual sayur mayur seperti kol, wortel, kentang, sawi, kacang-kacangan, bahkan bawang di pasar, namun hasilnya banyak yang tidak laku. Mereka kadang kecewa dengan situasi itu. Seringkali mereka pergi menawarkan di rumah makan dengan harga yang begitu murah, tiga-lima kali lebih murah dari harga normalnya. Mereka berkeliling seperti pengemis yang meminta belas kasihan. Padahal mereka sedang datang menawarkan barang hasil kerjanya sendiri. Mereka tadah hujan, tadah panas tanpa alas kaki hanya untuk menawarkan barang subur yang tidak laku itu.

Adakalanya hasil ngemisan dikasihani oleh pemilik warung dan memborongnya dengan harga dibawah standar yang sangat tidak manusiawi. Saya mendengar Mama saya bercerita demikian: nait… nyakla wiik weak kogo, siik saakogo yomare. Dalam bahasa Balim diartikan: hati ini hancur, mengapa barang yang ditanam dengan dengan susah payah dan hasilnya sangat bagus ini ternyata tidak laku di pasar? Mengapa orang tidak mau beli apakah ada yang salah dengan hasil ini? Saya tidak mampu berpikir jauh. Tanpa tahu-menahu penyebabnya, saya hanya turut terhanyut dalam kesedihan Mama saya. Mama marah, Mama sedih, Mama menangis, Mama bingung mau bagaimana lagi kalau kerja berat, hasilnya hanya sia-sia dan menguntungkan orang lain dengan harga murah begitu. Mama sedih dan marah karena jika tidak laku dijual dengan harga murah, maka sudah pasti barang itu akan dibawa pulang.

Mama berpikir dua kali. Dia membayangkan jalan pulangnya yang jauh harus naik taksi dan bayar barang bawaan. Belum lagi jarak jalan kaki sampai ke rumah cukup jauh. Penderitaan akan dua kali lipat dengan memikul barang berat baik saat pergi maupun saat pulang.

Kita dapat bertanya, susahkah pemerintah daerah yang adalah anak-anak daerah yang juga sekolah atas jerih payah susahnya Mama jual sayur di pasar, namun setelah jadi pejabat daerah, hanya untuk melindungi dan membantu Mama Papua dalam soal pemasaran begitu sulit.

Bagaimana mungkin hasil sayur Mama Papua mau laku jika di mall-mall sediakan beragam sayur impor dari wilayah Indonesia lain?.

Bagaimana mungkin sayur Mama Papua dibeli orang jika pedagang kaki lima mengepung kota?. Bagaimana mungkin Mama bersemangat menanam cabe dan bawang jika semuanya sudah diimpor dari wilayah Jawa?.

Realitas ini ternyata berkata; susahnya pemerintah daerah membatasi barang impor lokal sambil mengembangkan potensi lokal? Apakah ini tanda bahwa logika berpikir pemerintah daerah sudah diruntuhkan? Apakah ini tanda bahwa suara hatinya sudah dibeli para pemodal? Apakah ini tanda bahwa kaki dan tangannya sudah diikat oleh penguasa? Bila berpikir secara ekonomis, sesungguh bukanlah perkara rumit.

Membatasi barang impor dari daerah lain demi pemberdayaan masyarakat lokal saja sudah bisa merubah. Apalagi dibarengi dengan sistem kerja sama antara kabupaten untuk mensuplai hasil kebun di tempat yang tidak menghasilkan sayur mayur yang memadai. Contoh sederhana, wilayah pegunungan sumber sayur-mayur bisa suplai ke wilayah (kabupaten) yang letaknya di pesisir yang kesulitan dengan sayur. Atau sebaliknya, wilayah pantai yang menghasilkan ikan dapat disuplai ke wilayah gunung. Namun peluang ini hanyalah menjadi wacana dan peluru ampuh ketika tiba saatnya berkampanye politik.

Baca Juga:  23 Tahun Otsus, Orang Asli Papua Termarginalkan

Entalah, namun realitas menunjukkan pemerintah daerah yang adalah anak-anak kandung dari Mama Papua sudah tidak memiliki taring untuk menjukkan giginya kepada Mama Papua yang sedang menderita. Pulang balik Jakarta-Papua sudah melupakan jalan yang dulu dia tempuh dengan keringat dan susah payah. Seputih duit dan seputih paha membutakan matanya untuk memandang Mama Papua di pojok yang sedang mencucurkan air mata darah.

Pembangunan dan pembangunan, pembangunan jalan dan pembuatan jembatan? Itulah pembangunan yang didengungkan dalam retorika pembangunan masyarakat. Apakah itu yang menjadi kebutuhan mendasar masyarakat Papua?. Itukah yang dibutuhkan Mama Papua sumber kehidupan?

Itu memang butuh, namun apalah artinya kalau tidak dibarengi dengan pembangunan yang lebih pada pemberdayaan.

Mama Papua hanya butuh tempat yang layak dan hasilnya dapat terjual.

Saya mengingat kembali betapa bahagianya Mama saya kalau semua hasil jualannya laku dibeli orang. Saya menyaksikan Mama saya seakan mau terbang jauh, kakinya begitu ringan, seakan tidak berpijak pada tanah. Saya tidak memamahi apa arti kegembiaraan itu. Saya hanya turut merasakan kegembiraannya. Saya kemudian perlahan mulai memahami arti kegembiraan seorang Mama ketika hasil jualannya laku dibeli orang. Kegembiraan itu sudah memberi semangat untuk bekerja dua kali lipat supaya hasilnya jauh lebih besar.

Namun kenyataan berkata lain, niat kerja pun menjadi surut. Maka, sudah tentu yang tumbuh adalah mental malas karena sudah tidak melihat peluang di pasar. Kerja pun hanya untuk memenuhi kebutuhan makan minum di rumah. Sementara kebutuhan anaknya yang sedang sekolah baik tingkat SD, SMP, SMA maupun pada tingkat perguruan tingggi yang menuntut biaya besar, menjadi beban yang menekan usia. Disinilah seorang Mama menanggung arti penderitaan secara psikis. Disamping tuntutan biaya studi, hasil usahanya tidak laku di pasar.

Penderitaan secara psikologis telah menghantui dan merenggut  jiwa Mama. Inilah awal pembunuhan generasi Papua oleh penguasa melalui tangan-tangan kekuasaan di daerah yang adalah juga anak negeri sendiri. Pembiaran yang berujung pada hancurnya satu generasi adalah pembunuhan yang sadis ketimbang penindasan secara fisik.

Marilah sahabat sebangsa dan setanah air, kita membuka mata hati sedikit untuk Mama kita yang sedang terpojok di sana. Sudikah kita melihat Mama duduk di tempat yang tidak layak tiga kali lipat dari mereka yang adalah tamu? Dimanakah logika berpikir kita ketika Mama pemilik negeri diiusir sebegitu kejam sampai ke tempat yang tak layak? Dimanakah suara hati kita terhadap arti keadilan, keberpihakan, dan pembebasan kepada mereka yang disingkirkan?

Sahabatku, surga kecil Papua yang diimpikan tidak akan jatuh dari langit. Surga itu ada di sini dan saat ini. Namun dia telah diubah menjadi surga tangisan.

Marilah kita berbicara sebisa kita, bergerak semampu kita dan bertindak sekuat kita serta solider sekuat belas kasih kita. Semoga Tuhan selalu membuka hati dan pikiran kita untuk melihat realitas ini demi melinap tangisan Mama di pojok gelap dalam bayang-bayang dominasi.

Penulis adalah pemerhati masalah sosial masyarakat yang sedang studi pada Magister Ilmu Teologi Universitas Katolik Parahyangan Bandung.

Artikel sebelumnyaPuisi: Impian
Artikel berikutnyaAntropologi Papua Kembali ke Rumah