Dimana Indonesia?

1
2994

Oleh: Kris Ajoi

Setiap membicarakan Indonesia atau nasionalisme Indonesia selalu saja ada sentuhan keganjilan yang mengisahkan adanya keresahan untuk mengakuinya. Bagaimana tidak, dari gereja dan sampai masjid masih saja terjadi kegaduhan. Apalagi orang-orang di kantor maupun di pasar yang bersaing secara distributif untuk mendapatkan apa yang harus dimakan atau diminum, saya sulit menemukan Indonesia dalam melihat realitas itu.

Bagaimana wujud Indonesia kita gambarkan melalui kehidupan seperti itu. Di Yogyakarta, mahasiswa Papua dan hampir seluruh mahasiswa dari wilayah Timur di Indonesia pasti akan mengatakan ya, jika di sana mereka lebih banyak mengenal daerah mereka, diaspora etnik berlangsung lebih masif, pengenalan-pengenalan asal usul dan segala jenis kegagalan pembangunan negara (Indonesia) di daerah mereka menjadi topik yang terus dipermasalahkan dari pada mengenal Indonesia.

Mencari kos sangat sulit bahkan (mungkin) lebih mudah mencari jarum di sungai dari pada kos di Yogyakarta. Maka, tidak heran asrama baik digunakan oleh mahasiswa rantauan karena tidak mungkin mereka kuliah sambil tidur di trotoar atau di kolong jembatan. Itu bukan hanya di Yogyakarta, di beberapa tempat lain, teman-teman mahasiswa mulai mengakui hal itu mulai terjadi seakan masyarakat di kota lain ikut berprasangka buruk dengan melihat media.

Sulit rasanya membayangkan hal itu, di mana sebenarnya Indonesia, apakah sedang dalam perjalanan, ataukah sudah lewat masanya? Tetapi itu pertanyaan bagi kita semua, dan Indonesia melalui realitas sosial maupun ekonomi masyarakatnya telah dihilangkan, seperti Nietzche seorang Filsuf Jerman menuduh para ilmuan di abad ke delapan belas karena telah membunuh “tuhan” dengan mengagungkan “kebenaran” ilmu pengetahuan. Indonesia telah dibunuh oleh orang-orang Indonesia sendiri dan mengatakan bahwa yang ada dan yang nyata itu orang dengan identitas bangsanya, sedangkan Indonesia masih dicari, dimanakah Indonesia berada?

ads

Buku-buku yang ditulis oleh John Roosa, 2006, (terj 2008), William Oltsman, 2001, dan Max Lane, 2008 sangat baik untuk digunakan, termasuk Greg Poulgrain peneliti sejarah dan politik dari Amerika Serikat.

Di Indonesia, para pengkritisi negara seperti Arif Budiman yang juga sempat menjadi pengajar di Salatiga dan orang yang dekat dengannya dan menuai banyak kecaman akibat kritikan pedas dan tajam yang bertubi-tubi karena buku-buku yang ditujukan untuk membongkar korupsi, kolusi dan nepotisme baik oleh lembaga maupun individu petinggi-petinggi negara, termasuk dengan menyebutkan nama aktor negara dan korporasi bisnisnya, pak George Junus Aditjondro yang menulis Gurita Cikeas.

Sebagai pintu masuk mengenal Indonesia dari para petinggi negara ini, ikut juga di dalamnya sejarawan Anhar Gonggong yang terus menerus melakukan penyelidikan mendalam untuk pembenahan sejarah termasuk berusaha mengubah buku-buku ajar di sekolah-sekolah. Ini semua kumpulan untaian perasaan mereka yang memprakarsai nasionalisme yang tidak timpang dan berharap agar semua masyarakat Indonesia memiliki identitas politik bukan mempolitisir identitas.

Dua hal penting lain yang akan saya uraikan di sini dan sekaligus menjadi argumentasi utama yaitu: pertama, lemahnya orang Indonesia yang “kepingin” menjadi Indonesia itu terpaku pada alasan lemahnya nasionalisme baik historis maupun kelembagaan dan struktur politik. Lemahnya nasionalisme di sini tidak dimengerti secara harfiah, maksudnya nasionalisme yang berada di titik puncak, sebuah semangat bangsa yang dibeking oleh gerakan-gerakan revolusioner maupun reformasi.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Tetapi mari kita sederhanakan pemahaman ini sebagai setiap aktivitas sosial yang menghadirkan Indonesia dari perspektif masing-masing identitas. Orang Aceh bisa melihat Indonesia dan merasa “menjadi” orang Indonesia jika orang Aceh tetap menjadi orang Aceh, begitupun sebaliknya orang Batak atau NTT maupun Makassar akan sangat mencintai Indonesia jika mereka mencintainya dengan cara mereka. Mengucapkan bahasa, menarikan tari dan termasuk ikut di dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan maupun partisipasi lainya dalam konsep silang menyilang kebudayaan (cutting cross cultural/cutting cross affiliation). Apalagi mereka yang berada di bagian yang lebih jauh dan sulit sekali dijangkau secara akomodatif, pasti menjadi sangat problematik.

Kedua, mari kita ke ranah politik untuk membicarakan hal ini. Sangat perlu diketahui, tidak ada identitas dalam pesta demokrasi yang sangat liberal yang tidak menyangkut ranah publik. Artinya, “orang Indonesia” saat ini adalah orang yang berada di antara fragmentasi identitas dan nasionalisasi kebangsaan. Di sana, ada individu maupun kelompok yang saling mereduksi “diri” mereka secara kolektif-representatif terutama adalah untuk mendapatkan pengakuan. Selain agar apa yang dimilikinya (dirinya) diakui sebagai bagian dari “bhinneka” (ragam) identitas yang Indonesianis ini, terdapat juga para pemangku kepentingan yang dengan keadaan di Indonesia pasca reformasi desentralisasi dan otonomi daerah memungkinkan mereka untuk mendapatkan pembagian “kue-kue kekuasaan” yang kemudian di tingkat lokal dimengerti sebagai “jatah para individu pejuang identitas”.

Dua argumentasi yang dibahas sebagai penghambat orang di Indonesia memiliki rasa “menjadi Indonesia” bisa diwakili oleh dua ungkapan. Yang satu ini adalah fenomena yang terjadi pasca desentralisasi dan otonomi di Indonesia, yaitu “orang Sumatera itu orang Indonesia, tetapi bukan orang Jawa”, dan berikutnya memperlihatkan bahwa “musuh nasionalisme itu kapitalisme”.

Cara berpikir praktisnya perlu dibeking dengan gaya dan pola sosiologis dan antropologis yang sangat dekat dengan pemikiran Jasques Bertrand yang memberikan satu dari empat indikator sebagai pemenuhan kebutuhan nasionalisme dengan menghadirkan Indonesia, tetapi dapat juga mempengaruhi proses penghilangan Indonesia dari benak orang-orang Indonesia yang oleh Ben Anderson seakan membalik telapak tangan atau tutup mata buka mata jadilah Indonesia. Dengan cara inilah tesis Ben Anderson dipatahkan.

Buktinya 71 tahun kemerdekaan Indonesia semakin menghilangkan wujudnya dari benak orang-orangnya. Bertrand kembali mengingatkan Anderson bahwa salah satu faktor penentu tadi adalah instrumentalisme. Di mana segala jenis perangkat lunak identitas (identifikasi diri) dimuat untuk memperjuangkan identitasnya. Simbol-simbol, artefak, aturan, norma dan segala struktur dan mekanisme yang menggambarkan satu bentuk identitas akan sangat berguna dalam praktek politik kekinian. Itulah makanya negara ini kena batunya karena keutuhan entitas politiknya belum sekuat batu karang. Sudah dipecahkan dengan pemekaran dan menciptakan ruang (kosong) politik baru kemudian diisi oleh identitas-identitas yang dulunya tidak ada dan memang sudah menunggu jatahnya.

Indonesia sekali lagi tambah hilang dan lenyap diputihkan dengan entitas-entitas bangsa dan keragaman tersebut. Bagi Bertrand, instrumentalisme bisa membawa Indonesia hadir dalam acara kebangsaan dan kenegaraan ini jika hanya di level ideologi politik. Namun sayangnya, berbeda ketika instrumentalisme menjadi instrumen kekuasaan para elit lokal dan pemangku-pemangku kepentingan yang haus kekuasaan dan lapar akan uang. Instrumentalisme akhirnya menjadi instrumen kekuasaan politik yang sangat lokalistik dan tidak nasionalis. Lalu di mana Indonesia?

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Orang Sumatera itu Orang Indonesia Tapi Bukan Orang Jawa

Pemahaman seperti inilah yang hadir setelah masyarakat Indonesia telah mengetahui bagaimana mengidentifikasi siapa yang merupakan bagian dan mana yang bukan dari kelompok di mana mereka diakui. Satu persoalan penting ini antara lain setiap identitas sulit mengakui identitas lain yang ada di Indonesia meski bukan berasal dari identifikasi khusus yang berasal atau merepresentasikan identitas kolektif antara insiders dan outsiders (kami dan mereka). Soal ini bukan identitas kolektif, tetapi identitas politik negara yang perlu diperhatikan sebagai sarana nasionalisme di Indonesia.

Dilema Indonesia saat ini bisa dijelaskan dalam bentuk wacana yang bisa didiskusikan. Misalnya “Orang Sumatera kan orang Indonesia tapi kan bukan orang Jawa”. Atau yang lainnya, “Orang Jakarta kan orang Indonesia tapi kan bukan orang Semarang”.

Pada masa ketika demokrasi telah ditegakkan, di Indonesia, tidak semua orang bisa memiliki kesejahteraan dengan bekerja sebagai perantau (outsider) di masing-masing daerah kepulauan. Jangankan kepulauan, wilayah-wilayah pemerintahan di tingkat lokal, misalnya desa-desa atau kampung, nagari dan nama yang lainya.

Akan ada perang jika orang-orang lokal merasa kepemilikan mereka atau ruang akselerasi politik mereka diduduki penduduk lain. Bahkan yang paling parah sering kita temukan adalah interaksi dan komunikasi yang dibangun antar setiap kelompok hanya sebatas simbolis dan insidental untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan sesaat. Hal ini menjadi kondisi yang membatasi pemahaman masyarakat yang sementara sedang mengalami proses menjadi Indonesia. Tentunya akan lebih banyak pertanyaan yang menanyakan “dimana Indonesia”?.

Musuh Nasionalisme adalah Kapitalisme

Sistem produksi yang bertumpu pada kapital disebut kapitalisme (Hiariej, 2012). Kapitalisme bisa dilihat sebagai usaha mengelola uang demi mendapatkan uang, modal dikomodifikasi menjadi modal.

Marx dalam das kapital mengungkapkan bagaimana proses peminggiran masyarakat lemah oleh karena ketidakmampuan melawan sistem.

Di antara dua dilema, ada yang memiliki sumber daya, tetapi hidup didasarkan pada pemahaman kosmologi sangat kuat, pengetahuan untuk bekerja seperti watak-watak kapitalis tidak ada, maka yang ada adalah ketertinggalan.

Ada pula yang dengan keterbatasan sumber daya dan memiliki kemampuan, masih saja selalu mendapatkan ketidakadilan mengenai gaji, keterlambatan pembayaran upah, ketidakadilan bagi pekerja, kesulitan meminta cuti, dan terutama dalam hal yang sangat kecil, bangun harus tepat waktu. Marx mengatakan, salah satu cara yang baik untuk melawan kapitalisme adalah dengan bangun terlambat.

Pada masa orde baru, pasca 30 September 1965, Indonesia pada saat itu sedang mengalami krisis nasionalisme. Krisis itu bukan saja terjadi, tetapi baru saja dimulai melalui represifitas institusi keamanan, teror-teror kepada warga negara dan otoritas Soeharto semakin kuat didorong oleh kekuatan modal kapital Amerika Serikat (Oltsman 2001, Roosa, 2006). Soeharto adalah juragan tanah dan lahan produksi, sedangkan para pebisnis dan korporasi bisnis-bisnis lainnya merupakan faktor produksi eksternal yang membantu negara dengan potensi infrastruktur memadai.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Sumber daya alam memadai dari Timur sampai Barat, apalagi di tahun 1967, pemerintah orde baru mengesahkan UUPMA (Undang-Undang Penanaman Modal Asing) di Indonesia. Semua pengusaha bebas menanamkan modalnya di Indonesia untuk meraup keuntungan dan yang penting ada kontribusi untuk membangun Indonesia dan tataran elit orde baru. Penghematan anggaran dilakukan dengan memaksa setiap warga dari Pulau Jawa didatangkan ke berbagai wilayah lain di Indonesia terutama di Sumatera (Riau), Kalimantan, dan Papua dengan tujuan membantu pemerintah mengembangkan industri dan pertambangan di Indonesia yang pada saat itu menerapkan proses kapitalisasi dalam pembangunan.

Warga yang didatangkan dari pulau Jawa dan Bali termasuk sebagian dari NTT pada masa itu bisa disebut sebagai “Buruh Negara” yang menurut Marx, suprastruktur bagian dari faktor produksi. Warga yang tidak mengikuti aturan (transmigrasi) nasional kemungkinan berada dalam ketakutan karena takut dituduh “PKI”?, maka kampung halaman ditinggalkan.

Produksi industri orde baru (negara) pada masa itu sangat meningkat dalam rencana pembangunan lima tahun yang selalu mendapat kecaman masyarakat di berbagai wilayah. Tidak ada pertimbangan dampak keambrukan struktur sosial masyarakat di kemudian hari, atau akan adanya ketimpangan yang berlebihan, sehingga menimbulkan kecemburuan. Bahkan ada pula yang menganggap Indonesia sedang melakukan proses nasionalisasi ala Jawa (Jawanisasi).

Konstruksi nasionalisme ala orde baru adalah konstruksi identitas kapitalis dan negara, sehingga yang terjadi itu hegemoni negara dan kebudayaan tunggal yang dipaksa menjadi budaya nasional. Hasil kerja orde baru bisa dilihat sekarang, demokrasi menjadi gagal karena kebebasan individu semakin gagah di dalam relasi kuasa budaya dan politik yang eksklusif.

Kekuasaan semakin direduksi menjadi subyektif, bahkan yang dianggap memiliki andil memegang kuasa adalah orang dari suku, marga, klan, atau kelompok-kelompok etnis. Indonesia menjadi sangat “bhinneka” tetapi tidak “Tunggal Ika”.  Parahnya, kegagalan Orde Baru masih diwarisi dalam praktek pembangunan hari ini. Lalu di mana Indonesia?

Penutup

Nasionalisme dibangun tidak dengan kekuatan besar, melainkan dibangun dari cerita kehidupan warga negaranya. Tidak ada konstruksi politik massa yang berdiri tanpa komunikasi dan interaksi massa pula. Realitas politik Indonesia bisa dilihat sebagai keadaan “masa mengambang” yang akan selalu mencari jati diri bangsa dan identitas politik masyarakatnya.

Tiga fase peradaban Indonesia dalam model sistem politik negara yang dipimpin dengan paham nasionalis-komunis, nasionalis-kapitalisme, dan nasionalis-demokrasi belum mampu mempererat ikatan emosi masyarakat sebagai satu identitas dalam ragam identitas.

Proses membangun nasionalisme tidak dapat begitu saja kita singkirkan dari keberadaan masyarakat sehari-hari. Sampai hari ini, kalau bangunan kebudayaan nasionalya hanya dibangun berdasarkan eksklusifisme, diaspora atau interaksi simbolik yang menandakan penolakan terhadap identitas Indonesia yang lain (the others), maka nasionalisme hanyalah mimpi dan Indonesia kurang lebih dapat digambarkan dengan apa yang disebut oleh Max Lane: “Unfinished Nation” atau bangsa yang belum selesai.

Penulis adalah staf Pengajar di Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, UKSW, Salatiga.

Artikel sebelumnyaKini Harga Bensin di Intan Jaya 6.500 Rupiah Perliter
Artikel berikutnyaKasus Paniai Berdarah, Aparat Tak Perlu Sembunyikan Data Fakta