Oleh: I Ngurah Suryawan
Pengantar
Pada bagian terakhir dari tulisan ini saya akan mencoba menutupnya dengan perspektif antropologi reflektif yang mencoba untuk memaknai bagaimana orang-orang Papua secara terus-menerus mencari “kemerdekaannya” dari berbagai macam praktik penindasan dan kolonialisme yang dialaminya.
Perspektif antropologi reflektif menekankan pada perubahan diri dan juga rakyat yang kita teliti. Jadi, pada intinya adalah sebuah gerakan perubahan perspektif dan sikap untuk membuat sejarah baru bersama-sama dalam kehidupan ini.
Antropologi Reflektif dan Gerakan Sosial
Kondisi rakyat tempatan di garis depan pertemuan kekuatan-kekuatan global inilah yang oleh Anna Lowenhaupt Tsing (2005) disebut dengan friksi. Di dalamnya terdapat fragmen-fragmen kisah manusia untuk mementaskan siasat, resistensi, memanfaatkan peluang sekaligus bernegosiasi.
Rakyat tempatan berada di daerah “hampa makna”, dimana relasi historis akan tanah dan budaya mereka terdesak oleh situasi friksi. Dalam kondisi friksi ini, apa saja akan menjadi komoditas yang dilahap oleh kekuatan modal dan politik global untuk melipatgandakan keuntungan (Laksono, 2009a).
Rakyat tempatan dalam kondisi friksi tersebut harus berjuang menegakkan identitas dan eksistensi mereka. Yang terjadi kemudian adalah rakyat tempatan menjadi manusia antah berantah, yang tidak lagi peduli dengan asal-usul historis mereka terhadap tanah, tradisi dan budaya. Rakyat tempatan berada dalam lingkaran setan “hukum rimba” saling melenyapan.
Kompleksitas rakyat tempatan menghadapi penetrasi kuasa politik globalisasi menyebabkan identitas dan kebudayaan lokal terus-menerus direproduksi tanpa henti. Apa saja akan menjadi komoditi, barang dagangan, direproduksi terus-menerus. Identitas budaya bagi masyarakat tempatan pada dunia friksi ini menjadi sangat problematik karena akan direproduksi terus-menerus dalam interkoneksinya dengan kekuatan global dan siasat (berpolitik) yang tiada henti.
Untuk menangkap dinamika inilah antropolog sepatutnya menggunakan perspektif wacana mata orang kecil. Pendekatannya adalah dengan melihat proses kognitif, yaitu pada proses kesadaran pembentukan makna dan menemukan penafsiran-penafsiran dibalik ekspresi-ekspresi budaya rakyat tempatan. Untuk menangkap itu, antropolog bersama-sama rakyat tempatan berpolitik untuk membangun sejarah baru.
Antropologi terlibat dalam proses-proses sosial yang terjadi. Oleh karena itulah antropologi adalah refleksi dari gerakan sosial untuk mengungkap relasi-relasi kekuasaan yang meminggirkan rakyat tempatan (Laksono, 2009a). Praksis yang bisa dilakukan adalah antropolog bersama-sama rakyat tempatan berbagi pengalaman untuk mengungkap relasi-relasi ketidakadilan yang terjadi.
Namun, saya melihat dimana kuasa kapital global berada mengeruk keuntungan dan memanipulasi gerakan sosial, antropologi praktis tidak bersuara, dimandulkan, dan bungkam. Tanah Papua, saya yakini sangatlah penting menciptakan komunitas belajar dari kalangan akademik dan masyarakat biasa untuk bersama-sama tanpa ada sekat dan parokialisme mengembangkan pendekatan-pendekatan transformatif yang emansipatoris. Ini tercermin dalam studi-studinya dan juga dikembangkan dalam kelas-kelas perkuliahan.
Dengan demikian, antropologi di Papua akan menyumbangkan peranan yang besar untuk membuat orang-orang Papua mempunyai kapasitas untuk mempertahankan kemerdekaannya. Dengan kata lain, antropologi akan memantik proses gerakan sosial yang massif, dimana rakyat (Papua) bangkit dan merubah dirinya sendiri. Saya yakin inspirasi itu akan datang dari kisah-kisah manusia yang berjuang luar biasa di Tanah Papua.
Saya merasa, apa yang selama ini sudah saya baca tentang studi Papua, mengalami masalah pendekatan yang kompleks. Kompleksitas itu menyasar pada produksi pengetahuan tentang Papua yang diskriminatif, kolonialistik dan tidak memanusiakan Bangsa Papua.
Penjajahan secara produktif dalam cara berpikir itu telah dilakukan terhadap bangsa Papua melalui serangkaian teori dan pendekatan politik budaya yang diskriminatif, dipraktikkan dengan massif dalam kerangka “pembangunan masyarakat tertinggal”. Maka, tak heran jika citra Papua yang lahir kemudian adalah tidak berbudaya, bodoh, terkebelakang, terasing, barbar. “Indonesia dorang” merancang secara sistematis yang menempatkan Bangsa Papua tidak punya kebudayaan. Kalaupun punya, derajatnya lebih rendah dari kebudayaan Indonesia dan “terasing” tidak dinamis.
Pendekatan semacam itu tentu mengabaikan hati, perasaan, pergolakan, kepedihan, siasat, dan resistensi yang dialami Bangsa Papua. Kompleksitas sejarah dan status politik Tanah Papua dan heterogenitas bangsa Papua seolah terlupakan. Rezim otoritarian Orde Baru sejak 1969 menjadikan Tanah Papua sebagai objek pembangunan dengan penyeragaman di segala bidang tanpa rekognisi pada perdebatan sejarah, status politik dan juga beragamnya budaya di Tanah Papua.
Pendekatan keamanan, kekerasan, dan kejahatan kemanusiaan melahirkan tragedi kemanusiaan tanpa henti di Bumi Cenderawasih. Sejarah ingatan penderitaan (memoria passionis) menjadi pengikat yang paling ampuh untuk “melawan kehadiran Indonesia” yang tak akan lekang ditelan jaman.
Pasca reformasi 1998, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua serta Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemekaran daerah, semakin mewarnai pergolakan kekuasaan terhadap Tanah Papua. Penetrasi agama, birokrasi, keamanan, pendidikan, dan investasi modal melalui perusahaan multinasional semakin menjepit dan meminggirkan Bangsa Papua di tanah kelahirannya sendiri.
Menegakkan identitas Papua di tengah semua kepungan itu sungguh sebuah perjuangan yang yang rumit. Kelokan-kelokan tajam, transformasi, dan siasat Bangsa Papua menghadapi semuanya menjadi sebuah bagian yang sungguh sangat penting untuk dicermati.
Bangsa Papua berada di garis depan pertarungan kekuatan politik global dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia di Tanah Papua. Menghadapi situasi tersebut, strategi pembangunan dan serangkaian kebijakan politik struktural pemerintah menjadi “jauh dari bayangan” dan bahkan menjadi serangkaian jejaring kekuasaan yang menipu. Menjadi penting dipikirkan adalah bagaimana Bangsa Papua menghadapi situasi yang memarginalisasi? Oleh sebab itulah praktik, taktik, dan siasat manusia menjadi penting dikemukakan.
Dalam siasat, manusia dihadapkan langsung dengan kenyataan di lapangan, fakta di depan mata yang membutuhkan cara dan taktik untuk menghadapinya. Ini sangat berbeda dengan strategi yang masih di atas meja atau kertas yang berupa rancangan untuk menghadapi kenyataan (yang sering menjadi bahan analisis studi kebijakan dan politik). Dalam siasat inilah, de Certau (1984) melihat bahkan praktik keseharian manusia mengandung beragam makna dan pergolakan manusia dan (politik) kebudayaan yang sering dilupakan dengan strategi yang menipu. Dalam siasat, manusia langsung berhadapan dengan jejaring relasi kuasa yang dibentuk oleh ruang yang memberikan kontes persoalan tertentu.
Eksplorasi memetakan siasat dan kepentingan agen-agen perubahan yang tidak pernah bersatu di Papua dalam studi Timmer (2007 dan Chauvel, 2005) memberikan gambaran yang menarik. Maraknya pemekaran dan Otsus yang menjadi “gula-gula” pembangunan di Tanah Papua melahirkan ketergantungan dan jejaring ekonomi politik di lingkungan elite Papua. Identitas ke-Papu-an pun terus bertransformasi dengan serangkaian resistensi terhadap kehadiran negara (Indonesia) yang sudah kehilangan wibawanya di hadapan Bangsa Papua.
Tuntutan Otsus yang lebih besar bisa dilacak mengalami diversitas di kalangan Bangsa Papua sendiri antara ekspresi resistensi terhadap negara dan nasionalisme perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Silang sengkarut itulah yang memungkinkan kontestasi identitas-identitas sosial lokal, etnis, religius, dan regional di Tanah Papua sebagai medium resistensi terhadap kehadiran negara.
Ide terdepan kelompok intelektual dan aktivis yang menaruh perhatian terhadap Papua adalah dialog antara Jakarta dan Papua (Widjojo dkk, 2009; Tebay, 2009; Al Rahab, 2010). Banyak kontroversi dalam ide ini, namun dialog bukanlah tujuan penyelesaian konflik Papua, namun sebuah patahan kecil ruang rekognisi berbagai macam kepentingan politik. Papua Road Map LIPI (2009) telah memberikan pemetaan detail dalam membaca konflik Papua, pemberdayaan Bangsa Papua, paradigma baru pembangunan, hingga persoalan tawaran tahapan-tahapan kebijakan dialog dan jalan rekonsiliasi pengungkapan kebenaran dan pembuktian di pengadilan.
Dialog damai yang digagas tentu bukan sebatas strategi hitung-hitungan target politik antara Jakarta (Pemerintah Indonesia) dan Papua yang hingga kini masih menjadi perdebatan sengit. Persoalan sejarah dan status politik juga menjadi tema sensitif, namun menjadi fondasi penting berlangsungnya dialog. Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap Bangsa Papua juga menjadi persoalan yang amat serius untuk “diakui” (oleh Pemerintah Indonesia) dan diungkap. Implikasinya adalah ingatan kekerasan dan penderitaan yang menjadi pengalaman kelam Bangsa Papua sejak “terpaksa” berintegrasi dengan Indonesia.
Bagi saya, langkah pertama dialog damai adalah memberikan kebebasan kepada Bangsa Papua untuk bergerak membangun sejarah baru bangsanya. Pengalaman, narasi, dan refleksi mereka (baca: Bangsa Papua) akan melahirkan sejarah baru yang partisipatif ketika penghargaan atas pengalaman dan narasi dijunjung tinggi. Pemerintah Indonesia hingga kini melupakan pendekatan ini.
Dengan demikian, langkah kedua adalah melakukan proteksi Bangsa Papua dan sekaligus pemahaman bahwa interkoneksi Bangsa Papua dengan kekuatan kapital global bagai candu yang menghancurkan. Penyelamatan sumber daya alam dan manusia Papua menjadi sangatlah penting. Dengan demikian, diperlukan pemahaman bahwa interkoneksi Bangsa Papua dengan kekuatan-kekuatan kapital global adalah merupakan ruang penafsiran persoalan resistensi (siasat), perlawanan, dan gerakan sosial tanpa henti. Inilah yang oleh Pemerintah Indonesia dianggap sebagai separatisme ketika muncul protes dan perlawanan akibat marginalisasi Bangsa Papua di tanah kelahirannya sendiri.
Gerakan sosial dan sejarah masyarakat tempatan pasti memiliki segudang kisah, narasi di tengah “kebisuannya”. Antropologi maju di depan untuk bersama-sama masyarakat mengidentifikasi masalah dan merumuskan secara bersama-sama narasi sejarah (baru) dari masyarakat tempatan. Antropologi secara emansipatoris menjadi inspirasi gerakan sosial masyarakat melalui kerja lapangan dan menggali wacana hidup berkomunitas masyarakat yang terus berubah.
Antropologi bekerja pada wilayah jantung reproduksi makna, dimana masyarakat berkontestasi dan berelasi satu dengan lainnya. Kerja “terlibat” dalam subyektifitas kritis ini dilakukan antropologi agar tidak kekurangan bahasa untuk menafsirkan gejolak, gerakan sosial dan sejarah masyarakat tempatan.
Bersama-sama “menemukan diri” (bagi antropolog) dengan masyarakat tempatan, antropologi akan jauh dari tuduhan “pengingkaran kemanusiaan” dan menggunakan wacana kebudayaan yang dipentaskannya untuk meminggirkan kaum lemah di tengah belenggu kekuasaan dan kekerasan.
Tulisan bagian Pertama sampai bagian Ketiga, bisa baca di sini:
Antropologi dan Gerakan Sosial: Perspektif Papua (Bagian I)
Antropologi dan Gerakan Sosial: Perspektif Papua (Bagian 2)
Antropologi dan Gerakan Sosial: Perspektif Papua (Bagian 3)
Penulis adalah Staf Pendidik/Dosen Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.