Dekolonisasi Antropologi Papua  

0
3396

Oleh: A. Ibrahim Peyon

Pengantar

Tulisan ini bagian kedua dari artikel sebelumnya berjudul “Antropologi Papua Kembali ke Rumah” yang sudah dipublikasi oleh www.suarapapua.com. Dalam perspektif saya, dekolonisasi untuk penentuan nasib sendiri Papua Barat adalah perjuangan ilmiah. Karena rakyat Papua melakukan perlawanan dalam dua hal. Pertama, berhadapan dengan kolonialisme Indonesia dan koorporasinya. Kedua, melakukan perlawanan dengan kolonialitas dunia.

Kolonialisme dan kolonialitas secara subtansi berbeda. Kolonialisme terkait dengan pendudukan teritorial dan ekonomi, sedang kolonialitas terkait dengan kekuasaan kultural, pendidikan dan produksi pengetahuan. Karena itu, perjuangan Papua juga haruslah dibangun dengan pendekatan ilmiah. Dengan dekolonisasi epistimologi, teori dan metodologi yang memenuhi syarat-syarat ilmiah. Karena perjuangan kemerdekaan Papua bukanlah merupakan pekerjaan di jalanan atau perjuangan dari pojok-pojok pembangunan dan kumuh-kumuh kolonialisme Indonesia di Tanah Papua. Tetapi, perjuangan dekolonisasi Papua adalah sebuah perjuangan yang sudah dibangun dan berkembang dari dalam rumah bangsa Papua, di pusat-pusat kolonialisme, pusat-pusat peradaban, pusat-pusat dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan yang sudah kita menyaksikan selama ini. Dengan dasar perspektif inilah saya mencoba untuk membangun metode dan teori-teori dekolonisasi ilmiah melalui artikel ini untuk mengilmiahkan perjuangan kemerdekaan bangsa Papua.

Diskusi ini difokuskan pada dekolonisasi antropologi untuk mendekolonisasi pengetahuan kita tentang manusia dan kebudayaan di Tanah Papua. Dekolonisasi antropologi berarti memikirkan kembali tentang epistimologi, teori dan metodologi dari perspektif kita sendiri. Suatu perspektif yang berlawanan dengan arus antropologi tradisional yang sudah terlibat dalam berbagai penelitian lapangan untuk mendorong kolonialisme, kapitalisme dan dominasi kekuasaan.

ads

Dekolonisasi antropologi memerangi arus antropologi kolonialitas itu dengan merekonstruksi pengetahuan untuk menegaskan kembali tentang sistem kontrol. Dekolonisasi antropologi menyetel studi-studi antropologi, mengevaluasi dan menginstabilkan epistimik, teori dan metode dari koorporasi kekuasaan. Studi dekolonisasi memfokuskan mengenai cara-cara di mana pengetahuan dapat diproduksi dan dibangun dengan metodologi yang diinginkan kita sendiri dengan sistem yang terlatih.

Dengan berpikir hati-hati kekuatan metodologi yang dibangun untuk mereproduksi pengetahuan dekolonisasi antropologi. Dengan melingkupi tiga elemen dasar, yaitu: epistimologi, metodologi dan teori. Epistimologi adalah bagaimana kita mengetahui tentang fenomena-fenomena. Teori adalah suatu kumpulan dari proposisi-proposisi yang digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena tertentu. Sedangkan, metodologi adalah aturan-aturan dan prosedur-prosedur penelitian. Ketiga elemen ini menjadi tema diskusi tulisan ini.

Dekolonisasi Epistimologi

Epistimologi adalah bagaimana kita mengetahui fenomena-fenomena dalam ilmu pengetahuan. Dalam organisasi pengetahuan, kita membuat pernyataan-pernyataan epistemik mengenai pengetahuan tentang konsep-konsep, tindakan, entitas dan sistem. Dengan demikian, kita menciptakan pengetahuan dan sikap epitemik kita untuk menentukan jenis pengetahuan tertentu. Dengan melewati tahap-tahap itu, masing-masing menentukan jenis pengetahuan seperti apa dapat menciptakan melalui penelitian, serta bagaimana hal itu dikumpulkan dan bagaimana dapat disajikan. Proses ini merupakan sikap epistemik yang melakukan pekerjaan ini karena mereka memiliki pandangan sistematis pada realitas pengetahuan tentang itu dan makna mereka yang memandang hal itu.

Dalam studi antropologi kita mengenal epistimologi antropologi seperti: strukturalisme, positivisme, fungsionalisme, fenomenologi, empirisme, postkolonialisme dan postmodernisme. Setiap epistimologi mempunyai ciri khusus dalam memproduksi pengetahuan. Demikian setiap antropolog pun memiliki sikap epistemik tertentu sesuai dengan spesialisasi masing-masing dan melakukan pernyataan-pernyataan tentang pandangan epistemik mereka berdasarkan penelitian lapangan. Misalnya, peneliti yang mengorganisasi pengetahuan mengenai epistimologi pragmatis membuat pernyataan terhadap sikap rasionalis tentang makna realitas dan bagaimana kita bisa mengetahui hal itu. Antropolog yang memiliki sikap epismemik simbolik membuat pernyataan tentang fenomena-fenomena simbolik dan makna-makna dibalik fenomena simbol-simbol kultural itu, dan menjelaskan bagaimana kita mengetahui hal itu.

Dengan demikian, epistimologi adalah satu bagian yang sangat penting dalam organisasi pengetahuan. Karena itu merupakan refleksi dari asumsi-asumsi tentang antropologi yang dibahasakan dalam sistem organisasi pengetahuan. Karena itu, Joseph T. Tennis mengatakan, “the common-sense approach to  language and representation” (Tennis, 2008: 2). Dengan pendekatan bahasa kompleksitas dan variasi fenomena sosial budaya merepresentasikan dan mengaturnya menjadi sebuah pengetahuan dengan menggunakan bahasa. Epistimologi adalah sebuah alat yang digunakan untuk menyajikan fenomena sosial budaya dengan pendekatan yang masuk akal.

Dengan menempatkan pertanyaan-pertanyaan yang konkrit bagaimana kita mengetahui dan apa yang harus kita diklasifikasikan, menyusunnya, mengindentifikasikan dan menciptakan sebuah sistem organisasi pengetahuan. Dengan demikian, mereka melakukan suatu sistem kuasa pengetahuan untuk menaklukan dan menguasai masyarakat indigeneus secara terstruktural dan sistematis. Masyarakat indigeneus didorong untuk takluk kepada sistem-sistem tersebut melalui pendidikan akademik, lembaga penelitian, sistem politik dan pemerintahan, dan media massa.

Epistimologi seperti strukturalisme dan fungsionalisme adalah dua contoh kekuatan epistimologi yang menjadi dasar organisasi dan sistem kekuasaan. Epistimologi-epistimologi ini melegitimasi struktur-struktur dan fungsi-fungsi kekuasaan yang digerakan dengan mesin-mesin suprastruktur, struktur dan infrastruktur melalui sistem-sistem kolonialisme, kapitalisme, liberalisme dan pemerintah kekuasaan. Sikap epistemik semacam inilah yang disebut kolonialistas.

Kini sikap epistemik-epistimik itu telah diadopsi dan direproduksi oleh negara-negara kolonial modern. Dalam kasus Timor Leste dan Papua saat ini adalah contoh-contoh konkrit model ini. Di sini perspektif epistimologi antropologi dibangun di atas wacana dekolonisasi, tetapi dengan menambahkan konsep-konsep dari kekuasaan, kehidupan dan pengetahuan sebagai kontribusi dari modernitas atau kolonialitas itu. Epistemik-epistemik ini melegitimasi kekuasaan untuk melakukan ekspansi kapitalisme dan imperialisme yang menjadi ancaman nyata orang Papua saat ini.

Dengan demikian, perspektif mengenai dekolonisasi epistemik di sini dikategori menjadi enam konsep. Pertama, kolonialitas kekuasaan yang merupakan gambaran tentang bagaimana menglobalisasi perspektif modernitas euro-amerika-sentris dengan struktur kapitalis mereka dapat diorganisasi, dikonfigurasi, diartikulasi dan dapat didesainnya untuk globalisasi imperialisme mereka. Dalam konteks ini kita melihat kolonialitas kekuasaan itu menguasai Papua melalui keberadaan Freeport, LNG. Tangguh dan Proyek MIFFE. Mereka adalah contoh konkrit dalam perspektif epistimologi ini.

Kedua, konsep dekolonisasi epistemik dibangun dengan term kolonialitas pengetahuan. Perspektif ini kaitan erat dengan kolonialitas kekuasaan sebagai kekuatan dan pelaksana pengetahuan dalam desein imperial global. Tetapi, kolonialitas pengetahuan berbicara secara langsung kepada epistemologis kolonisasi dengan pengetahuan techno-ilmiah yang berbasis euro-amerika. Dengan cara mengorganisir pengetahuan untuk menggusur pengetahuan indigeneus, metodologi, disiplin dan sekaligus menghancurkan pengetahuan alternatif yang dibangun di luar zona mereka. Pada saat yang sama, mereka mengambil alih apa yang dianggap berguna untuk mendesain kepentingan mereka. Kombinasi ilmu pengetahuan alam dan variasi-variasi manusia menjadi teori-teori cadangan untuk mengangkat kembali teori-teori rasis. Dengan kategorisasi kelompok-kelompok manusia ke dalam tingkat-tingkat tertentu diinginkan dan menempatkan manusia ke dalam struktur binari dengan hubungan inferirioritas dan superiorioritas. Sikap-sikap epistemik ini direpresentasi melalui epistimologi avolusionisme dan difusionisme.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Ketiga, dekolonisasi epistemik kolonialitas dari kehidupan. Epistimologi dalam perspektif ini berdampak secara langsung kepada keadaan fisik dan psikologis makluk terjajah. Hal yang paling nampak di sini adalah teknologi-teknologi kolonial dari subjektivitas kepada kehidupan, yang menyerang fisik dan pikiran dari orang-orang terjajah itu. Contoh perpektif epistimologi ini adalah dengan menggunakan senjata menghabisi nyawa manusia, media masa yang menyerang pikiran dan membangun propaganda yang setiap hari kita alami selama ini. Pengalaman hidup sehari-hari dan memoria pasionis rakyat Papua ini digambarkan sebagai fenomenologi subjektivitas. Kolonialisme Indonesia ini dilandasi dengan pandangan bahwa orang Papua tidak memiliki jiwa, tidak bernilai, hitam, kotor, monyet dan tidak memiliki perasaan humanitas. Karena itu, yang terpenting bagi Indonesia adalah ditembak, dibunuh, disiksa dan dipenjarakan. Kondisi-kondisi ini diproduksi dengan dasar pandangan perbedaan warna kulit dan kultur. Sikap epistemik ini mengambarkan pemikiran rasisme ilmiah.

Keempat, adalah kolonialitas alam. Perspektif dekolonisasi epistemik ini berhubungan dengan masalah yang terkait dengan ekologi, lingkungan dan iklim. Di mana kolonial membangun epistimologi yang terkait dengan konservasi, perlindungan lingkungan, dan mengatasi krisis iklim. Kolonialitas model ini termanifestasi melalui pernyataan-pernyataan bahwa hutan Papua adalah paru-paru dunia, konservasi internasional Carstensz, hutan lindung Asmat, varietas biota laut di Raja Ampat. Epistemik konservasi alam ini mengeksploitasi masyarakat indigeneus pada zona-zona tersebut dan mendapatkan keuntungan ekonomi negara kolonial dan orang-orang dalam struktur-struktur itu. Sikap epistemik kolonialitas ini terepresentasi melalui perspektif epistimologi ekologi lingkungan dan biologi.

Kelima, epistimologi kolonialitas sosial dan ekonomi. Perspektif dekolonisasi epistimik ini terkait dengan konsep intervensi dan membangun kapasitas masyarakat indigeneus melalui berbagai macam proyek seperti pengembangan ekonomi, sanitasi, kesehatan dan proyek-proyek penanganan HIV/AIDS. Dengan mengeksploitasi masyarakat lokal dan tidak melakukan perubahan-perubahan mendasar dari struktur-struktur sosial-ekonomi mereka. Dengan melakukan proyek-proyek kecil yang tidak berdampak hasil signifikan untuk masyarakat tempatan. Sebaliknya kolonial dan agen-agen struktur kolonialitas itu mendapatkan keuntungan besar. Sikap epistemik ini direpresentasi melalui epistimologi pemberdayaan ekonomi dan pembangunan sosial.

Keenam, epistemik kolonialisme, epistimik ini berhubungan secara langsung dengan pendudukan kolonialisme dan kekuasaan ekonomi di daerah-daerah koloni. Pendudukan Indonesia di Tanah Papua adalah contoh konkrit untuk epistimologi ini. Di mana Indonesia sudah menginvasi dan menganeksasi kemudian menduduki, merampas dan menguasai tanah dan ekonomi. Dengan cara memobilisasi penduduk mengambil alih seluruh struktur-struktur kekuatan dan sumber daya orang Papua secara politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sikap epistemik ini direpresentasikan melalui epistimologi modernisme, postmodernisme dan ekonomi pembangunan.

Dengan kehadiran perspektif dekolonisasi epistimologi adalah untuk memerangi konsep-konsep tersebut secara totalitas. Dengan mengkritisi epistimologi kolonialisme dan kolonialitas yang menjadi ancaman nyata eksistensi kehidupan orang-orang Papua selama ini. Dengan itu, kita terdorong untuk membangun metodologi, epistitimologi dan teori-teori antropologi dalam perspektif-perspektif kita sendiri.

Dekolonisasi epistimologi Papua dalam usahanya untuk membangun perspektif sendiri dan menghapus semua sistem kolonialitas dunia diterapkan oleh hukum kolonial Indonesia selama ini. Perspektif ini dibangun untuk mendorong dekolonisasi dan menyeruhkan pengakuan pengetahuan alternatif. Untuk itu, diperlukan teori-reori dan metode-metode sesuai dengan perspektif kita untuk mengorganisasikan sistem pengetahuan kita. Perspektif-perspektif epistimologi dan teori-teori yang berkonstribusi langsung kepada perjuangan kemerdekaan nasional dan kedaulatan bangsa Papua dalam membangun kebebasan, kesetaraan dan kedaulatan manusia.

Dekolonisasi Teori

Teori adalah sebuah kumpulan dari proposisi-proposisi yang digunakan untuk menjelaskan  fenomena-fenomena tertentu, dan teori juga adalah sebuah narasi. Proposisi bagian dari teori seperti konstruksi, dan proposisi adalah pernyataan yang digunakan untuk menjelaskan pendirian kita tentang suatu fenomena. Maka teori dapat menyatukan narasi tentang fenomena dan narasi itu diprediksi, disusun kembali perspektif-perspektif dan pandangan-pandangan dunia.

Di lain sisi, teori diciptakan untuk mengalihkan pandangan kepada aksi-aksi sosial secara mendasar untuk perubahan masyarakat dunia. Jenis naratif mencakup prediksi, perspektif dan perubahan mendasar tergantung kepada sikap epistemik. Dalam kamus American Heritage (1969) mendefinisikan, teori adalah “A system of assumptions, accepted principles, and rules of procedure devised to analyze, predict, or otherwise explain the nature or behavior of a specified set of phenomena“ (Tennis, 2008:3).

Ketika melihat entri bodi definisi ini mencakup tiga hal. Pertama, definisi ini dianggap sebagai entri bodi dari generalisasi-generalisasi dan prinsip-prinsip yang dikembangkan untuk suatu lapangan. Kedua, definisi ini sebagai suatu konsep tunggal teori. Di mana sebuah teori adalah suatu sistem dari asumsi-asumsi, prinsip-prinsip dan relasi-relasi diletakan untuk menjelaskan suatu kumpulan dari fenomena-fenomena yang dispesifikasi. Ketiga, definisi itu mencakup implikasi, karena teori sering membawa metateori dan metodologi secara implisit untuk perubahan masyarakat dunia. Maka di mana teori merupakan pusat ide-ide intelektual untuk mengembangkan pemahaman dan eksplonasi tentang fenomena-fenomena tertentu.

Salah satu pendekatan yang mendasar adalah untuk kepentingan ilmu. Penelitian seintifik selalui mencari untuk membangun estabilitas hukum general, prinsip dan teori. Asumsi mendasar dalam ilmu adalah selalu ada dibalik dari semua perkembangan dan kebingungan manusia dari dunia nyata. Teori hadir untuk menemukan jalan keluar dari kebingunan itu, bahwa ada pola atau proses dengan jenis yang lebih umum dengan pemahaman yang memungkinkan untuk menganalisis dan menjelaskan hal ihwal itu. Dengan menggali fakta-fakta lapangan, mengklasifikasi, mempolakan,  prediksi dan analisa. Hasil akhirnya adalah dekstripsi dengan nuansa dan penelitian yang unik dari fakta-fakta lapangan dari situasi dan peristiwa sejarah yang sudah ada.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Entri bodi dan hukum general teori inilah menjadi kritik utama dalam perspektif dekolonisasi antropologi Papua yang dibangun di sini. Karena entri bodi dan hukum general diproduksi untuk mencenteralisasi kekuasaan pengetahuan sesuai dengan perspektif dan keinginan mereka. Teori-teori seperti evolusi, migrasi dan difusi adalah contoh-contoh entri bodi dan hukum general itu. Di mana orang-orang dan kebudayaan diklasifikasi kepada tingkat-tingkat tertentu secara bineri dengan mencentralisasi objek atau tempat tertentu sebagai pusat asal-usul dan perkembangan manusia kebudayaan. Dengan itu, dibangun perspektif-perspektif yang menghubungkan fakta-fakta tertentu yang kebetulan ditemukan di tempat-tempat yang berbeda. Di mana fakta-fakta itu memiliki kemiripan tertentu, dan kemiripan itu diprediksi dan digeneralisasi dalam hukum teori evolusi. Sedangkan, perbedaan manusia dan kebudayaan di tempat-tempat yang ditemukan fakta-fakta itu dibiarkan atau disembunyikan. Untuk membenarkan asumsi-asumsi itu membangun pernyataan-pernyataan dengan proses-proses migrasi dan difusi kebudayaan.

Dengan mengabaikan fakta-fakta perbedaan dalam masyarakat indigeneus, kemudian mereka memposisikan masyarakat indigeneus dalam serpa salah. Di mana indigeneus ditempatkan dalam pandangan inferioritas, sejarah, budaya, kepercayaan dan pengetahuan mereka diposisikan yang rendah dan tidak berguna. Konsep-konsep antropologi seperti kafir, babar, primitif, miskin, tertinggal dan terbelakang adalah contoh-contoh kekuasaan pengetahuan yang diproduksi untuk mensubordinasi masyarakat indigeneus. Pada segi lain, mereka memposisikan diri yang modern, maju, berkembang dan kaya. Tujuan dari produk-produk pengetahuan itu adalah untuk menguasai masyarakat indigeneus. Dengan itu, mereka dengan mudah mencaplok dan menduduki daerah-daerah masyarakat indigeneus dan merampas sumber-sumber ekonomi dan kekayaan alam mereka.

Perspektif dekolonisasi antropologi Papua dibangun di sini adalah mendekolonisasi pikiran dan pengetahua manusia mengenai hal ini. Dalam upaya itu diperlukan sarjana-sarjana antropologi yang kritis dan kreatif untuk menciptakan teori-teori antropologi yang mendasar untuk mengubah sistem ini. Perspektif ini dapat dibangun hanya dengan elaborasi keterlibatan antropolog dalam teori-teori antropologi di universitas, penelitian lapangan dan aksi-aksi nyata dalam gerakan sosial-budaya di Tanah Papua. Teori tidak bisa dibangun dengan dasar hukum abstrak, tetapi teori diabstraksikan dengan dasar fakta-fakta sosial budaya di lapangan. Ini adalah prinsip dasar teori.

Dalam perspektif tersebut: Pertama, membangun perspektif dekolonisasi antropologi Papua di Universitas. Di mana pengajar memiliki tugas untuk mengubah paradigma antropologi tradisional selama ini dengan mendesain metodologi, teori dan epistimologi dalam perspektif dekolonisasi dan indigeneus. Dengan mendesain metode-metode pengajaran, mengajarkan mahasiswa dengan konsep, metode dan teori-teori yang kita bangun dari perspektif kita sendiri, mengkritisi teori-teori yang sudah ada dengan melibatkan mahasiswa, seminar, membangun diskusi-diskusi dan mengembangkan kerangka menulis.

Kedua, melakukan penelitian lapangan. Di mana antropolog Papua mendesain metode-metode penelitian yang cocok untuk melakukan studi-studi lapangan sesuai perspektif dan pandangan dunia kita sendiri. Dengan metode-metode itu mendorong mahasiswa kita melakukan riset-riset mereka.

Ketiga, antropolog terlibat dalam aksi nyata. Dalam perspektif ini, di mana antropolog terlibat secara langsung dalam tindakan nyata di masyarakat. Antropolog tidak berpangku tangan dan duduk di balik meja dengan membangun wacana-wacana yang abstrak dengan menutup mata dan telinga dari aksi-aksi mahasiswa di kampus-kampus kita. Atau mendukung teori-teori kolonial dengan studi-studi terapan yang memperkuat posisi kolonial dan dunia kapitalis terakses kepada ekonomi dan politik kekuasaan. Tetapi, antropolog Papua terlibat langsung dalam realitas sosial budaya dan menjadi bagian dari proses-proses itu. Contoh dalam gerakan kemerdekaan Papua, antropolog Papua harus terlibat secara langsung dalam aksi-aksi rakyat tertindas dan membangun solidaritas bersama. Dengan bersama mereka membawa keluar situasi ketertindasan itu dari sistem kolonialisme Indonesia. Dengan itu, dapat memastikan bahwa teori-teori antropologi berkontribusi secara langsung dalam proses perjuangan kemerdekaan nasional dan keduanya harus dapat terintegrasi.

Karena perspektif dekolonisasi antropologi adalah untuk membebaskan masyarakat dari dunia kolonialisme dan kolonialitas, kemudian membentuk tatanan masyarakat yang merdeka dan berdaulat. Dekolonisasi teori antropologi adalah dalam upaya membebaskan manusia dan membawa mereka ke alam kebebasan. Karena itu, teori dan tindakan harus saling mengisi. Salah satu tidak ada tanpa yang lain. Teori harus menginformasi kepada tindakan, demikian tindakan pun harus menginformasi kepada teori. Antropolog Papua harus mampu menghubungkan teori dan tindakan.

Dengan bertindak untuk mengintegrasikan teori dengan aksi-aksi masyarakat di lapangan, tindakan-tindakan berkelanjutan dan memberikan dukungan-dukungan jaringan. Dengan mengakui bahwa tindakan-tindakan itu memiliki konsekwensi, tidak cukup hanya berteori, tetapi teoritisi harus bersedia untuk bertindak atas apa yang mereka percaya sebagai kebenaran ilmiah. Dengan aksi-aksi nyata, memperdalam kontekstualisasikan teori-teori dekolonisasi, mengajarkan kerendahan hati dan bekerja sama, membawa rasa kedekatan dan materialitas untuk kajian-kajian teoritis.

Dekolonisasi Metodotologi

Metode dekolonisasi antropologi muncul pasca Perang Dunia II ketika Antropologi dan metode-metode studi etnografi tradisional telah dikritik sebagai alat kolonial. Antropologi tradisional melalui studi-studi antropologi terapan diasumsikan sebagai kerangka ekonomi kapitalistik. Di mana etnografer melakukan penelitian terapan dalam masyarakat non Barat dinilai terakses pada sosial, ekonomi dan politik dalam agenda kolonisasi. Di mana temuan mereka dengan mudah untuk diakses, dipahami dan digunakan dalam berbagai kepentingan ekonomi dan politik pemerintah kolonial.

Pengetahuan dan pemahaman antropologi itu dibangun untuk eksploitasi orang-orang indigeneus di daerah-daerah koloni. Melalui penelitian-penelitian itu, secara langsung maupun tidak langsung antropolog terlibat dalam proses kolonisasi. Etnografer yang melakukan studi lapangan adalah salah satu kontribusi utama antropologi terhadap kolonisasi. Melalui penelitian lapangan mereka, sudah banyak menghasilkan implikasi yang mempengaruhi dan membenarkan sistem kolonial. Karena, proyek-proyek penelitian itu didanai kelompok dominan dan anggota-anggota kolonial. Antropolog melakukan penelitian lapangan untuk memproduksi pengetahuan tentang konsep-konsep dan teori yang dibutuhkan kolonial. Posisi etnografer sebagai mesin produksi kolonialitas untuk sistem kolonialisme. Metodologi yang paling dominan adalah pendekatan objektivitas ilmiah. Ketika melihat hubungan antara kolonial dan antropolog melalui kajian-kajian etnografis itu sudah menjadi kolonialisme terstruktur.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Dengan melihat itu, dekolonisasi metode antropologi adalah memerangi metode antropologi tradisional yang dinilai mesin produksi kolonialitas dan kekuasaan pengetahuan untuk kepentingan kolonialisme. Dalam memerangi itu, antropolog merekonstruksi pendekatan-pendekatan baru. Antara lain, pendekatan antropologi indegeneus, pendekatan dekolonisasi dan pendekatan kolaborasi. Metode kolaborasi antropologi dinilai sebagai usaha merekonstruksi metode dan sistem pengetahuan untuk menyesuaikan diri dengan metode indegeneus dan dekolonisasi yang lebih radikal dan kritik. Metode kolaborasi adalah satu aliran dengan metode postkolonial yang hanya merevisi unsur-unsur tertentu dengan mempertahankan bodi teori dan entitas metodologi tradisional. Dalam metode elaborasi dan postkolonial yang memproduksi pengetahuan oleh etnografer dari luar dengan pandangan mereka sendiri. Hal itu berbeda dengan metode dekolonisasi dan metode indigeneus. Kedua pendekatan itu memproduksi pengetahuan dari pandangan indigineus. Dengan gagasan utama mereka adalah mendekolonisasi metodologi dan mendekolonisasi human mind dalam upaya membangun epistimologi antropologi dan pengetahuan manusia.

Lebih banyak mereka adalah antropolog indigeneus yang memproduksi pengetahuan dari perspektif indigeneus sendiri. Dengan tujuan utama untuk memproteksi pengetahuan dari epistimologi rasisme, misinterpretasi, mistifikasi dan fragmentasi pengetahuan indegeneus, memproteksi legitimasi kekuasaan dan kontrol atas penelitian tentang indegeneus, kekayaan intelektual dan kepemilikan pengetahuan orang-orang indegeneus, saling menguntungkan antara peneliti dan masyarakat yang diteliti.

Dalam pengertian Barat dengan metodologi antropologi tradisional, penelitian secara umum dapat didefinisikan sebagai “investigasi atau eksperimen yang bertujuan untuk menemukan dan interpretasi fakta-fakta sosial kultural. Penelitian meliputi mengumpulkan informasi tentang topik-topik tertentu, merevisi teori-teori atau hukum-hukum yang diterima dalam terang fakta-fakta yang baru, dan aplikasi praktis dari teori-teori baru atau mengaplikasi teori atau hukum-hukum lama yang sudah direvisi. Definisi ini menyiratkan tentang penemuan, pengamatan, pengumpulan, penyelidikan, deskripsi, sistematisasi, analisis, sintesis, menteorisasi dan mengkodifikasi dengan maksud dari bahasa teori, perbandingan, verifikasi, memeriksa hipotesis” (Porsanger, 1999:106). Setiap proyek penelitian biasanya dimulai dengan pengaturan masalah atau pertanyaan dari sebuah penelitian. Sehubungan dengan masyarakat indegeneus, seluruh keberadaan mereka menjadi sebuah masalah dan pertanyaan untuk para peneliti dalam penelitian lapangan.

Peneliti membangun hipotesis-hipotesis dengan pemahaman dan pengetahuan sesuai perspektif mereka sendiri. Dengan dasar hipotesis itu mendefinisikan masalah dan pertanyaan-pertanyaan sebagai instrumen penelitian untuk mengumpulkan informasi dari masyarakat indigeneus. Smith mengatakan, metodologi macam itu disamakan dengan tulisan wisatawan dan pedagang ketimbang peneliti dan ilmuwan. “Peneliti hanya masukan nama kelompok indigeneus ke dalam masalah atau ke dalam pertanyaan mereka sudah dibuat sendiri. Apa yang mereka permasalahkan tentang orang-orang indigeneus adalah sebuah obsesi dari peneliti barat” (Smith 1999: 90). Dengan itu, produksi penelitian itu dipakai alat kolonisasi orang-orang indigeneus dan daerah-daerah mereka. Dari perspektif orang-orang indigeneus istilah penelitian adalah dikaitkan dengan kolonialisme. Dengan cara di mana penelitian ilmiah telah terlibat dalam akses imperialisme yang menjadi ingatan sejarah kuat dalam banyak masyarakat indigeneus di dunia. Proses dekolonisasi memerlukan pendekatan baru, metodologi antropologi harus dievaluasi secara kritis dan membangun metodologi baru yang cocok dan diinginkan masyarakat indigeneus.

Dekolonisasi metodologi Papua adalah metode penelitian yang dibangun dari konsep-konsep, definisi dan pandangan dunia kami sendiri untuk memahami teori dan penelitian dari perspektif kita sendiri. Melalui proses itu membangun epistimologi dan teori-teori antropologi dari perspektif kami sendiri untuk tujuan-tujuan kami sendiri. Dengan metode-metode penelitian lapangan seperti yang sudah saya jelaskan dalam artikel sebelumnya.

Di mana etnografer melibatkan diri dalam seluruh proses sosial-kultur masyarakat indigeneus yang diteliti, dan peneliti sendiri adalah sekaligus sebagai bagian dari proses sejarah dan budaya setempat. Metode seperti itu berbeda dari metode partisipatoris antropologi tradisional yang merupakan produk dari sistem kolonialitas. Di mana terlibat hanya sebagai pengamat untuk mengamati situasi sosial-kultur dari masyarakat yang diteliti, kemudian membangun narasi dari perspektif peneliti atau elaborasi.

Perspektif antropologi dalam metode antropologi Papua ini adalah penelitian antropologi menjadi bagian di dalam masyarakat yang diteliti, terlibat secara penuh dalam seluruh proses sosial budaya dan mengungkapkan pandangan-pandangan dari masyarakat indinegenus. Posisi peneliti di sini sebagai instrumen penelitian untuk mengungkapkan pandangan dari masyarakat yang hendak diteliti. Pendekatan antropologi sense menjadi salah satu yang paling cocok dalam penelitian. Selain pertanyaan-pertanyaan penelitian, organ-organ tubuh peneliti adalah instrumen penelitian penting di lapangan. Karena kebudayaan tidak hanya diungkapkan melalui jawaban yang diperoleh melalui pertanyaan-pertanyaan atau dengan pengamatan penelitian lapangan. Tetapi, kebudayaan adalah tentang perasaan-perasaan, sentuhan-sentuhan, kesan-kesan diperoleh melalui penciuman dan simbol-simbol yang disampaikan pesan-pesan budaya. Keseluruhan itu mengungkapkan atmosfer kebudayaan manusia dalam ruang dan waktu.

Dengan model metodologi ini dapat memproteksi hasil intelektual, kekayaan pengetahuan dan kebudayaan kita dari perampokan dan pencurian ilmu pengetahuan dari peneliti-peneliti kolonial. Mereka datang meneliti kekayaan intelektual dan pengetahuan masyarakat indigenues untuk membangun metodologi, epistimologi dan teori-teori mereka. Dengan itu, membangun bodi struktur pengetahuan mereka sendiri, memperkuat posisi-posisi kolonisasi, mengembangkan kapitalisme dan liberalisme mereka. Sebaliknya, hasil-hasil penelitian itu tidak kembali kepada masyarakat indigeneus untuk membangun mereka.

Dalam upaya memproteksi itu, membutuhkan sarjana-sarjana antropologi Papua yang berpikir kritis tentang proses penelitian dan hasil-hasilnya. Sarjana antropologi yang secara kritis mendengar pikiran dari orang-orang untuk dinarasikan menjadi metode, teori dan epistemik dengan nuansa khusus untuk kepentingan masyarakat kita sendiri.

Penulis adalah staf pengajar Jurusan Antropologi Uncen dan kandidat doktor di Universitas Ludwig-Maximilians.

Artikel sebelumnyaBesok LP3BH Koordinir Aksi Damai HAM Papua
Artikel berikutnyaKNPB Konsulat Indonesia Minta Keuskupan Manado dan GMI Minahasa Dukung Rakyat Papua