Manusia Antropologi-Politik Papua (Bagian 1)

0
5306

Oleh: Kris Ajoi

Pengantar

Pernyataan untuk mengawali tulisan ini ada pada kalimat “manusia Papua adalah manusia yang “berparas antropologi dan politik”. Argumen ini mengacu pada keseriusan penerapan antropologi dan politik sebagai ilmu maupun dalam praktisnya menempatkan manusia Papua sebagai pangkalnya.

Orang Papua menjadi bagian dalam menimbang dua paradigma itu. Antropologi menaruh posisi keseimbangan dan kemajuan pada manusia. Manusia sebagai pusat segala aktivitas dan agenda pembangunan dan sebagai latar inti pembangunan. Manusia yang merancang, manusia terkena dampak dan manusia pula yang menikmati dan menjaga keberlangsungannya. Begitupun praktik politik idealnya manusia menjadi aktor tunggal, sebagai subyek maupun obyek dari aktivitas pembangunan secara struktural dan mekanis (Afan Gaffar, 2004; Lidlle, 2011; Rowe & Schofield, 2000).

Hal yang sama kalau kita telisik sedikit sejarah, pernah diungkapkan oleh Dr. Halim, mantan Perdana Menteri Indonesia di era parlementer kepada Bung Karno di akhir surat terbukanya:

ads

“Akhirnya saya ingin menyatakan, bahwa saya gembira ketika mendengar saudara menyatakan bahwa pengembalian Irian Barat kepada Indonesia merupakan ‘obsesi’ bagi saudara. Tetapi saya akan lebih gembira lagi kalau saya mendengar saudara menyatakan, bahwa kesejahteraan rakyat juga menjadi obsesi saudara. Saya berharap saudara membaca surat ini dengan semangat kejujuran” (Afan Gaffar, 2004: Hal 16).

Pendapat Dr. Halim juga memberitahu bahwa ambisi boleh saja, tetapi perlu diimbangi dengan pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan karena Papua termasuk wilayah kepulauan lain jangan sampai nasibnya miris seperti saat ini. Selain Papua dibekali dengan struktur dan sistem kebudayaan tersendiri cara mengelola kehidupan orang Papua dengan mekanisme adatnya juga ikut berpengaruh.

Artikel ini membicarakan variasi kehidupan orang Papua yang sangat memprihatinkan sekaligus butuh perhatian. Keprihatinan dan perhatian kepada Orang Papua dekat sekali dengan paras antropologi dan politik. Dimana orang Papua dalam dua pandangan ini mengalami gejolak persoalan dan konflik di satu sisi, sehingga di situlah sarana kebangkitan Papua. Diperlukan tinjauan kritis lebih mendalam tentunya untuk membicarakan hal ini, tetapi secara relatif kehidupan di Papua mengisahkan kenyataan bahwa antropologi dan politik membutuhkan penjelasan dari realitas masyarakatnya.

Saya sadar bahwa sebagai orang Papua obyektifitas tentu jadi prioritas dan obyektifitas yang berasal dari sisi teoritis maupun keadaan di Papua, bukan berasal dari cara pandang masing-masing pihak.

Antropologi dan Politik

Umumnya pusat segala akal budi manusia bertumpu kembali pada manusia. Antropologi dan politik memprakarsai dua pokok konsep pembangunan manusia. Yang satu (antropologi) membentuk pola pikir manusia sebagai pusat pengetahuan untuk membangun kebudayaan. Di satu sisi, kebudayaan manusia memerlukan sarana pengakuan dan keabsahan untuk membentuk sistem dan struktur yang diformulasikan dan dijalankan melalui mekanisme tertentu.

Di Papua, orang Papua tidak bisa mengkonsepkan pemahaman mereka tentang apa itu politik, tetapi mereka melakukan tindakan politik itu secara nyata. Bahkan dibalik praktik itu terselip instrumen-instrumen kebudayaan.

Diskusi politik dalam praktik kebudayaan yang terjadi di Papua memiliki variasi khusus yang perlu dipetakan.

Pertama, kecenderungan masyarakat untuk membawa institusi kultural mereka (Orang Papua) ke dalam kepentingan publik (politik) sebagai bagian dari tindakan politik. Dalam arti sederhana, masyarakat Papua ingin agar mereka memiliki akses kesejahteraan, sehingga keterlibatan mereka tidak hanya sebagai individu, tetapi ikut melibatkan segala ide, cipta karsa dan rasa (kebudayaan) baik secara obyektif maupun yang masih ditafsirkan secara sepihak (subyektif).

Kedua, dari pikiran sampai imajinasi politik mereka itu kemudian diturunkan dalam praktek kebiasaan sehari-hari melalui perilaku individu dan kelompok. Cerita rakyat orang Papua sudah diubah menjadi cerita-cerita tentang bakal calon dan siapa kandidat terkuat pada Pemilukada di tiap-tiap daerah di mana mereka tinggal. Mereka bahkan menggunakan bahasa kiasan mereka seperti ketika upacara adat tertentu untuk mengangkat isu politik yang sedang terjadi. Cerita yang berbau politik mengalir dalam setiap praktik kebudayaan. Di sana (Papua) pola pikir, tingkah laku dan kebiasaan kolektif membawa mereka ke dalam kebudayaan demokrasi dengan model kehidupan yang sedikit berbeda dari kehidupan aslinya.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Ketiga, masyarakat Papua memperlihatkan kecenderungan bahwa refleksi politik lahir dari praktik kebudayaan masyarakat yakni realitas sosial, ekonomi, politik, dan keagamaan.

Keempat, realitas kebudayaan yang kaya itu membantu orang Papua memiliki kesadaran bahwa mereka memiliki budaya bersama dan budaya membawa mereka pada kesepakatan politik.

Orang Papua pada umumnya memiliki prinsip tidak mau mengatur dan tidak mudah diatur karena prinsip kemerdekaan diri. Kekuatan klan dan ikatan genealogi (pertalian darah) hingga kepemilikan wilayah menjadi sumber daya yang memperkuat budaya bersama. Budaya bersama bisa kita saksikan dalam upacara-upacara tertentu yang menghadirkan seluruh ikatan pertalian darah maupun keturunan yang masih memiliki garis kebudayaan yang sama. Semua perkara itu menjadi keunggulan bagi perubahan politik pada tataran ide dan praktik karena Orang Papua bukan lagi pemain cadangan.

Para cendekiawan politik di Yunani, Romawi hingga seluruh Eropa memperlihatkan hal itu dengan jelas. Termasuk pengalaman hibridasi dengan kebudayaan di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Sebagian besar daya dan pikiran mereka di Agora (alun-alun kota/pasar di Yunani) membicarakan masalah-masalah untuk dapat memperbaiki kondisi dan situasi di negara itu.

Aktivitas itu dilakukan di dalam sistem dan mekanisme yang terlembaga, sehingga saluran aspirasi itu sampai kepada pemimpin mereka. Negara-kota (polis) di Yunani pada masa itu merupakan Tirani Demokratis yang menjadi contoh dan kiblatnya pemikiran-pemikiran tentang politik terutama konsep negara, pemimpin dan sistem maupun mekanisme jalannya organisasi yang dapat memproteksi maupun meresolusi setiap persoalan kemanusiaan.

Lagi-lagi tujuan utamanya yaitu manusia yang disebut rakyat, warga negara dan masyarakat dapat memperoleh derajat tertingginya sebagai manusia. Tokoh-tokoh mereka, Plato, Aristoteles dan tentunya Socrates guru kedua orang itu dengan jelas membicarakan konsep-konsep bermasyarakat atau berwarganegara dengan amat sistematis dengan menempatkan manusia (warga negara) sebagai pangkal (Lih: Bertrand Russel, 2002).

Idealisme-idealisme politik menjadi bagian penting dari pemikiran mereka meski ada perdebatan soal spesifikasi dari negara, pemimpin dan sistem politik. Jadi, politik itu secara tidak langsung bertujuan dan memang dilandasi dengan alasan-alasan kemanusiaan yang juga didengungkan oleh antroposentrisme dalam antropologi. Politik diadopsi dari pola hidup negara-kota (polis) di Yunani yang kemudian diejawantahkan menjadi policy (english) yang berarti kebijakan dan berasal dari kata dasar bijak. Sehingga tidak ada politik yang kotor, busuk, atau bau dan mengandung makna negatif. Yang mengandung makna negatif adalah buruknya realitas sosial, sedangkan politik hadir untuk memperbaharui kehidupan sosial itu melalui sistem dan mekanisme bernegara secara bijak melalui kebijakan politik.

Di saat yang sama, paham-paham antroposentisme terus menuntun politik dalam praktiknya sehingga manusia tetaplah manusia dan tidak berubah makna dan nilainya. Manusia betul betul menjadi someone (manusia) bukan something (benda). Keberadaan itu dibuktikan melalui interaksi dan percakapan-percakapan budaya, termasuk segala cipta, karya dan rasa yang sifatnya material, sehingga eksistensi manusia bisa dirasakan nyata. Termasuk pengakuan terhadap hak-hak politik.

Gagasan politik dapat ditempatkan dalam koridor kebudayaan masyarakatnya, kemudian politik terbungkus di balik kebiasaan yang berbudaya secara praktis sesuai cara-cara yang mana kebudayaan ditempatkan. Dalam hal ini politik bisa membentuk kebudayaan atau paling tidak membantu kebudayaan menemukan daya dan kekuatan untuk tetap eksis dan berkembang.

Kebudayaan di satu sisi dapat pula merobek tataran struktur dan mekanisme politik. Hal itu terlihat jelas ketika orang Papua dalam keberadaannya sebagai pemilik kebudayaan Papua berusaha melindungi dan menjadi agen penyelamat kebudayaan dengan cara terjun dalam kehidupan politik. Tujuannya tidak lain membentuk pertahanan berupa aturan (konstitusional) maupun kelembagaan (institusional), sehingga kebudayaan dan segala hal yang berasal dari ciptaan kolektif Orang Papua tersalurkan dengan baik di dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan negara dan diakui kebudayaan lain.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Antropologi dan politik pada akhirnya dilihat sebagai dua disiplin pemikiran yang berbeda, tetapi memiliki satu keutuhan watak pemikiran pokok, yakni manusia sebagai pusat mahkluk politik (yang disebut Aristoteles: zoon politicon) dan kebudayaan. Dalam hal itu, bolehlah kita menyebut orang Papua sebagai manusia antro-politik baik dalam tataran ide maupun kehidupan nyata. Memiliki kehidupan yang dekat dengan alam, mampu membentuk pola kehidupan dengan aturan adat yang kuat, bahkan memiliki moral bersama yang bisa menjadikan mereka tetap menjadi Orang Papua.

Orang Papua sebagai Pangkal Antropologi dan Politik Papua

Keadaan yang dapat kita saksikan di Papua terlihat lewat cerita tahun 2014 ketika berkunjung ke Jayapura dan bercerita dengan seorang Frater yang sekarang bertugas di Keuskupan Agats, Asmat. Kepada saya, kakak ini bercerita bagaimana seharusnya Papua itu dimasuki dengan cara-cara kemanusiaan termasuk manusia Papua yang perlu diakui dengan segala kebudayaan hasil ciptaannya yakni dengan cara bijak dan manusia sebagai pangkalnya.

Pelajaran penting dari percakapan saya dengan kakak frater itu menjelaskan dua cara masuk ke Papua. Cara pertama masuk tanpa permisi dan cara yang kedua masuk minta permisi. Cara yang kedua inilah yang memberitahu sebenarnya pentingnya antropologi di Papua. Hal itu terlihat dalam pengembangan pendidikan Papua, konsep kebudayaan Papua menjadi faktor penentu utama kemajuan pendidikan dan kehidupan lainya. Itulah yang dikembangkan oleh beberapa perguruan tinggi di Papua, terutama Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) “Fajar Timur” yang ada di Padang Bulan, Jayapura. Tempat ini menjadi pintu masuk basis data bagi siapa saja yang ingin mengetahui banyak tentang Papua. Beberapa mata kuliah seperti antropologi dan filsafat memiliki tahapan yang perlu ditempuh mahasiswa, sehingga memungkinkan melihat Papua secara detil dan menyeluruh.

Gereja Katolik di Papua punya aspek kepedulian yang besar terhadap kemajuan pendidikan Papua, dan termasuk mendukung antropologi budaya menjadi basis cara pandang ulung, selain metode-metode lain. Pendekatan kebudayaan dalam pola kehidupan masyarakat itulah yang diadopsi ke dalam sistem pendidikan dan tata kelola Gereja termasuk perayaan-perayaan ibadah dengan konsep budaya, bahasa, dan berbagai karya seni untuk puji-pujian.

Hal yang sama bisa kita lihat pada jebolan-jebolan sekolah Misionaris atau Zending, mereka memiliki kepekaan praktis yang lebih dibanding hanya berbekal ide. Mereka cenderung lebih berbudaya dibanding gaya pembangunan dari luar. Aspek lain misalnya, menganalisis cara kerja Jaringan Damai Papua (JDP) yang dikomandoi oleh Pastor Neles Tebai, menjadi bagian penting dalam melihat keselamatan umat Tuhan (manusia) di Papua.

Sehingga pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan budaya menurut budaya Jawa, musyawarah-mufakat (dialog) yang digagas. Itu membuktikan bahwa orang Papua sangat paham politik kebudayaan yang diturunkan melalui kebudayaan politik nasional negara Indonesia. Budaya Jawa menjadi budaya nasional, sehingga segala sesuatu termasuk upaya politis perlu dilakukan dengan cara pendekatan budaya, tentunya budaya nasional (Jawa).

Penjelasan yang campur aduk itu belum lengkap kalau tidak melihat strategi pendidikan dan metode-metode pendekatan budaya dalam membangun pola pikir sesuai kebudayaan Papua. Di Antropologi Unipa (Universitas Papua) metode penelitian antropologi Papua sudah dikembangkan dan hal itu menjadi sangat positif manfaatnya. Meski dalam tataran keilmuan, tentu sesuai koridor penelitian dan perspektif ilmu pengetahuan akan sangat ditentang oleh penetrasi pandangan-pandangan nasional maupun global yang masih mendominasi keilmuan di Papua.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Tetapi sebagai pendidikan kritis yang berpihak pada sisi kemanusiaan, hal itu sangat rasional dilakukan, termasuk memperkaya khasanah keilmuan di Papua. Tidak seperti penelitian Papua di tahun 1950an-60an yang masih menempatkan orang Papua bukan sebagai orang Papua seperti Boelaars, 1957, 1986; Miedema, 1984; Kamma, 1971, 1981, 1982, 1993; Karl Muller. Meski penelitian mereka memberikan makna akademis pada kebudayaan Papua, tetapi kemudian memunculkan politik pemisahaan oleh penguasa dan kelompok-kelompok kepentingan di Papua.

Lebih jauh tanggapan politik yang dilakukan oleh orang Papua sejak menerima Otsus tahun 2001 (UU No. 21/2001) di Jakarta, merupakan langkah strategis dalam memperhatikan stabilitas keamanan Papua dan kecenderungan kembalinya kekuatan lama (militer Orde Baru). Meskipun keamanan masyarakat adatnya menjadi kacau-balau.

Pada tahun 2009 hingga saat ini, satu kabupaten di Papua memberikan penetrasi politik melalui sistem pemilihan Noken, di tahun 2017 nanti pada pemilihan umum kepala daerah, ada enam kabupaten yang akan menggunakan sistem pemilihan Noken. Sistem Noken merupakan strategi pemilihan untuk menunjang kepentingan kesejahteraan masyarakat asli dalam hal distribusi kesejahteraan melalui kebijakan politik, dan atas dasar dukungan UU 21/2001 (Otsus), maka Noken sah digunakan sebagai satu metode pemilihan yang bijak.

Hal itu jelas saat mendengar penjelasan penulis buku Noken, sistem pemilihan di Papua oleh seorang mahasiswa STPMD “APMD” di UGM pada sebuah seminar di tahun 2015. Akhirnya jelas bahwa srategi kebudayaan yang digunakan baik dalam praktik ilmu pengetahuan maupun upaya-upaya pengembalian hak-hak orang Papua antropologi dan politik menjadi buah imajinasi orang Papua dan telah memasuki era penerapannya.

Tahun 2001, paska Otsus, kita bisa juga menyaksikan ratusan mobilisasi politik pada setiap pemilihan umum di tingkat lokal maupun nasional. Pemilu kepala daerah diantaranya yang sangat menonjol memperlihatkan bagaimana institusi adat dan dikomandoi oleh kepala-kepala suku memainkan posisi sebagai pion-pion penadah suara dari masa politik saat kampanye hingga proses pemilihan.

Tidak sedikit kasus kekerasan yang ditimbulkan akibat praktek ini. Tetapi hal penting yang dapat ditarik dari sini adalah melihat institusi adat dan institusi politik itu tidak ada bedanya. Baik dari aktor maupun pola-pola pengelolaan dan mobilitas politiknya dipraktekan dengan cara-cara yang sama, bahkan sulit dibedakan dengan praktik nepotisme dan kolusi. Sudah hampir lima belas tahun kita bisa menyaksikan bagaimana politik menciptakan ruang kosong dan kemudian adat mengisi ruang politik itu sebagai ajang investasi politik.

Penutup

Manusia dapat diatur dan dibudayakan jika mereka memiliki sistem dan mekanisme yang menuntun bagaimana mereka hidup. Cliffort Geertz 1981, Anderson, 2001, termasuk Max Lane, menceritakan dengan jelas bagaimana perpolitikan Indonesia didominasi oleh kebudayaan Jawa. Mulai dari praktik kepemimpinan hingga pembagian kelas-kelas sosial menonjol dipraktekan oleh pemimpin-pemimpin Indonesia. Soekarno hingga Soeharto melegitimasi budaya nasional yang sangat kental dengan nuansa Jawa-nya. Strategi itu digunakan oleh Soekarno maupun Soeharto untuk memaksakan upaya membedakan ideologi ke-Indonesia-an dengan ideologi Barat termasuk struktur kebudayaannya.

Praktik model ini bisa kita lihat sisa-sisa peninggalannya yang masih ada saat ini. Maka itulah pengkajian Papua membutuhkan konsep politik dan antropologi sebagai dua tools inti stabilitas masyarakat. Stabilitas pertama, adalah stabilitas nasional dan kesepahaman secara menyeluruh mengenai Papua yang utuh dan satu. Stabilitas kedua, stabilitas pertahanan kebudayaan di tingkat kekuasaan-kekuasaan adat berdasarkan tradisi masing-masing kelompok suku.

Bersambung

Penulis adalah staf pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah.

Artikel sebelumnyaAI Desak Investigasi Independen Terhadap Dugaan Penggunaan Kekuatan Mematikan di Sanggeng
Artikel berikutnyaRefleksi Empat Kali Kunjungan Presiden Joko Widodo Ke Papua (Bagian 1)