Dampak Investasi Tambang Bagi Masyarakat Adat Di Papua

0
2842

Oleh: John NR Gobai )*

Pengantar

Dengan berbagai kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, negara secara tidak adil dan tidak demokratis telah mengambil-alih hak asal usul, hak atas wilayah adat dan SDA. Kedaulatan negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Pelanggaran terhadap hak adat merupakan sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Sikap ini juga yang dinyatakan juga oleh masyarakat adat papua dalam Manifesto hak-hak dasar masyarakat adat papua dalam Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua 2000, hal itu dimandatkan kepada Dewan Adat Papua untuk menjalankannya, namun dalam pelaksanaannya pandangan yang negatif selalu diamanatkan kepada Dewan Adat Papua serta pergerakannya, sehingga dalam pembelaan hak-hak masyarakat stigma separatis selalu dilabelkan kepada DAP.

ads

Dampak pada Masyarakat Adat

Banyak konflik Tanah dan SDA di Papua yang belum rampung sampai hari ini, pengambilan tanah milik masyarakat adat dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Cara yang kadang digunakan adalah:

  1. Pihak investor adalah tampil seperti sinterklas dan memberi bantuan dan juga memberikan harapan kepada masyarakat adat yang berlebihan, otomatis masyarakat awam percaya dengan kata-kata mereka padahal hanya bujuk rayu saja, karena itu biasa melahirkan pro kontra dalam masyarakat. Pro karena hanya melihat dari aspek ekonomi, seperti; lapangan kerja, bisnis, dll; Kontra karena melihat dari aspek dampak negatif yang terjadi karena kehadiran investor seperti kekerasan, lingkungan hidup dan munculnya penyakit sosial.
  2. Setelah perusahaan ini mengantongi ijin, maka wilayah kerja akan dijaga oleh aparat keamanan, sehingga masyarakat hanya sebagai penonton, bahkan mereka mengalami kekerasan. Ketika mereka tuntut hak mereka, malah dituduh separatis, bahkan terakhir mau dicap teroris.
  3. Metode Pengelolaan SDA yang lain di Papua, juga diikuti pendekatan keamanan dengan jasa pengamanan serta ada juga preman kampung. Dengan “jatah preman” menjadi jalan bagi perusahaan untuk menutup akses masyarakat adat ke perusahaan. Ini adalah akar konfilk tanah dan SDA di Papua.
  4. Adanya konspirasi dalam hal pemberian ijin kadang terjadi, ketika ada pilkada di sebuah daerah yang mempunyai potensi SDA, perkebunan, pengusaha akan berupaya menempatkan orang yang dapat mempelajari peta kekuatan para kandidat, jika sudah jelas, pengusaha akan mengarahkan bantuan kepada kandidat yang akan menang, dengan harapan dapat memperoleh Ijin Usaha sesuai dengan potensi daerah agar mereka dapat melakukan investasi, sedangkan masyarakat adat tidak dapat apa-apa. Ini yang saya sebut pengusaha yang mengatur penguasa.
  5. Investor juga kadang meminta penguasa untuk membuat regulasi yang dapat memuluskan jalan masuk kerajaan bisnisnya, karena itu dokumen AMDAL bisa keluar setelah hutan hancur.
  6. Investasi juga melahirkan penyakit sosial yang dibawa oleh orang lain yang datang untuk mencari kerja di perusahaan.
Baca Juga:  Kegagalan DPRD Pegunungan Bintang Dalam Menghasilkan Peraturan Daerah

Pandangan Saya

Hal yang saya kemukakan diatas adalah adanya konflik tanah dan SDA milik masyarakat adat dengan negara dan investor yang disebabkan oleh adanya konspirasi antara pengusaha dan pemerintah yang merugikan masyarakat adat pemilik tanah karena mereka belum secara maksimal membicarakan kompensasi antara masyarakat dan perusahaan. Banyak hal kadang ada konflik tanah dan sumberdaya alam antara masyarakat adat dengan pihak luar.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Hal ini tidak selamanya karena kesalahan masyarakat, tetapi juga disebabkan oleh pemerintah, oknum aparat keamanan dan pengusaha yang tidak sabar terlalu tergesa-gesa menyelesaikan masalah hak masyarakat adat atas tanah dan SDA, tanpa mempunyai sebuah desain yang jelas. Siapa yang punya tanah?

Menurut saya, ada tiga kelompok yang berhak bicara dan mendapat kompensasi: Siapa pertama datang (Pemilik hak), siapa yang datang kemudian (Hak pakai atau pemilik), dan siapa tinggal tetapi yang pergi dengan alasan tertentu. Ini menjadi patokan ala Papua dengan memperhatikan sistem kepemilikan tanah di Papua, sehingga selalu saja ada pemalangan. Hal ini terjadi karena secara nasional disebabkan pelemahan posisi masyarakat adat.

Padahal masyarakat punya kekuatan yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 135 Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Pasal 138 Hak atas IUP, IPR, atau IUPK bukan merupakan pemilikan hak atas tanah.

Berbagai undang-undang yang mengingkari kedaulatan masyarakat adat harus dicabut atau diubah, antara lain: UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, harus ditinjau ulang berdasarkan pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat adat. Pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat adat atas sumberdaya alam harus dijamin dan dilindungi dalam undang-undang yang baru.

Agar masyarakat adat tidak dirugikan. Jika dirugikan, maka ada dasar kami menuntut yaitu UU Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 145, masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak:

  1. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undsngan.
  2. Mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan.
Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Solusi

Langkah-langkah dapat dilakukan oleh pemerintah di Papua adalah:

  1. Serius mengerjakan pemetaan tanah adat melalui musyawarah adat agar jelas kepemilikan agar tidak selalu masalah tanah menjadi penghambat, tetapi hal itu dapat dikerjakan Dinas yang jelas baik di Provinsi maupun Kabupaten/kota di Papua, dengan sumber dana yang jelas,
  2. Beberapa pasal dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 menjadi dasar untuk perundingan ulang atas penggunaan tanah dan kekayaan alam yang berdasarkan hak asal-usul/hak tradisional yang dijamin oleh UUD 1945 dan amandemennya merupakan “kepunyaan” masyarakat adat (lebih tepatnya dikuasai secara turun-temurun oleh masyarakat adat sebagai hak asal usul/hak tradisional) yang selama ini “dipakai” untuk berbagai proyek-proyek pemerintah dan pengusaha, termasuk diantaranya proyek pertambangan. Berbagai rencana proyek baru di dalam/di atas tanah dengan menggunakan kekayaan alam masyarakat adat harus didasari atas perundingan bersama masyarakat adat yang menguasainya dan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat adat.
  3. Pola yang mestinya digagas adalah Masyarakat Adat juga sebagai pemilik perusahaan/badan usaha dengan prosentase saham, karena dengan adanya kontrak yang saling menguntungkan, pengamanan oleh masyarakat, diketahui pengambilan tanah untuk investor. Perlu diketahui pemberian IUP/KK bukan berarti hak atas tanah hilang, tanah tetap milik masyarakat adat, ini sesuai dengan UU Nomor 4 Tahun 2009.  Semua itu diatur dalam sebuah dokumen kesepakatan yang legal, sehingga investor datang sebagai sobat bukan raja.

)* Penulis adalah ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Paniyai

Artikel sebelumnyaKomnas HAM RI Lakukan Pemantauan dan Penyelidikan di Manokwari
Artikel berikutnyaRefleksi Empat Kali Kunjungan Presiden Jokowi ke Papua (Bagian 2/Habis)