Refleksi Empat Kali Kunjungan Presiden Jokowi ke Papua (Bagian 2/Habis)

0
2846

Oleh: Soleman Itlay

Janji ketiga, 29 Desember 2015 – 1 Januari 2016

“Saya akan sering ke Papua, masalah yang ada di provinsi ini akan diselesaikan,” kata Jokowi ketika hadir di GOR Waringin Jayapura, 27 Desember 2014.

Untuk memenuhi janji diatas, kunjungan presiden kali ini ke Merauke, Papua. Pernyataan itu disampaikan kepada awak media yang kemudian dapat diketahui oleh publik.

Pada 29 Desember 2015 presiden Jokowi tiba di Merauke menggunakan pesawat kepresidenan untuk melakukan kunjungan kerja, demi menyukseskan rangkuman program “Nawa Cita”. Dalam kesempatan itu presiden secara resmi membuka lahan 1, 2 juta hektar di Merauke.

ads

Sekalipun sudah tahu persoalan itu masih ada pro dan kontra di antara pemilik ulayat yang sampai saat ini masih terus bermasalah. Seusai membuka lahan bermasalah itu, hari besoknya Jokowi menghadiri acara pelepasan Kapsul Waktu “Impian Indonesia 2015-2085” di lapangan Hanasap Sai, Kabupaten Merauke.

Selain itu, presiden juga meresmikan dua bandar udara yakni Bandara Wamena dan Bandara Kaimana pada 30 Desember 2015. Dari Wamena presiden sempat berkunjung ke kabupaten Nduga dengan agenda meninjau dan sekaligus memberikan kepercayaan terkait proyek pembangunan jalan trans Timika – Nduga – Wamena.

Selanjutnya, agenda kunjungan kerja ketiga tersebut berakhir di kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Pada akhir tahun 2015, presiden Jokowi menutup tahun di lokasi wisata alam yang amat indah di dunia. Tempat itu tak lain adalah Raja Ampat, tempat dimana akhir-akhir ini terus menerus dipromosikan di kancah internasional dibalik kemiskinan dan penderitaan masyarakat adat setempat.

Kunjungan kali ini, presiden lebih fokus pada pekerjaan fisik yakni proyek pembangunan sistem transportasi dan pertumbuhan ekonomi di Papua dan Papua Barat. Pada kunjungan tersebut, presiden Jokowi katakan, “Saya kasih waktu dua tahun dan perkembangan akan terus dipantau, termasuk pembangunan pengairan atau irigasi serta penggunaan air bawah tanah”.

Hal ini dikatakan saat presiden membuka lahan sawah 1,2 juta hektar di Merauke. Meski demikian, persoalan terkait tanah tersebut masih bermasalah sampai detik ini, tak tahu kapan akan diselesaikan secara baik dan terbuka.

Tetapi presiden terkesan melihat persoalan ini sepele, padahal lokasi besar itu negara beli secara illegal. Dimana sebagian besar pemilik tanah di wilayah “Ha Anim” ini masih keberatan, bahkan tak bersedia untuk jual untuk kepentingan sesaat pula.

Malah di samping persoalan krusial itu, presiden banyak menyinggung dan terlebih berjanji kepada petani yang sebagian besar dari masyarakat pendatang. Presiden tak hanya memberikan janji, tetapi lebih kepada menyakiti hati orang Papua terlebih khusus lagi para pemilik hak ulayat di lokasi tersebut. Tak hanya itu, penyerahan proyek jalan trans Timika – Nduga – Wamena itu juga memberikan kekuasaan penuh kepada TNI-AD/Zipur-10.

Hal-hal semacam ini benar-benar mengecewakan para pengusaha seperti Kamar Adat Pengusaha Papua yang tersebar di seluruh Papua yang sebenarnya memiliki dan menguasai disiplin ilmu yang cukup mantap untuk menerapkan dalam praktik pembangunan di bidang jalan dan jembatan dalam konteks Otonomi Khusus.

Sekalipun pembangunan dan program tersebut dibawah kendali pemerintah pusat, tetapi setidaknya dapat menghargai orang Papua dalam bentuk memberikan kesempatan untuk bekerja di atas tanahnya sendiri. Kalau cara bermain presiden Jokowi seperti ini, bukan mempercepat proses pembangunan, melainkan meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran di Papua.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Secara tak langsung presiden Jokowi memiskinkan orang Papua atas nama pembangunan semata. Toh, TNI itu tak ada kaitan dengan pembangunan fisik. Mereka (TNI) bertugas untuk menjaga kedaulatan bangsa dan negara, bukan untuk pegang proyek kiri kanan sesuka hati. Pikir kita ini masih berada dalam jaman presiden Soeharto, ataukah memang mau berlakukan pemerintahan otoriter yang tak disukai oleh seluruh orang Indonesia?

Dari kunjungan ini dapat disimpulkan bahwa Jokowi datang ke Papua hanya untuk kepentingan masyarakat non Papua dan aparat keamanan (TNI), bukan untuk orang asli Papua. Hal ini juga dapat didukung dengan pernyataan presiden Jokowi yang mengatakan, “Untuk prajurit yang berada di perbatasan baik yang ada di Kalimantan, baik yang ada di timur Papua, sebagian diberikan intensif khusus. Karena medan mereka berat, jangan dibandingkan dengan yang ada di Jawa dengan di Papua. Saya kira semua yang ada di perbatasan akan diperhatikan, termasuk guru, petani dan ekonominya. Ini adalah masalah kebanggaan,” seperti dikutip dari Honai Center, 12 November 2015.

Kunjungan kerja presiden yang berturut-turut tak hanya membawa arti baru bagi pemerintah di daerah ini, tetapi juga membawa malapetaka bagi daerah terlebih khusus pada orang Papua. Kehadiran Jokowi ke Papua dianggap menyepelekan peran para pimpinan daerah, gubernur, bupati dan wali kota di Papua. Banyak pihak yang menganggap kehadiran Jokowi di Papua wajar karena mau merealisasikan janji-janji kampanye sebelum menjadi presdien. Tetapi setelah berkunjung empat kali bisa melihat dan merasakan bagaimana pemerintah menyikapi dan tindaklanjuti isu-isu yang berkembang di tingkatan masyarakat Papua terkait beragam persoalan.

Janji keempat, 18 Oktober 2016

Kembali lagi, presiden Joko Widodo berkunjung ke Tanah Papua, 18 Oktober lalu. Presiden datang ke Papua dengan kegiatan yang tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Ada beberapa serangkaian kegiatan yang dilakukan, sedikitnya 6 infrastruktur listrik di Papua yang berhasil diresmikan oleh presiden.

Enam infrastruktur tersebut adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air Orya Genyem 2×10 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro Prafi 2×1,25 MW, Saluran Udara Tegangan Tinggi 70 Kilo Volt Genyem – Waena – Jayapura, Saluran Udara Tegangan Tinggi 70 Kilo Volt Holtekamp Jayapura sepanjang 43,4 kilo metersirkit, Gardu Induk Waena – Sentani 20 Mega Volt Ampere. dan Gardu Induk Jayapura 20 Mega Volt Ampere.

Seperti biasa, dalam kunjungan kerja kali ini juga tak lupa presiden memberikan janji kepada orang Papua, sebuah bentuk perhatian dan wujud nyata dalam kunjungan kerja keempat. Janji itu tak lain adalah penekanan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang keabsahannya kurang valid itu.

Hal ini memberikan kehangatan yang luar biasa bagi orang Papua yang semakin hari membutuhkan angin penanganan kompleksitas persoalan di Tanah Papua. Janji presiden terus bertambah banyak tanpa ada penanganan dan penyelesaian yang serius.

Kehadiran Jokowi ke Papua tak begitu berubah secara signifikan dalam hal penyelesaian beragam persoalan yang menyelimuti masyarakat Papua. Tak ada kebijakan strategis yang digarap dan dijalankan presiden dari rangkuman program “Nawa Cita”. Kehadiran presiden Jokowi ke Papua tak mampu menekan kompleksitas masalah di Papua dalam empat kali kunjungan dalam dua tahun masa kepemimpinan yang berjalan.

Dua hal penting yang membuahkan dalam kunjungan presiden termasuk kunker yang keempat baru-baru ini.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Penekanan harga BBM di Papua ini terus mengundang perhatian publik kembali. Ada yang mengatakan hal itu dilakukan demi kemajuan Papua yang lebih baik kelak. Kita butuh waktu beliau presiden mengeluarkan satu kebijakan dalam bentuk surat keputusan resmi, hal itu dapat membantu pemerintah setempat untuk menetapkan harga yang telah ditentukan presiden. Dengan adanya surat keputusan itu akan menjamin pemerintah untuk menekan harga BBM di Papua yang selama ini dinilai mahal. Bahkan semua pihak tentu saja akan mengikuti, bahkan menghargai kebijakan pemerintah untuk mengatasi lonjakan harga BBM di Papua.

Ada pula yang mengatakan, bagaimana mungkin harga BBM itu bisa berubah begitu cepat, keabsahan hukum saja tak mendasar, bahkan sama sekali belum ada. Ini hanya pernyataan yang bersifat untuk mencari pencitraan semata. Janji pertama dan kedua, kasus Paniai Berdarah, 8 Desember 2014, membangun pasar mama-mama Papua, dan membebaskan 90 tahan politik Papua serta membuka akses bagi jurnalis asing saja belum penuhi.

Mungkin orang mimpi di siang bolong baru bisa terwujud. Tetapi selagi janji pertama, kedua dan ketiga saja belum tuntas, jangan harap untuk negara serius untuk konsisten dengan janji manis presiden Jokowi.

Hal ini dikatakan, karena presiden terlalu berbelit-belit dalam upaya penyelesaian masalah Papua dalam konteks pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan negara (TNI-Polri) terhadap rakyat kecil di Papua.

Terhitung dari kedatangan presiden ke Papua, 18 Oktober lalu sudah sekian minggu berlalu. Pasca presiden meninggalkan Papua, tak ada tindakan berikut untuk mendukung janji yang disampaikan di mata Allah, Alam dan Manusia Papua pada pertengahan bulan ini. Tak ada pengaruh apapun terhadap harga BBM pasca pernyataan presiden Jokowi itu dikeluarkan di hadapan awak media.

Harga BBM sekarang, sama seperti sebelumnya dengan kata lain tak ada perubahan signifikan. Memang di Intan Jaya itu, ada yang mengatakan perliter Rp 6.500. Tetapi itupun belum pasti. Kemudian akhir-akhir ini banyak yang terus bertanya-tanya, kapan harga BBM di Papua akan menurun?

Dari empat kali kunjungan ini, dapat saya mengambil kesimpulan bahwa presiden datang ke Papua hanya untuk meresmikan, meletakan batu, di bidang infrastruktur secara umum dan memberikan janji kepada masyarakat Papua.

Pertama, presiden Jokowi tak memberikan manfaat bagi orang Papua. Dari empat kali kunjungan kerja di Papua lebih banyak meresmikan ataupun meletakan batu pertama sejumlah jalan, gedung, bandara, pelabuhan, listrik, dan lain sebagainya. Sejumlah kegiatan tersebut sama sekali tak menyentuh hati orang Papua. Kunjungan presiden sama sekali tak dirasakan oleh orang Papua. Apa yang Jokowi lakukan selama empat kali kunjungan, benar-benar di luar dari kemauan orang Papua. Tak menjawab keluhan orang Papua, tetapi ujung-ujungnya mengecewakan.

Kedua, presiden Jokowi ke Papua lebih banyak memberikan janji ketimbang bukti tanpa komitmen yang jelas. Pertama, pada 27 Desember 2014, presiden berjanji akan jamin dalam menuntaskan kasus Paniai Berdarah, di stadion Mandala Jayapura. Kedua, presiden Jokowi berjanji akan membebaskan 90 tahanan politik Papua di seluruh Papua dan berjanji akan membuka akses bagi jurnalis asing.

Ketiga, presiden Jokowi memberikan beberapa proyek pembangunan kepada aparat militer dan berjanji akan rampung secepat mungkin dalam kepemimpinan termasuk jalan rel kereta api di Papua.

Keempat, presiden Jokowi berjanji dan berkomitmen akan menekan harga BBM di Papua yang semakin dikhawatirkan, sampai saat ini belum ada perubahan sama sekali di seluruh Papua.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Presiden Jokowi harus mengubah pendekatan lagi untuk menyelesaikan persoalan di Papua. Karena empat kali kunjungan kerja presiden ke Papua dinilai gagal dalam upaya menjawab persoalan tersebut. Presiden dinilai tak mampu menjawab keluhan masyarakat Papua, yang mengharapkan agar menangani persoalan dari status politik Papua yang selalu menghambat pembangunan di bidang lain.

Sampai kapan pun pendekatan Jokowi terhadap masyarakat Papua dari sektor infrastruktur takkan pernah berhasil. Tetapi beberapa hal yang tak akan pernah orang Papua lupa adalah janji presiden yang tak pernah direalisasikan. Orang Papua akan terus menanti pada sisa masa jabatan tiga tahun kedepan.

Presiden Jokowi, kalau benar-benar mau bangun Papua harus merubah pendekatan. Empat kali pulang pergi Jakarta – Papua tak pernah memberikan perubahan yang begitu signifikan. Kalau begini sama saja main uang diatas utang negara yang membengkak Rp 1, 2 triliun.

Tidak hanya itu, belum adanya keseriusan presiden terhadap masalah politik yang juga akar persoalan yang diharapkan masyarakat selama ini, dipandang sebela mata.

Malah lebih fokus ke infrastruktur dan janji-janji belaka, masyarakat menilai presiden tak serius membangun Papua. Presiden lebih mementingkan pembangunan infrastruktur ketimbang mendengarkan suara rakyat Papua. Itu sama halnya dengan istilah “Minta Lain, Kasih Lain”, ujung-ujungnya tak puas.

Jokowi diharapkan bisa mendengar suara kaum rakyat paling timur, Indonesia ini. Kalau tak tangani apa yang diharapkan masyarakat, jangan bermimpi untuk membangun di bidang lain. Kalau memang presiden tak mau dengar dan tak realisasikan janji-janji, alangkah baiknya tak boleh lagi datang ke Papua berikutnya.

Hal tersebut hanya merugikan semua pihak terlebih khusus rakyat Papua. Sudah cukup orang Papua menderita karena janji Soekarno, Soeharto, Megawati, termasuk presiden Joko Widodo. Orang Papua ingin pemimpin seperti Gus Dur, yang datang sekali tetapi memberikan perubahan monumental bagi orang Papua. Presiden Gus Dur dianggap berhasil karena memberikan jawaban tepat orang Papua, yakni perubahan nama dari Irian Jaya ke Papua.

Sehingga pembangunan di bidang manapun berjalan aman dan lancar tanpa hambatan apapun juga. Kalau toh, presiden Joko Widodo ingin membangun kepercayaan terhadap rakyat Papua harus menerjemahkan pendekatan seperti Gus Dur. Kenapa Gus Dur dianggap berhasil membangun Papua, karena beliau mampu memberikan sebuah jawaban menjadi tuntutan orang Papua, bukan janji-janji semata.

Memang kalau presiden ragu untuk membangun pendekatan dari politik setidaknya janji presiden seperti pembangunan pasar mama-mama Papua, dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus diselesaikan secara cepat. Hal ini merupakan buah harapan besar dan juga menjadi tuntutan orang Papua saat ini.

Peluang presiden Jokowi ada pada tiga tahun yang sisa ini. Pertanyaannya, apakah presiden mampu merealisasikan janjinya atau tidak. Karena mama-mama Papua dan keluarga korban pelanggaran HAM dari tahun 1962 hingga sekarang masih menantikan keseriusan dan kepastian negara untuk dapat membuktikan ditengah sorotan dunia internasional.

Presiden, diharapkan menyelesaikan persoalan Papua itu dengan cara mengutamakan apa yang menjadi “Tuntutan” orang Papua, lalu selanjutnya melaksanakan apa yang dikehendaki presiden Joko Widodo untuk membangun Papua.

Penulis adalah anggota aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem, Jayapura, Papua.

 

Artikel sebelumnyaDampak Investasi Tambang Bagi Masyarakat Adat Di Papua
Artikel berikutnyaSteven Itlay Dituntut 1 Tahun 6 Bulan Penjara