JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — “Polda Papua Barat harus profesional menangani kasus Manokwari. Karena ada tindakan-tindakan berlebihan yang menghilangkan nyawa orang secepatnya. Itu masuk kategori pelanggaran HAM. Tidak ada satu pun orang di dunia ini yang berhak untuk mencabut nyawa orang. Kecuali Tuhan,” tegas Septer Manufandu, direktur eksekutif Jaringan Kerja Rakyat (JERAT) Papua di Abepura, Rabu (9/11/2016) .
Ia mengatakan, kalau aparat keamanan dengan menggunakan kekuatan berlebihan terus merampas hak hidup seseorang, ini bisa masuk ke kategori dugaan pelanggaran HAM yang harus diselidiki.
“Aparat yang melakuka tindakan-tindakan untuk mengambil nyawa orang dengan bebas, ini harus ditindak tegas. Ini tidak bisa dibiarkan. Karena aktor ini kalau dibiarkan, kejadian-kejadian serupa akan berulang terus dari waktu-waktu kalau tidak berikan efek jera,” tegas Septer.
Dikatakan, semua pihak mendesak agar pelaku yang membunuh itu harus ditindak tegas. Kasus Manokwari ini dilatarbelakangi dengan kasus yang sangat sederhana sekali, namun aparat tidak bijak menyelesaikan persoalan yang terjadi.
“Kenapa (aparat) menyebabkan ada yang meninggal, aparat melakukan penyisiran dan yang menjadi korban adalah orang asli Papua dan ada yang kemudian ada yang mendapat perlakuan dan makian yang tidak pantas. Itu semua diperlakukan kepada orang Papua dengan kata-kata yang rasis,” ungkapnya.
Untuk itu, kata Septer, kita setuju untuk aparat keamanan menegakkan hukum, tetapi di saat yang sama mereka tidak punya kewenangan untuk mengambil nyawa orang. Katanya, aparat harus bertindak secara profesional untuk menangani situasi tertentu.
“Katakanlah untuk hadapi demonstrasi-demonstrasi, aparat harus paham tentang latarbelakang kehidupan masyarakat tertentu. Kalau tidak paham tentang kondisi masyarakat tertentu, berhadapan dengan masyarakat bukan jadi pengaman, tetapi justru menimbulkan korban-korban dari tingkat masyarakat yang tidak tahu apa-apa,” kata mantan direktur eksekutif Foker LSM Papua ini.
Lanjut Septer, “Aparat selama ini lihat masyarakat demo itu sebagai musuh yang harus ditembak, bukan melihatnya sebagai penyampaian aspirasi.”
Sebelumnya, berdasarkan perkembangan hasil investigasi Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, diduga telah terjadi tindakan rasial dan diskriminasi serta ada pelanggaran HAM Yang Berat di Sanggeng Manokwari, 26-27 Oktober 2016 tidak berdiri sendiri.
Menurut LP3BH, kasus ini diduga merupakan bentuk reaksi negara terhadap tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM Berat di Tanah Papua yang sedang mendunia dewasa ini dan itu terindikasi kuat dari adanya korban meninggal dunia maupun luka-luka (berat) yang semuanya dalah Orang Asli Papua (OAP).
“Bahkan korban luka-luka tembak, baik yang terjadi pada hari Rabu, 26 Oktober 2016 maupun Kamis, 27 Oktober 2016 semuanya OAP, termasuk yang dianiaya dan rumahnya diduga keras telah dirusak beberapa bagiannya oleh oknum aparat keamanand ari Polisi dan Brimob Polda Papua Barat adalah semuanya OAP,” ungkap Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif LP3BH melalui surat elektroniknya kepada suarapapua.com tidak lama ini.
Pewarta: Arnold Belau