JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pemerintahan Jokowi dinilai terus memberikan kekuasaan kepada para aktor pelanggar HAM terhadap rakyat Papua. Hal itu tidak sejalan dengan janjinya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Indonesia saat kampanye. Dan terkesan negara melindungi aktor pelanggar HAM.
“Kami menilai bahwa proses-proses pembiaran dan impunitas sangat kokoh di Papua. Sehingga pelaku-pelaku belum pernah mendapatkan efek jerah atas perbuatannya dan masih ada peluang untuk kapan saja dia melakukan kekerasan terhadap rakyat papua maupun di wilayah indonesia yang lain,” ungkap Peneas Lokbere, koordinator SKP HAM Papua, Kamis (10/11/2016) di Abepura.
Lokbere menegaskan, dari presiden ke presiden, tidak pernah dan tidak ada niat sedikit pun dari Indonesia untuk selesaikan pelanggaran HAM di Papua. Termasuk hilangnya Aristoteles Masoka dan pembunuhan berencana dan kilat terhadap Theys Hiyo Eluay pada 10 November 2001.
“Kami anggap penculikan dan penghilangan paksa Aristoteles Masoka dan THeys Hiyo Eluay merupakan perlakuan terencana yang dilakukan oleh Kopassus menjadi pembunuhan kilat dan penghilangan paksa. Negara malas tahu dan melakukan pembiaran terhadap kasus ini,” tuturnya.
Lanjut Lokbere, “Kami juga melihat impunitas di Papua itu sangat fokus sekali. Karena sejumlah aktor-aktor kekerasan di Tanah Papua selalu menjadi pahlawan dan mendapat jabatan-jabatan terhormat, juga mendapat kenaikan pangkat dari negara.”
Ia mencontohkan, pembunuh Alm. Theys yang setelah menjalani proses hukum telah divonis tiga tahun dan telah dipecat dari satuannya, hari ini mendapat posisi tinggi di negara ini.
“Sekarang dia (Hartomo) jadi Kepala BAIS. Padahal saat sidang putusan, dia divonis 3 tahun dan dipecat dari satuannya. Negara anggap Hartomo berhasil membasmi separatis di Papua sehingga mendapat kehormatan. Ini sangat tidak adil. Kapan mau berikan rasa keadilan untuk rakyat Papua?” tanya Lokbere tegas.
Selain Hartomo yang diangkat jadi Kepala BAIS, ada beberapa aktor kemanusiaan yang tetap diberikan kekuasaan di bawah pemerintah Jokowi. Katanya, selain Mayjen Hartomo, ada Menko Polhukam, Wiranto dan masih ada lagi.
Anum Siregar, direktris Aliansi Demokrasi Papua (ALDP) menambahkan, pengangkatan pembunuh Theys menjadi Kepala BAIS adalah tindakan Jokowi yang melukai hati rakyat Papua, tidak adil karena yang diselesaikan adalah kasus pembunuhan kilat yang dialami oleh Theys Eluay.
“Tetapi itu juga tidak cukup karena proses hukum pada saat itu dilakukan melalui mahkamah militer di Surabaya. Salah satu tersangkanya adalah Pimpinan Kopassus Tribuana yang saat ini menjabat sebagai kepala BAIS dengan pangkat Letkol, yang setelah 15 tahun kemudian diangkat menjadi Kepala BAIS dengan pangkat Mayjen,” ungkapnya kesal.
Ia mengatakan, vonisnya waktu itu dihukum tiga tahun dan pidana tambahannya dipecat.
“Kalau kita mau lihat, dia adalah terdakwa pertama. Tidak adil karena peristiwa saat itu ada lebih dari satu peristiwa pidana yang sampai saat ini belum terungkap adalah penghilangan paksa Aristoteles Masoka,” ujar Siregar.
Pewarta: Arnold Belau