JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Koordinator Divisi Advokasi AJI Jayapura, Fabio Maria Lopes Costa mengatakan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura menilai implementasi kebebasan pers bagi para jurnalis yang bertugas di Papua dan Papua Barat masih minim sepanjang tahun 2016.
Dari data pelaporan yang diterima Divisi Advokasi AJI Jayapura, terdapat 10 kasus yang menghambat kebebasan jurnalis dalam upayanya menyampaikan informasi yang terpercaya dan berimbang bagi masyarakat Papua dan Papua Barat.
“Kasus-kasus tersebut meliputi intervensi ketika wartawan melaksanakan peliputan, penghapusan foto dan video terkait liputan isu-isu sensitif seperti gerakan Papua merdeka, pengerusakan sarana untuk peliputan, pemukulan terkait peliputan kasus di persidangan, pelaporan ke pihak berwajib atas materi peliputan, pemukulan, dan pengusiran wartawan yang hendak mengonfirmasi isu tertentu kepada narasumber,” jelas Fabio kepada suarapapua.com melalaui pesan elektroniknya pada Kamis (26/1/2017).
Fabio menyebutkan, tercatat sebanyak 10 wartawan yang mendapatkan tindakan tersebut. Kasus-kasus ini terjadi Timika, Wamena, Kota Jayapura, Nabire, Dogiyai, Manokwari, dan Sorong.
“Kasus pelanggaran kebebasan pers terbanyak berada di Kota Jayapura yakni tiga kasus, sedangkan di Wamena sebanyak dua kasus. Sementara pelanggaran kebebasan pers di lima daerah lainnya hanya satu kasus. Dari laporan 10 jurnalis tersebut, tujuh kasus pelanggaran kebebasan pers terkait dengan aparat keamanan, dua kasus dengan pihak keamanan, dan satu kasus dengan anggota DPRD,” ungkapnya.
Kesimpulannya, menurut Fabio, pelanggaran kebebasan pers di Papua teryata dilakukan oleh para pihak yang tergabung dalam tiga pilar demokrasi, yakni eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
“Seolah-olah peranan awak pers dianggap masih rendah, perlu “didiamkan”, dan diawasi secara ketat oleh oknum-oknum tertentu. Padahal, pers secara tidak langsung adalah pilar keempat dari demokrasi,” katanya.
Dikatakan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 telah hadir di Indonesia untuk menjamin kebebasan pers bagi para kuli tinta. Sayangnya, amanah yang mulia dari regulasi ini belum terealisasi secara menyeluruh ke seluruh wilayah khususnya di tanah Papua.
“Pada tahun ini AJI Jayapura tak henti akan terus berjuang untuk mensosialisasikan kebebasan pers di Papua dan Papua Barat. Ada baiknya Dewan Pers juga secara aktif memberikan pemahaman tentang materi kebebasan pers yang komprehensif bagi pihak legislatif, eksekutif, dan yudikatif khususnya di Papua,” jelasnya.
Lanjut dia, “Jelang pelaksanaan Pilkada di Papua dan Papua Barat, kami pun berharap para wartawan mengutamakan keberimbangan dalam penyampaian informasi kepada para warga yang menjadi simpatisan dari kandidat kepala daerah,” ujarnya.
Ia berharap agar pekerja media memilah dan hindari pemberitaan yang bersifat provokasi dan cenderung menjatuhkan kandidat tertentu. Pemberitaan dengan modus tersebut dapat menjadi salah satu pemicu konflik dalam Pilkada.
Masyarakat akan dirugikan dengan kondisi tersebut dan awak media cenderung hanya mementingkan berita yang bersifat bombastis. Upaya pembangunan di Papua juga turut terganggu karena tidak kondusifnya situasi keamanan.
“Utamakanlah penyampaian informasi sebagai penyejuk di tengah konstelasi politik yang meningkat karena persaingan para kandidat untuk meraih kursi kepala daerah,” pungkasnya.
Sementara itu, sebelumnya Lembaga Bantuan Hukum Pers menyatakan, selama tahun 2016, Pers merupakan target ancaman dari berbagai pihak yang anti demokrasi. Nawawi Bahrudin, direktur eksekutif LBH Pers, mengatakan, “Sepanjang kurun waktu tahun 2016, pers masih menjadi target ancaman,” tegasnya dalam siaran pers bertajuk “Catatan Kebebasan Pers dan Berekspresi 2016”.
Dibeberkan dalam catatan akhir tahun yang dikeluarkan LBH Pers di Jakarta, Kamis (29/12/2016), ada sejumlah fakta yang mengarah pada indikasi pembungkaman ruang bagi pekerja media bahkan mengalami ancaman serius sepanjang tahun 2016.
Berdasarkan hasil advokasi litigasi dan non litigasi dengan melakukan pantauan perkembangan pers, LBH Pers selama setahun mencatat fakta kasus-kasus pers semakin meningkat, gugatan dan tuntutan pidana atau kriminalisasi kepada jurnalispun semakin meninggi sampai pada kekerasan atas pers.
“Belum lagi ada pihak-pihak tertentu yang mencoba memberangus kebebasan pers dengan cara membungkam melalui gugatan hukum dan kriminalisasi pers yang tujuannya membungkam kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan kebebasan menyatakan pendapat,” tuturnya.
Nawawi menyebutkan kasus-kasus yang didampingi oleh LBH Pers selama 2016, secara keseluruhan berjumlah 33 kasus, diantaranya 8 Kasus Perdata, 15 Kasus Pidana dan 10 kasus Sengketa Ketenagakerjaan.
Selain itu, sepanjang tahun 2016, LBH Pers juga mencatat telah terjadi 83 kasus kekerasan dan korban kekerasan adalah seorang jurnalis. Rata-rata dari mereka menjadi korban kekerasan saat bertugas meliput sebuah peristiwa di lapangan.
Pewarta: Arnold Belau